February 24, 2014

Sembari Menunggu


Hujan dengan awetnya tak kunjung reda. Hujan yang akan berlalu cukup lama. Memaksa menerobosnya hanya akan membuat diri kita basah kuyup dilengkapi dingin yang menggigil. Karena tak sekadar hujan. Melainkan hujan di malam hari.

Mula-mula aku terperangkap di beranda perpustakaan kampus. Duduk menyandar dengan memeluk tas punggungku. Di depanku tengah duduk seorang perempuan berkerudung hitam. Cukup asyik di depan laptopnya yang menyala. Samar-samar terdengar alunan lagu berbahasa asing dari laptopnya.

Jika harus menunggu hujan reda, bisa-bisa aku ketinggalan waktu Shalat Maghrib, pikirku saat itu. Pandanganku melihat-lihat ke segala penjuru. Berharap ada ide tempat untuk menjalankan Shalat Maghrib. Ahaa!! Aku mendapat ide. Teringat bahwa di lantai dua perpustakaan terdapat mushala kecil khusus akhwat. Sejenak sebelum meninggalkan tempat dudukku, aku sedikit ragu untuk mengajak perempuan di depanku. Ia masih asyik di depan laptopnya. Lalu aku beranjak dari dudukku, meninggalkan perempuan tersebut, menyusuri lorong-lorong perpustakaan, menaiki tangga. Kutemukan mushala khusus akhwat tersebut. Alhamdulillah. Alhamdulillah juga karena aku masih punya wudhu dan pakaianku mulai dari khimar, jilbab, mihna dan kaos kaki bersih dan suci insya Allah.

Shalat Maghrib pun usai kutunaiakan. Namun, hujan tak kunjung reda. Kunanti kembali redanya di tempat duduk semula. Perempuan itu masih tak beranjak dari tempatnya. Perlahan suara air hujan sedikit memelan. Pertanda hujan mulai mereda. Kucoba menegur sapa perempuan tersebut. “Mbak gak shalat?”

“Shalat mbak. Ini mau pulang, shalat di kos saja. Mbaknya sudah?”

“Sudah. Tadi di atas.”

“Wah, kenapa gak ngajak-ngajak mbak?” Aku tertegun seketika, sekaligus menyesal. Benar sekali, kenapa aku ragu untuk mengajaknya. Perempuan itu melanjutkan, “Saya pernah coba ke mushala di perpustakaan ini. Tapi seperti lama tidak terpakai gitu. Jadi mau shalat gimana gitu. Mbak tadi shalat ada orang juga gak di sana?”

“Ada kok.”

“Lewat mana mbak tadi?”

“Ini muter, terus naik tangga itu. Sampai lantai dua, belok kiri. Notok, itu disana mushalanya,” jelasku sambil memberi gestur tangan.

“Oh, di lantai dua. Saya pikir lantai tiga.”

“Oh iya kalo di lantai tiga memang sepi dan kayaknya jarang dipakai.”

Setelah beberapa saat berbicara dan saling menanyakan jurusan  kuliah dan angkatan masing-masing, kami berpisah. Perpisahan tanpa meninggalkan jejak nama masing-masing antara kami. Ia berlalu. Melewati rintik-rintik hujan. Kutatap kepergiannya melitasi pelataran perpustakaan. Ternyata dia hanya berjalan kaki. Rasa sesal semakin bertambah. Kupikir ia bersepeda motor. Jika bersepeda motor, tentu akan lebih cepat ia segera sampai di tempat kosnya dan menjalankan Shalat Maghrib.

Sesaat kemudian, giliranku meninggalkan perpustakaan. Kuterobos saja rintik-rintik hujan. Kalau harus menunggu hingga reda betul, nampaknya akan sampai larut malam aku mendekam di perpustakaan. Atau lebih tepatnya didepak karena jam tutup perpustakaan pukul 20.00 WIB. Namun, apa hendak dikata. Ternyata belum lama meninggalkan gerbang perpustakaan, hujan mulai kian menjadi. Pikiran yang segera terlintas adalah ‘mencari tempat berteduh’. Akhirnya, tempat berteduhku yang kedua adalah masjid kampus.

Perut mulai lapar, pertanda meminta diisi. Kebetulan ada seorang nenek yang menjual gorengan di beranda masjid. Nenek tersebut memang seringkali terlihat di sana menjelang hingga berlalunya waktu maghrib. Kubeli dua dadar jagung dan sebungkus ‘cilok’. Saat itu juga, ada tiga perempuan yang mengitari nenek tersebut. Salah satunya mengajak nenek tersebut berdialog. Dua lainnya mendengarkan. Dia, yang mengajak bicara sang nenek, berkerudung merah hati dan berjaket kuning. Kelihatannya memang supel.

Sembari menunggu hujan reda, kusantap satu per satu gorengan yang kubeli tadi. Lumayan, mengganjal perut.

Gorengan telah habis kulahap. Lalu tinggallah diam yang menemaniku. Untung saja, aku selalu membawa alat tulis dan buku ‘gado-gado’-ku. Jadilah, aku menulis dilatari musik semesta, yaitu rintik-rintik hujan. Di tengah-tengah waktu menulis, tiba-tiba seseorang menegurku. Ternyata, perempuan yang tadi berbicara dengan sang nenek.

“Permisi! Mau ini?” Ia menyodorkan sebungkus ‘cilok’. “Tadi dikasih mbah, tapi saya sudah kenyang.” Kulihat nenek tadi sudah tidak ada.

Aku tersenyum, “Boleh. Terima kasih.” Kusambut ‘cilok’ pemberiannya lalu kutaruh di dalam tas. Kulanjutkan kembali menulisku. Perempuan tadi duduk beberapa centi di sampingku. 

Setelah selesai menulis, perempuan itu menyapaku kembali.

“Nunggu hujan reda?”

“Iya. Mbaknya juga?”

“Iya bisa dibilang begitu.”

Kami mengobrol sepanjang penantian, menuggu redanya hujan. Perempuan tadi bernama Nita. Ia sedang menunggu suaminya selesai kerja. Suaminya bekerja di gedung rektorat. Mbak Nita, kupanggil demikian, merupakan mahasiswa S2 Jurusan Psikologi di Universitas Muhammadiyah Malang. Banyak hal yang kami bicarakan dari masalah pakaian syar’i muslimah, skripsiku yang aku katakan ada hubungannya dengan ilmu psikologi, hingga ilmu fikih mengenai sah tidaknya shalat dengan pakaian yang basah terkena hujan.

Pembicaraan kami berjeda sejenak ketika suara iqamah terdengar. Pertanda Shalat Isya’ akan segera dimulai. Kami masuk ke dalam masjid dan turut shalat berjamaah. Di dalam sudah ada tiga muslimah lainnya yang juga menunggu redanya hujan.

Usai shalat, hujan benar-benar telah reda. Namun, ku tak beranjak meninggalkan masjid segera. Aku dan mbak Nita melanjutkan pembicaraan. Kali ini aku mengawali dengan bertanya tentang perasaannya setelah menikah. Mbak Nita menjelaskan bagaimana perbedaan peran yang ia lalui tentunya setelah menikah. Harus sering menyatukan dua pikiran yang berbeda, saling memahami. Tiba-tiba giliran mbak Nita yang bertanya,”Sudah mau menikah ta?”

Ditanya seperti itu aku cengengesan, “Hehehe belum, Mbak. Masih menyiapkan diri.”

“Menyiapkan apa memangnya?”

“Ilmunya hehehe,” masih cengengesan.

Tak terasa akhirnya suami mbak Nita tiba. Mbak Nita pun berpamitan. Tak lupa kali ini aku meminta nomor handphone-nya. Berharap ada waktu untuk bertemu kembali. Hujan pun masih tetap reda. Ku pergi juga, meninggalkan masjid dengan mengayuh sepeda setiaku.

Malam itu, ku pulang membawa seulas senyum sederhana. Sederhana saja. Antara dua rasa; rasa sesal dan rasa syukur. Rasa sesal karena sempat ragu mengajak shalat bersama, perempuan yang kutemui di perpustakaan. Rasa syukur karena mempunyai teman baru, perempuan yang kukenal di masjid.


http://www.fredysetiawan.com/2014/11/first-giveaway-cerita-bersama-hujan.html?showComment=1419052326868#c1648306735058846645


~Wenny Pangestuti~

February 21, 2014

Overview: How to Master Your Habits


Saat menjadi anak sekolahan dulu saya mempunyai habit (kebiasaan) mencatat bagian isi yang menarik dari buku yang saya baca. Saat ini pun sebenarnya masih, walaupun dengan intensitas yang berkurang. Karena dengan anggapan bahwa akan memakan waktu yang cukup lama untuk membaca sambil menulis di sela-selanya ketika menjumpai bagian isi yang menarik. Tapi entah ini alasan yang tepat atau sekadar dalih pembenaran saya hehehe.


Termasuk buku yang saya tulis bagian isinya yang menarik adalah How to Master Your Habits. Sebuah buku non-fiksi karya Felix Y. Siaw, seorang trainer yang cukup populer namanya di jejaring sosial seperti twitter dan facebook. Sudah dua kali saya membaca buku ini. Tidak membosankan, kecuali hanya membiarkannya menjadi setumpuk teori dalam pikiran kita. Menarik dan bermanfaat. Itulah dua kata yang bisa saya lontarkan sebagai komentar setelah membaca buku ini, tapi sekali lagi kecuali hanya membiarkannya menjadi setumpuk teori dalam pikiran kita. Itulah sebabnya, dalam kesempatan yang kedua kalinya itu, terbesit dalam benak saya untuk menulis bagian isi buku ini yang menarik dan bermanfaat sebagai pengingat saya. Selain itu, juga karena satu alasan, yaitu saya tidak memiliki buku tersebut secara pribadi alias hanya pinjam. :)

Untuk itu, tak ada salahnya saya ingin berbagi hasil kutipan saya di sini. Barangkali Sobat menemukan inspirasi di dalamya dan mendapatkan gambaran mengenai isi buku tersebut.  Secara lebih lengkapnya, Sobat dapat membaca bukunya secara langsung. Selanjutnya, saya hanya bisa berkata, “Selamat membaca!” :)

Ø Tidak perlu memikirkan apa posisi awal kita saat ini. Karena itu tidak penting. Kita dapat menjadi apapun atau menguasai keahlian apapun yang kita inginkan bila kita benar-benar menginginkannya, dengan cara membiasakan dan membentuk habits pada diri kita. Menjadikan yang luar biasa menjadi kebiasaan.

Ø Structure of Habits




 


Ø Genealogy of Habits

Walaupun pada manusia habits yang dipilihnya dipengaruhi oleh cara berpikir. Namun, dalam proses pembentukannya, peran akal tidaklah terlalu dominan. Faktor yang menentukan apakah kita akan memilki habits hanya 2 hal, yaitu practice (latihan) dan repetition (pengulangan), yang tentu saja dilakukan dalam rentang waktu tertentu.

Practise makes right, repetition makes perfect.

Ø Spiral of Habits




 


Marilah kita membaca nasihat Imam Syafi’i kepada siapa saja yang ingin menguasai suatu ilmu:





“Wahai saudaraku, kalian tidak akan dapat menguasai ilmu, kecuali dengan 6 syarat yang akan saya sampaikan: dengan kecerdasan, dengan bersemangat, dengan kesungguhan, dengan memiliki bekal (investasi), bersama pembimbing, serta waktu yang lama.”



Ø Why? What? How?
Memahami “What?”, “Why?” dan “How?” akan melejitkan amal ibadah seorang Muslim.

Seseorang yang memahami kenapa dia harus berbuat akan mempunyai daya dorong yang kuat dalam melaksanakan perbuatannya, dan ketika dia memahami apa yang diinginkannya, maka hal itu akan menjadi daya tarik baginya.



Ø How Many Days?



Untuk membentuk habits baru, maka kita harus melakukan practice dan repetition selama 30 hari berturut-turut secara konsisten, tanpa ketinggalan satu hari pun. Karena habits berarti pembiasaan, dan pembiasaan memerlukan konsistensi.

Ø First is Hardest



Secara umum, ada 3 milestone yang dapat kita jadikan panduan dalam membentuk habits. Para pakar mengatakan begitu juga dari ditunjukkan pengalaman-pengalaman orang banyak, bahwa bila suatu aktivitas dilakukan secara konsisten dan kontinyu dalam 30 hari, maka habits baru telah terbentuk. Hanya saja habits baru ini masih rapuh dan keinginan untuk kembali pada habits lama lebih besar daripada melanjutkan habits baru.

Milestone kedua terletak pada 3 x 30 hari, dimana habits baru yang dibentuk akan lebih kuat, dan keinginan untuk melanjutkan habits baru akan sama kuatnya sebagaimana kita ingin kembali pada habits yang lama.

Ketiga, 10 x 30 hari atau satu tahun, insya Allah habits yang kita bentuk telah solid dan menjadi program yang hampir permanen, otomatis terjadi pada diri kita seperti gerak refleks.

ØFrom Lame to Fame

  


Habits adalah membiasakan yang pada awalnya dilakukan secara sadar menjadi melakukan secara tidak sadar otomatisasi keahlian kita.

Ø Luck is a part of Habits


Keberuntungan adalah hasil kali dari kesempatan dan persiapan.

Keberuntungan tidak hanya menunggu kesempatan, dia perlu persiapan yang matang. 
“Anytime you see someone more suceessful than you are, they are doing something you aren’t.” (Malcolm X)

Dua orang dengan pilihan yang sama, dan visi yang sama, mencintai pada Dzat yang sama; Allah Swt, cepat atau lambat pasti akan berjumpa. Paling lambat di surganya Allah.

Ø Let’s Make Habits ^_^

1. Mulai dari yang kecil



Mulailah habits baru kita dengan hal-hal kecil terlebih dahulu. Mematok target yang terlalu tinggi hanya akan menghasilkan rasa jenuh dan putus di tengah-tengah.

Misal, bila habits yang ingin dibentuk adalah membaca buku, maka mulailah dengan 10 menit sehari membaca buku, atau 10 lembar per hari membaca buku.

Mematok target besar cenderung gagal, dan lagipula, apabila telah terbiasa, kita akan menaikkan secara otomatis jumlahnya.

2. Temukan tempat Habits



Untuk melatih sebuah habits, maka kita harus menyisipkan habits itu pada habits lain yang sudah solid (sudah jadi).

Kuncinya adalah kata “setelah”.

Mislanya, saya akan membaca “setelah” shalat shubuh, atau saya akan membaca setelah mandi sore, dan sebagainya.

Menyisipkan kata “setelah” membuat habits terotomatisasi oleh waktu sebagai pemicunya, ada trigger, dengan kata “setelah”.

3. Berlatihlah terus!



Pada awalnya, mungkin kita akan seringkali lupa untuk melaksanakan habits baru, maka buatlah pengingat dimana-mana tempat biasa kita beraktivitas.

Misalnya, menempel pengingat habits di kamar tidur, di ruang kantor, ataupun dimana saja, yang biasa berfungsi sebagai reminder.

Atau bisa pula meminta teman untuk selalu mengingatkan tentang habits yang akan kita latih.

Dan ingat untuk melakukan setiap hari!

Ø The Rules of 10.000 hours



Sebuah penelitian menyampaikan bahwa seseorang baru akan menjadi ahli dalam bidang yang dia pilih apabila telah berlatih selama 10.000 jam di bidang tersebut.

Jika, kita berlatih 3 jam sehari dalam bidang yang ingin kita kuasai, maka perlu 10 tahun bagi kita untuk mencapai 10.000 jam itu. Bila kita ingin 5 tahun menjadi seorang ahli, maka haruslah latihan itu kita tingkatkan 6 jam sehari.

Ø The End is Better than Beginning



Ibnu Katsir mengomentari dalam tafsirnya,
“Manusia pada umumnya tidak memiliki ilmu, kecuali ilmu duniawi. Memang mereka maju dalam bidang usaha, tetapi hati mereka tertutup, tidak bisa mempelajari ilmu Dienul Islam, untuk kebahagiaan akhirat mereka.”

The last but not the least, saya menambahkan kutipan dari sebuah lirik lagu yang maknanya tak jauh berbeda dengan yang di atas. Satu hal, pesan dari saya: to be an expert in certain part, we just necesarry to begin. Jadi, baik aku, kamu, dia, dan mereka atau kita semua punya kesempatan sama untuk melejitkan potensi diri kita. Tidak melihat masa lalu kita atau seberapa baik buruknya kita sebelumnya. Hanya perlu satu, berani memulai. Ok? Let’s do it together! :)

Hey kawan
Pasti kau dan aku sama, sama-sama punya takut
Takut tuk mencoba dan gagal, tapi...
Hey kawan
Pasti kau dan aku sama, sama-sama punya mimpi
Mimpi tuk menjadi berarti karena...


Harus kita taklukan, bersama lawan rintangan
Tuk jadikan dunia ini lebih indah


Tak perlu tunggu hebat
Untuk berani memulai apa yang kau impikan
Hanya perlu memulai
Untuk menjadi hebat raih yang kau impikan

Seperti singa yang menerjang semua rintangan tanpa rasa takut
Yakini bahwa kamu kamu kamu kamu terhebat

 


~Wenny Pangestuti~