January 11, 2014

Brian



Aku pernah mempunyai seorang murid. Kristen agamanya. Laki-laki jenis kelaminnya. Saat itu ia kelas VIII SMP. Brian namanya. Brian adalah anak yang menarik bagiku. Bukan karena dia anak yang tampan atau populer di sekolahnya. Sebaliknya, Brian adalah anak yang kecil, hitam manis, kelihatannya kurang aktif di kelas. Semaunya sendiri, mungkin itu pendapat orang yang melihatnya pertama kali. Di kelasku, Brian pernah tidur. Diminta mengerjakan tugas, baik individu maupun kelompok, susahnya minta ampun. Berdalih dengan seribu alasan. Mengucapkan semua alasannya dengan santai. Pernah suatu ketika ulangan harian. Siswa-siswa lain sibuk mencari jawaban, hanya dia yang ‘lempeng-lempeng’ saja. Lunglai. Justru asyik menggunting kertas.


Bel istirahat berbunyi. Brian kupanggil. Kuminta duduk di dekatku. Bertanyalah aku, ada apa, kenapa. “Apa kamu tidak suka matematika? Apa kamu kesulitan memahami matematika? Atau apa penjelasan saya kurang jelas? Kasih tahu saya jika ada yang kurang dalam cara saya mengajar.” Dia menggeleng sambil menunduk.


“Lalu kenapa?” Dia tetap diam menunduk.


“Brian, kamu punya cita-cita?” 


“Ya, punya, Bu.” 


“Apa cita-citamu?”


“Pokoknya ada wes, Bu.” 


“Kamu rajin sembayang ke gereja setiap minggu?”


“Iya, Bu.”


“Kamu ada masalah? Coba ceritakan sama saya. Anggaplah saya ini sahabat yang ingin membantu kesulitan kamu. Kamu ada masalah dengan sekolah?”


“Enggak, Bu. Masalah di rumah.”


“Baiklah Brian. Kalo kamu gak bisa cerita sekarang. Tidak apa-apa. Tapi, ingatlah, Brian, jika kamu ada masalah jangan kamu pendam sendiri. Ceritakan.”


“Kamu tahu buku ini?” Tiba-tiba aku menunjuk buku catatanku yang berwarna oranye dengan motif kupu-kupu. 


“Buku ini selalu saya bawa kemana pun saya pergi. Saya suka menulis. Saya tulis bila ada sesuatu yang ingin saya tulis. Minimal kalo kamu gak mau cerita, kamu tuliskan. Ok, saya tunggu kamu kapanpun selama saya masih mengajar di sini sampe kamu siap mau bercerita ke saya.”


Hari-hari lain Brian masih belum menunjukkan ada perubahan berarti. Tapi, pada suatu hari Brian membuat saya tersenyum. Dia semangat sekali mau maju menjawab soal yang saya tulis di papan. Lucunya, dia sempat berkata, “Bu, ijin ya keluar, saya haus.”
 

“Kenapa gak dari tadi istirahat kamu minum, ini kan sudah masuk, Brian.”


“Ya wes, tapi minum saja ya. Habis minum sudah harus kembali ke kelas. Sudah sana ke belakang.” Dia geleng-geleng kepala. “ Enggak sudah, Bu.”
 

“Katanya haus.” 


“Gak punya uang.” 


Aku menarik napas, sambil geleng—geleng kepala. “Ya wes ini uang sana beli minum. Tapi ingat ya habis minum harus segera kembali.”
 

“Iya, Bu.”


Akhirnya Brian kembali ke kelas. “Bu, ini kembaliannya,” sambil menyerahkan uang Rp500,-. Ingin kutertawa melihat ulahnya.


Suatu hari Brian belum mengumpulkan ulangan harian. Ketika saya tagih, “Brian, mana ulangan harianmu? Punyamu gak ada.” 


“Belum, Bu.” 


“Lho terus gimana?” 


“Saya mengumpulkan Jum’at ya, Bu.” 


“Ok wes, Brian, saya mengiyakan karena saya PERCAYA sama kamu. Ingat, Brian, karena saya PERCYA sama kamu. Jadi, tolong jangan salahgunakan kepercayaan saya ke kamu.” 


“Iya, Bu.”


Ternyata setelah ditunggu-tunggu hari Jum’at lalu berganti Sabtu, Brian tidak mengumpulkan ulangannnya. Pada hari Senin saya mengajar, akhirnya Brian mengumpulkannya. Tapi apa yang terjadi? Ketika saya mengoreksi di kontrakan, ternyata Brian hanya mennjawab dua soal dari empat soal yang ada. Itu pun tidak lengkap hingga akhir penyelesaian. Alhasil, nilai Brian sama dengan 14 dari saya. Saya tuliskan pesan pada kertas ulangannya. Ok, Brian. Saya menghargai usaha dan tanggung jawabmu sudah mau mengumpulkan tugas ini. Ok, sekarang kamu tidak usah melihat angka 14 di atas. Hari ini memang belum berhasil, tapi yakinlah esok pasti berhasil. .....”


Setelah kertas ulangan semua siswa telah dibagikan, di tengah saya membersihkan papan tulis sebelum meninggalkan kelas, Brian langsung menghampiri saya, dan berkata, “Bu, ikum.” Maksudnya, ia hendak meminta tangan saya untuk ikum dengan raut  muka yang saya tidak bisa mendeskripsikan. Tapi, aku merasa Brian memahami maksud saya yang tertulis di kertas ulangannya. Saya bahagia dengan kejadian itu.


Hari-hari berikutnya setiap kali bertemu di sekolah, Brian menjadi sering minta ikum. Tapi tidak selalu saya turuti.


Hari lain ternyata saya belum bisa bahagia seutuhnya karena aktivitas belajar Brian masih begitu-begitu saja. Dalam artian, dia tidak mau mencatat. Masih sering tidak memperhatikan guru. Malah ketika saya baru selesai keliling kelas menenangkan murid yang ramai lalu baru saja saya duduk, Brian menghampiri saya dan berkata, “Bu, permisi. Ngambil kapal.” Maksudnya, mau mengambil kapal-kapalan dari kertas.


”Dimana?” tanya saya sambil mencari-cari di bawah bangku saya.


“Bukan di situ, Bu.”


“Dimana?” 


“Di baju Ibu.” 


Ternyata benar. Kapalnya jatuh di atas pangkuan saya. Duh, saya mau marah tidak bisa. Hanya bisa tersenyum, menarik napas dan menggeleng-geleng kepala. “Brian...Brian.... sudah, tidak boleh main kapal.”


Pernah suatu ketika saya sudah hampir mau menyerah menghadapi anak-anak. Akhirnya, pelajaran matematika hari itu saya ubah menjadi pelajaran motivasi. Mengajak mereka berpikir tentang kehidupan. Hidup mereka itu mau dibawa kemana. Apa yang paling mereka inginkan dari hidup. Apa yang membahagiakan mereka dalam hidup. Apa tujuan mereka hidup. Renungkan, pinta saya. Saya memberi satu per satu siswa kertas lipat warna untuk merika tuliskan jawaban-jawaban dari pertanyaan saya tadi. Ketika saya membaca hasilnya di aula, tempat mahasiswa PPL berkumpul, saya pilu, sedih bercampur apapun rasa yang membuat saya kepikiran terus saat membaca hasil milik Brian.  Apa yang ia inginkan.  Apa yang membahagiakannya. Apa tujuan hidupnya.


Sejak saat itu saya kepikiran hal itu terus. Sebenarnya siapa Brian. Bagaimana latar belakang keluarganya. Inikah yang membuat Brian menampakan perilaku demikian di kelas. Saya yakin bukan hanya satu Brian yang seperti ini di dunia saat ini tapi banyak Brian yang lain. Ini buah kapitalisme. Banyak anak yang  tumbuh tanpa hak cinta dan kasih sayang sempurna dan utuh dalam keluarga yang seharusnya mereka dapatkan bahkan dalam pendidikan. Miskin sosok yang bisa mereka teladani dan miskin pembinaan kepribadian.


Hari terakhir saya mengajar matematika di kelas tersebut. Saya marah-marah karena anak-anak membandel. Inilah pertama kali saya benar-benar marah. Sebelum-sebelumnya saya dikenal sebagai Bu ‘Sabar’. Saya katakan pada anak-anak, “Kalo kalian mengumpulkan tugas cuma mau nilai ke saya, saya gak sudi. Saya di sini bukan mau ngasih kalian nilai, tapi ngasih ilmu. BUKAN MAU NGASIH NILAI, TAPI NGASIH ILMU. Saya gak akan mengejar-ngejar kalian yang belum mengumpulkan tugas  hanya untuk setoran nilai ke guru. Jangan harap! Terserah kalian!” Lalu saya keluar sebelum jam berakhir.


Sejak saat itu saya yang biasanya tersenyum ramah menyapa anak-anak, sedikit mencueki mereka. Tapi apa yang dilakukan Brian. Di luar dugaan saya. Dia bilang, ”Bu, rumah Bu Guru dimana? Saya mau belajar ke Bu Guru.”
 

“Bu, ayo ke rumah. Saya mau belajar sama Bu Guru. Ya Bu?”


“Saya gak tahu. Saya gak janji”,jawab saya. 


Sungguh kata-kata Brian itu sangat membekas di dalam memori saya. Dari lubuk hati saya, sejak tahu apa yang menjadi keinginan Brian itu, saya ingin tahu ibu Brian. Dan ketika Brian menawari saya ke rumah dia, saya sebenarnya ingin. Karena saya ingin bertemu ibu Brian. Saya ingin tahu seperti apa ibu yang sangat dicintai anaknya ini.


Saya akui saya jadi menyayangi Brian. Jika Brian anak saya, saya ingin memeluknya. Orang mungkin melihat Brian bisa tertawa di hadapan orang, loncat-loncat bermain dengan teman-temannya. Tapi di balik itu, dia menyimpan sesuatu yang kelam dan pahit. Dan saya bersimpati dengan itu. Saya ingin membantu mengubah sudut pandangnya dalam memandang kehidupan. Membimbing dia meraih bintang dalam hidupnya.




~Wenny Pangestuti~

Laskar 8F



Kalau dunia tulis-menulis dan perfilman di Indonesia mengenal Laskar Pelangi, maka dalam dunia saya mengenal Laskar 8F. Tidak jauh berbeda dengan Laskar Pelangi garapan Andrea Hirata, Laskar 8F saya berkisah tentang pendidikan dan anak-anak. Ceritanya, pada semester VIII kuliah di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Jember, saya dan beberapa teman menjalani Kuliah Kerja Praktek Pengalaman Lapangan atau disingkat dengan KK-PPL.  Saya dan 20 teman-teman lainnya dari empat program studi yang berbeda ditempatkan di SMP Negeri 11 Jember. Sesuai program studi, saya mengajar matematika. Saya mendapat jatah mengajar matematika di kelas 8F.


Semula saya tidak akan menduga bahwa mengajar di 8F akan menjadi hal yang menarik dalam hidup saya. Sebab, pertama kali memasuki kelas tersebut saya sedikit cemas dengan respon beberapa siswa terhadap saya. Adalah Fida yang dengan tampang judes menolak permintaan saya untuk mengerjakan soal di depan kelas. Tidak hanya itu ada siswa laki-laki tembem –yang selanjutnya saya ketahui ia memperkenalkan dirinya dengan nama Farel- yang merespon telalu berlebihan ketika saya tunjuk untuk menjawab, seolah saya seperti mau menghukumnya. Namun, seiring berjalannya waktu saya menemukan bintang yang bersinar dari kelas 8F. Betapa istimewanya 8F bagi saya.


Sebenarnya apa yang saya alami ketika mengajar tidak jauh berbeda dengan sesama teman mahasiswa KK-PPL lainnya. Siswa-siswa ramai, tidak menggubris perkataan kami, guru PPL. Atau suara kami yang yang terlampau kurang keras sehingga kelas kurang terkondisikan dengan baik dan segudang permasalahan lainnya. Namun, saya mengingat betul apa yang pernah dikatakan mbak Sofi, saudara seperjuangan di jalan Allah, kepada saya. Mengajarlah dengan cinta. Entah kebetulan atau bagaimana tapi ini sudah ketetapan yang digariskan Allah bahwa saya dipertemukan dengan sosok yang bernama pak Sujono, guru pamong saya selama mengajar di sekolah tersebut. Pak Jono, panggilan akrabnya, pun tak jauh berbeda memberikan nasehat demi nasehat untuk kualitas mengajar saya di kelas. Selalu menghadirkan Allah setiap waktu. Ini menjadi nilai plus bagi saya yang belum tentu didapatkan mahasiswa KK-PPL lainnya. Saya belajar untuk menjadi guru yang bersahabat memahami muridnya, bukan menuntut muridnya dengan segudang tugas disertai ancaman nilai atau labelisasi negatif, seperti nakalbodoh atau apalah.


Lambat laun dengan Mengajarlah dengan cinta  dan Selalu menghadirkan Allah setiap waktu saya seperti menemukan harta karun yang terpendam dalam diri murid-murid saya. Namanya harta karun menjadi tidak berharga bila tidak diketahui dan ditemukan. Begitupun potensi yang dianugerahkan Allah kepada setiap diri kita tidak akan pernah bermanfaat jika tidak kita sadari dan temukan. Begitulah kurang lebih yang yang pernah saya sampaikan pada murid-murid saya. Saya justru sedih ketika mereka membiarkan saya yang pertama kali mengetahui dan menemukan potensi itu dalam diri mereka. Sedangkan mereka terjebak dengan asyiknya dunia sendiri, menjadikan hidup mengalir bagai air begitu saja. Mereka telah banyak membuang waktu dengan hanya bercanda, melakukan apa yang tidak diketahui untuk apa ke depannya. Itu pulalah yang juga pernah saya lontarkan pada mereka. Saya tidak pernah tahu siapa-siapa yang mendengar kata-kata saya dengan sungguh-sungguh dan berusaha meresapinya untuk diambil pelajaran bagi kehidupan mereka. Tapi saya berharap sedikit banyaknya apa yang pernah saya katakan bermanfaat dan menggema dalam hati sanubari mereka. Bila tidak sekarang, mungkin esok nanti.


Dari sini pulalah saya belajar bahwa amat penting dan berharganya seorang guru dalam hidup kita ketika melakukan belajar. Guru bisa melihat dan menangkap sisi lain dari murid-muridnya yang belum tentu disadari oleh sang murid. Ia akan semakin menyempurnakan angan dan mimpi yang akan diraih sang murid. Seperti yang kurasakan ketika menjadi guru tiga bulan dalam KK-PPL ini, aku melihat cahaya yang berpendar dari tubuh murid-muridku yang ternyata masih kelam untuk mereka sadari dan lihat. Kutunjukkan cahaya itu berharap akan menerangi asa yang mereka sendiri seringkali tak tahu.


Ada Bella yang memang pintar sekali dalam matematika, mudah memahami dalam  pemecahan masalah.  Selain itu, dia aktif di luar kegiatan akademik seperti pramuka dan PMR, juga pandai menggambar.



Gambar 1. Vega dan Bella (yang memegang kertas)


Ada Octa dan Dani, dua orang yang duduk sebangku di pojok belakang. Meskipun demikian, justru mereka selau berusaha memperhatikan penjelasan guru di depan, berusaha mengerjakan PR, mengerjakan apa yang diminta guru.



Gambar 2. Seneng lihat Dani (yang memegang pensil biru) dan Okta rajin begini^_^
 

Ada Anis yang rajin, setiap pemecahan masalah diselesaikan dengan runtut.


Ada Sandi, kelihatannya pendiam dan tidak respon pada pembelajaran di kelas. Tapi diam-diam dia suka dan pandai menggambar ilustrasi. Dia punya buku khusus untuk membuat komiknya sendiri, yang setiap ada kesempatan, Helvanza dan Aldy serta yang lainnya melihat hasil karya Sandi. Tidak hanya itu,  Sandi juga pandai menulis. Ini saya ketahui dari tugas “Bercerita” yang pernah saya berikan.



Gambar 3. Ini dia Sandi (tengah), sang jago ilustrasi.


Ada Sekar yang suka menulis. Tulisan Sekar pernah dimuat di sebuah koran lokal. Sekar adalah siswa yang hidup penuh dengan kasih sayang. Atau dengan kata lain, siswa 8F yang mendapat perhatian dan kasih sayang yang sempurna dari orang tua menurut saya adalah Sekar. Sekar juga anak yang muda tersentuh hatinya. Ia mudah menitihkan air mata bila terharu.



Gambar 4. Sekar lagi ngajarin Fida lalu Aldy lagi lihat apa ya?


Ada M. Fatkullah yang lebih senang dipanggil Farel. Entah apa alasannya. Farel anak yang berusaha menghargai guru dengan selalu berusaha duduk di bangku depan dan memperhatikan penjelasan guru. Seringkali ia memperingatkan teman-temannya untuk diam dan memperhatikan guru di depan. Walaupun saya sanksi itu ia lakukan dengan sungguh-sungguh. Istilah saya “Acting”. Seringkali kepergok saya ia makan-makan di kelas, tapi begitu saya mendapati dia, dia pura-pura menghadap kelas, memperhatikan ke depan, atau ketahuan cerita sendiri sama Wildan atau Renof dan Daniar, tapi begitu saya menangkap basah ia berpura-berpura diskusi pelajaran. Saya seringakli dibuat tertawa melihat tingkah Farel. Menariknya, Farel sebenarnya pintar. Pernah suatu ketika diskusi kelompok, saya berkeliling sambil mengingatkan waktu diskusi hampir habis. Farel yang merasa terganggu dengan peringatan saya berkata yang intinya dia belum selesai dan meminta jangan dipaksa. Saya tersenyum mendengarnya. Saya hargai permintaannya. Mungkin dari sini saya belajar untuk lebih memahami setiap perkembangan siswa dalam belajar. Ada yang cepat paham, ada yang butuh pelan-pelan. Ternyata Farel juga anak band, ia jago memainkan gitar.



Gambar 5. Farel (yang tidak kelihatan muka-nya), Wildan (yang di samping Farel), dan Yudha (di belakang)


Ada Yudha yang rapi tulisannya dan bercita-cita menjadi nahkoda.


Ada Daniar pemimpin kelompok yang ‘baik’. Baiknya di sini maksudnya kelompok Daniar sering mendapat penghargaan kelompok yang kompak kerjasamanya dan baik prestasinya. Entah kebetulan atau bagaimana. Tapi menarik dari Daniar adalah keberadaannya dalam persahabatannya. Ceritanya di kelas 8F ada persahabatan yang beranggotakan Yoni, Daniar, Dimas, Yudha, Wildan dan Farel. Dari keenam orang tersebut, Daniar yang cukup calm down. Tapi belakangan hari menjelang penarikan saya dari sekolah, Daniar terlihat rame dan tidak memperhatikan pembelajaran.



Gambar 6. Daniar terlihat tenang, yang lain cengengesan aja.


Ada Dimas yang sedikit bandel dibilangi, tapi kritis kalo misalnya diberi tugas kelompok. Yang paling saya ingat, Dimas adalah siswa yang suka cari perhatian. Kalo ketahuan salah, cara minta maafnya kayak yang sungguhan, pake’ minta cium tangan dengan wajah menyesal. Saya tersenyum sendiri melihatnya.


Mungkin saya tidak bisa menjelaskan satu per satu setiap dari mereka. Sebenarnya amat di sayangkan bila saya tak menceritakan semua dari mereka, namun waktu jua yang terbatas untuk menjelaskannya detail. Akan membutuhkan waktu yang lebih panjang. Sedangkan saya dikejar amanah-amanah lain yang tidak bisa saya abaikan. Ini saja sudah molor hampir enam bulan untuk dapat menyelesaikannya. Tapi, sekali lagi saya katakan bahwa kenangan bersama 8F adalah pengalaman berharga bagi saya. Mengenal 8F sungguh beruntung bagi saya, dengan keragaman karakter mereka yang tidak henti membuat saya tersenyum bia mengenangnya. Saya katakan bahwa 8F adalah adalah murid-murid pertama saya dan saya menyayangi mereka.


Tak ada salahnya saya kenalkan nama-nama 8F beserta pembagian kelompok-kelompok belajar yang pernah saya lakukan selama mengajar mereka.

Al-Khawarizmi
Agustin Milasari (Agustin)
Anisatul Maysaroh (Anis)
Nur Azizah Tri Wulandari (Wulan)
Siti Hidayatun Nafila (Fila)
Descartes
Galih Bayu Pamungkas (Galih)
Helvanzah Sandhytama (Helvanzah)
Sandi Putra Perdana (Sandi)
Renov Wahyu Tripambudi (Renov)
Pythagoras
Achmad Dani (Dani)
Aldy Masromadon (Aldy)
Sandya Rerisa W. (Sandy)
Trie Octa Sakti (Octa)
Al-Biruni
Daniar Rahmadhan (Daniar)
Muhammad Fatkullah (Farel)
Unggul Meidian Surya P. (Unggul)
Wildan Hamdani Yuwafi (Wildan)
Al-Karaji
Desi Lailatur Ramadani (Desi L)
Diasari Maharani Putri (Diasari)
Riski Choirur Rohma (Riski)
Sekar Alaya Roninsah (Sekar)
Pascal
Dimas Septa Yudhistira (Dimas)
Jendra  Bayu Nugraha (Jendra)
Yoni Setiawan (Yoni)
Yudha Anugrah Utama P. (Yudha)
Euler
Dwi Mufidatus Syafa'ah (Fida)
Indah Dini Lestari (Indah)
Maharani Widi Lupitasari (Maharani)
Nurima Kurnia Wati (Nurima)
Umar Khayam
Bella Karina (Bella)
Desi Dwi Murni (Desi)
Nia Agustin (Nia)
Vega Amelia Agustina (Vega)
Al-Batani
Devita Riskiyastika (Devita)
Dita Permata Sari (Dita)
Ferdila Anggun Mawarni (Anggun)
Maulina Barokatul N. (Lina)
Leibniz
Bryan Yusak Bastian (Bryan)
Harvian Bagus Dewantara (Harvian)
I Putu Aditya Darma Yuda (Adit)





~Wenny Pangetuti~

January 10, 2014

“Putri Kami Telah Jatuh Cinta”


 
Pria itu mengucapkan kata-kata yang mengalihkan pandanganku kepadanya, yang sebelumnya aku tak mengacuhkannnya.


Tak terasa air mata menggenang di pelupuk mata, hendak mengalir keluar, namun sedapat mungkin aku menahannya. Agar tak ada yang menyadari perubahan dalam mimik wajahku oleh mereka, yang juga ada di situ, keluarga besarku. Ayah, ibu, bibi, sepupu-sepupuku dan saudara-saudara ibu lainnya.


Menyadari ada yang aneh, pria itu menoleh heran terhadapku, menghentikan seketika apa yang sedari tadi ia ucapkan. Membuat yang lain pun juga menyadari akan perubahan mimikku.


Wenny?


Ada apa?


Aku membuang pandangan darinya, menatap lurus agak ke bawah pandangan di hadapanku tanpa fokus.


Semua orang yang telah hidup lama denganku tahu bahwa aku yang pendiam, tak biasa mengungkapkan apa yang ada dalam pikiranku atau yang kurasa. Mereka memilih diam, tak juga bertanya seperti pria itu. Mereka tahu bahwa pasti ada yang sedang kupikirkan dan aku tak bisa menyampaikannya pada mereka. Mereka telah cukup mengenalku walau aku tak mengenalkan seperti apa aku dengan detail pada mereka lewat lisanku. Mereka telah banyak dan sering membaca sikapku yang cenderung pendiam, tersenyum sewajarnya, dalam diam seperti ada yang dipikirkan. Mereka tahu aku berbeda. Aku pemikir. Dibanding dengan anggota keluarga lain, aku lebih pemikir, berani memilih apa yang kuyakini walau berbeda dengan kebanyakan orang.


Sudah beberapa hari di rumah kami kedatangan pria itu. Ia menginap, bercengkerama dengan keluargaku tanpa kaku yang menjembataninya. Ia memang pria yang menyenangkan bagi orang lain. Ia identik dengan kemeja berlengan panjang dan celana kain. Rapi, itulah dia. Ia membaur dengan siapa pun. Dari muda hingga tua. Itulah mengapa banyak yang menyukainya. Pun dengan semua keluargaku. Tak ada satu pun yang tak menyukainya. Hanya aku yang bersikap biasa saja dengannya. Bersikap sewajarnya.


Kini, saatnyalah ia pamit pulang. Semua menghantar detik-etik kepergiannya dengan rasa kehilangan setelah sekian hari ia mengisi hari-hari mereka dengan suasana baru yang menyenangkan.


Lalu, bagaimana dengan aku? Aku, tanpa kumengerti, aku pun seperti merasa kehilangan. Ku akui itu. Saat itu terasa semua tiba-tiba menjadi jelas. Setelah sebelumnya aku biasa-biasa saja dan tak yakin. Bahwa aku akan kehilangan dia dan aku takut. Ia telah menuang kehangatan, rasa, dan warna di hatiku. Lagi, air mata menggenang di pelupuk mataku. Namun, sedapat mungkin ku tahan ia keluar dari ujung mataku.


Detik-detik ia mulai membalikkan punggungnya, membelakangi kami, melangkah demi langkah semakin menjauhi kami, saat itu aku seperti sudah hilang kendali. Aku menyeruak dari kerumunan keluarga, dan menghambur berlari menujunya. Sekejap itulah aku merangkul lingkar perutnya dari belakang dengan membungkukkan badan, menempelkan pipi kananku di punggungnya. Aku menangis, terisak-isak, sesekali menjerit pelan. Aku telah menghentikan langkahnya dengan ia terpaku sejenak tak menduga apa yang baru terjadi ini.

Begitu pula keluargaku, terpaku pada pemandangan yang terjadi di hadapan mereka saat itu. Apalagi dengan isak tangisku yang pilu tanpa kata-kata yang keluar sedikit pun dari bibirku.


Hari itu terjadi momen yang langka bagi keluargaku. Karena untuk pertama kalinya mereka melihat aku bersikap penuh harap pada seorang pria. Untuk pertama kalinya mereka melihat cinta dariku untuk seorang pria setelah sekian lama mereka tak pernah tahu menahu aku berurusan dengan laki-laki atau sekadar suka pada laki-laki. Untuk pertama kalinya mereka melihat.... aku telah jatuh cinta.


Putri kami telah jatuh cinta.




~Wenny Pangestuti~

Strategi Pendidikan Negara Khilafah


Judul Buku        : Strategi Pendidikan Negara Khilafah
Penulis             : Abu Yasin
Penerbit           : Pustaka Thariqul Izzah
Cetakan ke-      : III
Tahun Terbit     : 2007
Harga               : Rp10.000,-
Tebal Halaman   : 91 hlmn. + viii

Tsaqafah (kebudayaan) suatu umat merupakan tulang punggung keberadaan dan keberlangsungan umat tersebut. Di atas tsaqafah dibangun peradaban, ditentukan target dan tujuannya serta dibedakan corak kehidupannya. Dengan tsaqafah pula individu-individu umat melebur dalam satu wadah, sehingga suatu umat dapat dibedakan dari umat-umat lainnya.

Pendidikan merupakan metode untuk menjaga tsaqafah umat di dalam hati ‘anak-anaknya’; baik pendidikan yang diatur secara formal maupun informal. Pendidikan formal adalah pendidikan yang diatur dengan sistem dan perundang-undangan yang ditetapkan oleh negara. Negara menjadi pihak yang bertanggung jawab atas pelaksanaan pendidikan. Sedangkan, pendidikan informal dilakukan dengan membiarkan kaum Muslim mengikuti pendidikan di rumah - rumah, masjid - masjid, kelompok - kelompok, mass media, selebaran / publikasi dan sebagainya, tanpa harus mengikuti sistem dan peraturan pendidikan formal. Meskipun demikian negara tetap bertanggung jawab atas kedua jenis pendidikan ini (formal dan informal) agar berbagai pemikiran dan pengetahuan tetap terpancar dari akidah Islam atau didasarkan pada akidah Islam.

Buku ini membahas landasan pendidikan formal di dalam Negara Khilafah, mulai dalam aspek strategi dan sistem pendidikan Negara Khilafah; tujuan umum pendidikan Negara Khilafah; metode pengajaran; teknik dan sarana pengajaran; pendidikan sekolah; hingga pendidikan tinggi.

Secara keseluruhan isi buku ini cukup menggambarkan konsep strategi pendidikan, khususnya pendidikan formal dalam naungan Negara Khilafah, -sebuah institusi negara yang menerapkan syariah Islam secara menyeluruh dalam lini kehidupan umat-. Bahasa yang digunakan cukup lugas. Akan tetapi, pembaca membutuhkan konsentrasi yang baik saat membacanya agar tidak ketinggalan memahami poin setiap poin. Bagaimanapun juga strategi pendidikan dalam buku ini berbeda dengan strategi pendidikan yang telah kita kenal dan terapkan di Indonesia. Tebal buku yang hanya 91 halaman serta ukuran buku serupa buku saku membuat pembaca cukup singkat untuk menyelesaiakan buku ini segera, tanpa harus merasa bosan menunggu akhir isi buku serta praktis untuk dibawa dan dibaca dimana pun.

Buku ini cukup penting untuk dibaca. Sebab, dari sini kita akan mengenal dan memahami strategi pendidikan dalam aturan Islam. Dengan membaca buku ini, kita akan paham mengenai penjagaan yang baik dari Negara Khilafah terhadap tsaqafah Islam agar tertanam kuat di dalam diri generasi-generasinya. Pendidikan memiliki pengaruh terhadap kualitas generasi suatu bangsa. Oleh karena itu, pengaturan sistem pendidikan pun diperlukan secara jelas dan baik agar berjalannya pendidikan dalam pembinaan kualitas generasi muda baik sebagai generasi yang disiapkan untuk menjaga peradaban bangsanya.

Namun, harus kita pahami bahwa strategi tersebut akan terelaisasi secara sempurna, hanya di bawah naungan negara Khilafah. Sedangkan, di tengah kehidupan yang sekuler-kapitalis seperti ini sulit mewujudkan strategi pendidikan demikian. Sebab, pendidikan tidak dapat berdiri sendiri, perlu dukungan dari sistem politik dan sistem ekonomi dalam suatu negara bersangkutan. Sistem politik yang berperan terhadap kebijakan-kebijakan yang menyangkut sistem pendidkan, seperti kurikulum salah satunya. Sedangkan, sistem ekonomi berperan sebagai pengolahan kekayaan negara yang berkorelasi dalam pembiayaan pendidikan negara tersebut. Di Negara Khilafah, sistem politik dan sistem ekonomi yang diterapkan adalah sistem sistem politik Islam dan sistem ekonomi Islam. Sedangkan, di kehidupan sekarang sistem politik dan sistem ekonomi yang diterapkan adalah sekuler-kapitalis. Lantas, selama kehidupan masih berasaskan sekuler-kapitalis, bagaimana peran kita untuk tetap menjaga pendidikan agar baik? Semua ini akan tergambar lebih jelas bila kita juga membaca buku Menggagas Pendidikan Islam sebagai pelengkap buku ini. Dalam buku tersebut, akan dijelaskan bagaimana menggagas pendidikan Islami di tengah kehidupan sekuler-kapitalis, yang dalam buku Strategi Pendidikan Negara Khilafah tidak diulas.

Adapaun manfaat membaca buku Strategi Pendidikan Negara khilafah, kita akan memahami kebaikan dan keunggulan Sistem Islam dalam naungan Negara Khilafah mengatur strategi pendidikannya untuk menjaga tsaqafah Islam agar melekat dalam tubuh generasi, terutama generasi mulsim yang manjadi penerus berdirinya peradaban Islam dalam kancah dunia. Pembaca juga akan memahami bahwa Islam bukan hanya sebagai agama, tetapi juga sebagai pandangan hidup atau ideologi , yang mempunyai konsep aturan kehidupan, dalam hal ini salah satunya bidang pendidikan. Selain itu, juga menjawab tanda tanya yang seringkali muncul di tengah umat saat ini bagaimana dulu bisa lahir sosok-sosok luar biasa seperti Imam Syafi’i, Al-Khawarijmi, Ibnu Sina dan ilmuwan-ilmuwan sekaligus ulama-ulama besar lainnya, yang sekarang amat jarang kita temukan kembali. Ternyata, mereka lahir dari pola pendidikan yang luar biasa dalam Negara Khilafah. Tungu apa lagi, segera miliki dan baca tuntas buku ini!


~Wenny Pangestuti~ 

Welcome to Wenny Pangestuti!


Blog ini dibuat untuk menampung tulisan-tulisan berupa pemikiran dan perasaan Wenny Pangestuti.


Setelah sekian hari lalu menahan diri, akhirnya aku membidani kelahiran blog ini. Sebab, sebelumnya aku harus memfokuskan pada skripsiku yang tak kunjung usai. Tapi akhirnya, kubidani segera saja kelahirannya untuk menampung tulisan-tulisan yang telah tergores karena dorongan pemikiran dan perasaan yang ingin menyeruak diwakilkan dalam bentuk tulisan. Kini, lahirlah Wenny Pangestuti di tengah triliunan pengguna internet, melengkapi bacaan yang ada dengan corak Wenny Pangestuti langsung.


Tak banyak yang diharapkan, sekadar dapat menghibur di kala duka, membungakan hati di kala sendu, memotivasi di kala jenuh. Alhamdulillah bila pada akhirnya bermanfaat bagi para pembaca. Dan, sebaliknya semoga justru tidak menjerumuskan pada keburukan.


Dukung terus blog ini dengan tidak ada salahnya bila pembaca memberi kesan dan pesan bagi proses pendewasaannya. Terima kasih kuucapkan atas perhatiannya. Sampai bertemu selanjutnya!


~ Wenny Pangestuti ~