September 28, 2014

Jendela


Aku kembali lagi untuk yang kesekian kali di tempat itu. Aku terduduk kembali di sofa itu. Kutengok ke arah jendela yang menawarkan pemandangan halaman dalam tempat itu. Sepi. Meskipun sebenarnya ada mereka.

Dalam pandangan yang lama menatapnya, melintaslah anak itu bersama kedua temannya. Tidak masalah bagiku melihatnya dari balik kaca jendela itu karena ada kelambu putih terawang yang akan mengaburkan pandangan orang yang berada di luar ruangan tersebut. Tetapi ia tahu. Ia menoleh persis saat melewati depan pintu. Apakah tolehannya seiring dengan ingatannya kepadaku? Apakah tolehannya kebetulan dan tak bermakna, atau justru sebaliknya, punya maksud dan bermakna?

Telah satu tahun berlalu. Ketika aku masih berdua saja di markas khusus itu, tiba-tiba datanglah seorang anak laki-laki. Ia tidak tahu bahwa sekolah hari ini libur. Ia kemarin tidak masuk. Lalu minta tolonglah ia kepada kami untuk mengantarkannya pulang. Tentu bukan aku yang bisa mengiyakan, tetapi temanku sebab aku tak dapat mengendarai sepeda motor. Sudah, selesai ceritanya. Ia hanya seorang siswa yang ketinggalan informasi saja.

Tetapi ternyata belum selesai. Aku menjaga ujian tengah semester. Di kelasnya. Tidak ada masalah. Saya lebih sering memperhatikan yang lain, yang bergelagat aneh karena untuk ketidakjujuran. Dia tak masalah. Ia diam di tempat, tanpa kisruh, pandangannya tak terlepas dari kertas ujian dan lembar jawaban. Sudah.

Di markas khusus, mungkin akulah orang yang paling sering melihat ke arah jendela. Apa yang ditawarkan di luar jendela jauh lebih menarik dibandingakan melihat seluruh penjuru ruangan itu. Dari jendela itulah, satu, dua dan banyak kali, aku menyadari ada sesuatu. Penasaran. Mencari tahu. Mencari jawaban makna atas semua itu.

Anak itu selalu menoleh. Tanpa senyuman. Tanpa ekspresi tertentu. Pandangan datar dan wajar. Ke arahku. Mungkin ini persangkaanku belaka.

Tiga bulan berlalu, aku sudah tidak menempati markas itu. Tetapi aku masih perlu ke sekolah itu. Aku terduduk di sekitar halaman dalam. Menunggu. Dalam penantian, pandanganku menyoroti setiap dimensi halaman dalam tersebut hingga sampai pada satu kelas. Di jendelanya ada sesuatu yang mengusik pandanganku. Seorang anak laki-laki terduduk tepat di samping jendela di dalam kelas. Menoleh ke arahku.

Aku mencari jawaban makna atas semua itu. Apa itu kebetulan yang tak bermakna, atau justru sebaliknya, yang punya maksud dan bermakna.

Hingga sekarang pun aku tak tahu.


~Wenny Pangestuti~

* Ditulis Juli 2014 

September 21, 2014

Aku Tidak Ingin Menjadi Penulis Seperti ...


Entahlah, semuanya menjadi tidak menggairahkan. Aku berpikir lagi bahwa aku memang suka menulis, tapi aku tidak berhasrat bahwa aku harus menjadi penulis yang tulisannya best seller atau difilmkan. Aku tidak berhasrat menulis hanya untuk menciptakan kecemburuan pada mereka yang juga suka menulis. Aku hanya menulis untuk diriku sendiri.

Sakit dan sudah cukup muak aku membaca cerita-cerita penulis lain. Aku tidak ingin dipengaruhi oleh pengalaman mereka. Aku tidak ingin termotivasi meniru seperti mereka. Aku ingin menulis, menjadi penulis sesuai dengan keinginanku, bukan sesuai keinginan dunia lazimnya menilai penulis.

Aku tidak berhasrat menjadi penulis yang harus terkenal dan memiliki buku karya sendiri. Tidak. Karena aku tidak ingin ada pembaca yang juga sakit dan muak membaca pengalamanku dalam menulis hingga menghasilkan karya diketahui/ dikenal banyak orang.

Bagiku membaca kisah sukses penulis lain tidak ada artinya, selain menciptakan kepedihan. Hanya memotivasi dan motivasi saja tidak cukup. Hanya menebar angan dan angan saja tidak cukup. Harus ada aksi dari kita yang punya mimpi. Aksi itu berangkat bukan dari kisah sukses orang. Walaupun ada yang bisa menggerakkan pembaca, semua itu ditumpangi dengan fokus yang semu. Ia akan menjadi bukan dirinya tanpa ia sadari. Karena ia melihat dirinya dari kacamata orang lain. Orang lain menilai penulis sukses adalah yang menghasilkan buku best seller. Apalagi bukunya difilmkan atau bla bla bla yang melambungkan namanya di seantero jagat raya. Maka ia akan mengusahakan dirinya menjadi penulis seperti itu. Itulah yang saya nilai tidak menjadi diri sendiri tanpa disadari.

Lantas kalau nama kita sudah melambung tinggi, dikenal banyak orang kenapa? Senang? Bisa disapa pembaca yang memuja-muji karya kita. Begitukah? Tidak. Itu semua semu. Pujian dan kekaguman orang lain itu semu. Aku tidak butuh pamrih orang lain, tidak butuh pengakuan orang lain.

Aku hanya ingin menulis bukan tuntutan aturan harus seperti ini dan seperti ini. Aku hanya ingin menulis atas mauku, gayaku, walau tidak mengikuti aturan teori yang ada. Aku hanya ingin menulis karena tumpahan pemikiranku. Aku ingin yang membaca tulisanku tidak iri padaku atau ingin menjadi seperti aku, tapi ia bisa menemukan nilai makna dibalik tulisanku. Cukup ia ambil pelajaran untuk dirinya dalam semakin menghayati kehidupan.

Aku tidak berhasrat akan menawarkan tulisanku pada penerbit. Aku akan memproduksi sendiri tulisan-tulisanku. Aku print sendiri tulisan-tulisanku. Aku buat sendiri buku dari tulisanku. Aku menulis dan juga menerbitkan sendiri tulisanku.

 Beginilah lebih baik bagiku.



~Wenny Pangestuti~ 

* Ditulis 04 Juli 2013

September 14, 2014

Menulisku


Tidak mudah. Tidak mudah untuk menggoreskan pena. Menumpahkan ide untuk ditulis. Sudah jauh-jauh hari aku mencoba meletakkan buku atau secarik kertas di hadapanku dengan pulpen di genggaman, tapi aku hanya bisa terdiam. Hingga menit-menit berlalu, kertas di hadapanku tetap kosong. Aku bingung. Benarkah aku bisa menjadi penulis?

Namun, di saat aku tak siap siaga dengan pulpen dan kertas dalam jangkauanku, ide begitu saja lewat dalam benak. Aku hanya bisa berkata dalam hati. Kata-kata begitu meluncur dengan lancar. Ibarat sumber mata air, maka airnya terus mengucur deras dari sumbernya. Lancar. Tak terbendung. Hanya komitmen yang aku niatkan untuk menyimpan ide ini tanpa kunci jaminan dalam kotak imajinasiku hingga aku siap menuliskannya nanti. Tapi kapan? Begitulah. Akhirnya, hingga waktu tiba untuk menulis, ide yang tersimpan itu telah melakukan pelarian karena tak terayomi segera. Sungguh na’as!

Inilah sekelumit kegundahanku dalam menulis. Entah kapan dari tanganku lahir karya-karya emas untuk peradaban. Entahlah. Sekarang menulislah saja. Menulis karena kau nyaman dan kau suka. Jika ada waktu nanti, mungkin kau akan menulis untuk kemaslahatan, Wenny!
 
 
 
~Wenny Pangestuti~

* Ditulis 29 Juni 2013 

September 07, 2014

“Hallo, Bapak?”


Seharian ini aku resah. Menunggu. Aku hanya sedang menuggu satu hal. Bapak sudah di rumah. Sms itulah yang kuberharap segera muncul di layar HP-ku. Setiap kali sms datang di HP-ku, berharap nama Bapak-lah yang muncul. Tetapi semakin ditunggu, semakin diharapkan, tak jua muncul-muncul.
Pagi berganti siang. Siang berganti sore. Akhirnya nama Bapak muncul di kotak inbox HP-ku. Kubuka.

Pinjam HP temanmu
bpk mau telpon

Seketika itu aku beranjak dari tempat tidur dan keluar kamar, mencari keberadaan temanku. Ternyata temanku sedang shalat Ashar. Kutunggu hingga usai. Setelah tolehan salamnya ke arah kiri, kupanggil namanya, “Mbak Fika!”
HP temanku bernomor Telkomsel sama dengan bapakku, sedangkan aku menggunakan nomor Indosat. Sehingga wajarlah jika bapak ingin menelponku, beliau memintaku meminjam HP temanku bernomor Telkomsel.
Kutunggu HP temanku hingga berdering. Lalu muncullah panggilan dari nama bapaknya ukh Wenny. Hah, gawat! Baterai HP-nya low level. Sambil tetap membiarkan HP itu berdering, aku mencari keberadaan charger HP untuk menyambung nyawa HP temanku agar bertahan hidup lebih lama ketika pembicaraanku dengan bapak berlangsung.
Terpaksa aku cabut charger dari HP temanku yang lain, yang juga tengah di-charge, kusambungkan pada HP yang tengah kugenggam. Langsung kupencet tombol hijau dan “Hallo, Bapak?”
Aku tidak tahu apa yang dipikirkan teman-teman sekontrakan ketika mendengarkan aku ditelfon bapak. Yang keluar dari mulutku berulang-ulang tak lebih dari sekedar kata, “Iya...”, “Iya...”, dan “Iya...”.
Ternyata seharian menunggu sms dari bapak, berakhir tidak lewat dari satu menit. Singkat dan sangat singkat. Singkat, namun menguasai penuh isi jiwaku dengan satu kata, Sedih. Pembicaraan itu berakhir dengan kesedihanku yang airmata pun tak sudi keluar membasahai pipi, tertahan, sesak dalam dada sehingga tak seorang pun mengetahui apa yang sebenarnya terjadi padaku.


*Ditulis 29 November 2013



~Wenny Pangestuti~

An Overload of Idealism


Mungkin memang benar
aku terlalu congkak
di hadapan mereka

Karena sudah terlampau beranjak dewasa
lantas,
seolah telah mengantongi banyak hal
yang diketahui tentang dunia

Lalu,
meremehkan mereka
menyalahkan mereka
‘merendahkan’ mereka
Karena strata pendidikan yang tak selaras

Aku menyesal
telah mengabaikan nilai-nilai kebaktian
telah mengabaikan rasa hormat dan sayang

Kini,
kata maaflah
yang ingin banyak kuucap
pada mereka berdua
Maaf..




~Wenny Pangestuti~