October 26, 2014

My Life


Ada banyak cerita setiap harinya yang terjadi pada setiap momentum waktu yang bergulir dari detik ke detik, menit ke menit, jam ke jam. Begitulah hidup, bak fragmen-fragmen dalam flash player, atau slide-slide dalam microsoft power point. Cerita yang diharapkan menampilkan episode yang semakin baik, menuai pelajaran berharga untuk semakin berkualitasnya hidup yang dijalani. Cerita yang dapat menjadi cermin, tempat menengok kembali episode sebelumnya, mengevaluasi diri yang perlu tempaan lebih baik lagi. Tak jarang cerita itu menyisakan tangis sedih, kecewa, bahagia, dan lain sebagainya.
Gelora di dada menggebu, menghentakkan kaki untuk me-refresh pijakan pada pijakan terbaik, menyongsong raga pada geliat gerak yang lebih berarti, menyingkap tirai gelap dalam pemikiran dan kalbu untuk menyeruak dengan cahaya silau semangat akan kebenaran. Fighting. Melawan arus kehidupan dunia yang dipenuhi sampah kemilau melenakan.


MY LIFE  
menyusun mozaik kehidupan terindah untuk hasil yang terindah



~Wenny Pangestuti~

*Ditulis 06-11-2012
@an-Nahdhah 
04.42 WIB

Seiring berjalannya waktu ketika aku telah menuliskan tulisan di atas, ternyata baru kutahu bahwa ada sebuah lagu yang berjudul sama dengan slogan yang kubuat itu, My Life. Lagu yang diciptakan dan dinyayikan oleh Sherina Munaf. Ternyata pula, liriknya juga menarik. Berikut kukutipkan liriknya.

Tetes embun pagi
Alangkah cepat kau pergi
Tak inginkah kau sambut
semesta berganti hari

Akankah tampak cerah
Ataukah mendungmu
membayangi hari-hari
Itu kan sangat berarti

Dalam hidup ini kuarungi
lautan yang penuh mimpi
dan misteri Sang Ilahi

It's in my life, my heart, my soul
my sense of love
Kedamaian di hati

And in my life, my heart, my soul
my sense of love
Mutiara hidup di lautan luas
Kujalin dan kuhias di hati

Tetes embun yang pergi
bilakah kau kembali
Takkan pernah ku tahu
apa yang terjadi esok hari

       Seiring menggemanya slogan My Life dalam memoriku kala itu, yang didukung dengan dendangan lagu My Life milik Sherina Munaf, aku tergelitik mendesain-desain, yaitu menyatukan gambar-gambar (buatan orang lain tentunya) dan kata-kata yang kurangkai sendiri, seperti berikut.




October 24, 2014

Perahu Kertasku


Jika di dunia fiktif, Dee berhasil menghadirkan sosok Kugy dengan dunia menulisnya, maka di dunia nyata, Allah telah mengadakan sosok Wenny juga dengan dunia menulisnya.

Siapa yang menduga bahwa aktivitas menulis menempati ruang spesial dalam hatiku. Masih kuingat memori-memori dari kecil hingga beranjak remaja hal-hal yang semakin lama, semakin menanamkan akar cintaku pada aktivitas menulis.
Dari penuturan bapak dan ibuku, ketika ‘mudhun lemah’, aku memilih buku dan pulpen. Ketika balita, aku pernah membuat ulah. Buku pembukuan bapakku, kucorat-coret semauku. Tentu saja bapak yang bertugas sebagai juru tulis di kantor harus merekap ulang hasil kerjanya dan aku diberi buku secara khusus untuk bercorat-coret semauku itu.
Ketika kelas V SD, aku mendapatkan diary mini pertamaku. Aku rutin menulis di lembar demi lembar buku itu setiap harinya hingga genap satu tahun. Dari sanalah, aku menjadi ketagihan untuk terus menulis diary. Mengganti buku demi buku diary apabila telah terlewat habis halaman kosongnya. Seringkali aku terpesona melihat pajangan buku-buku diary di etalase toko. Berharap dapat memilikinya satu.
Sampai sekarang aktivitas menulis diary tetap berlangsung. Bagiku, menulis diary sama halnya update status-ku. Aku bisa update status tanpa kamuflase harapan mendapat like atau comment orang lain.
Ketika kelas VIII SMP, aku memiliki lima teman dekat yang kami menyebutnya sebagai The Errors. Dengan The Errors-lah, aku mempunya diary bersama. Ada Red Book, Green Book, Blue Book, Brown Book sesuai dengan warna sampul bukunya. Setiap tiga hari berturut-turut buku diary bersama itu beralih tangan pada masing-masing dari kami.
Sebelum aku menyadari aku mencintai ‘menulis’, aku terlebih dulu menyadari mencintai ‘membaca’. Bapak dan ibuku memang tak pernah rutin membelikan aku dan adikku buku bacaan. Namun, di mana ada buku bacaan, di situlah aku selalu tertarik. Siapa pun yang mempunyai buku bacaan, kepadanya-lah aku akan meminjam. Aku bersyukur di SMP-ku, perpustakaan benar-benar ‘hidup’. Aku kerap kali meminjam buku di sana. Buku yang sering kupinjam adalah kumpulan novel Sapta Siaga karya Enid Blyton, Harry Potter karya JK Rowling, kumpulan novel atau cerpen terbitan DAR! Mizan dan kumpulan novel Putri Huan Zhu.
Bersama The Errors juga-lah, aku mempunyai kebiasaan unik. Setiap selepas hari terakhir ujian semester, kami berduyun-duyun ke toko penyewaan komik dan novel. Masing-masing dari kami menyewa buku-buku favorit kami. Buku-buku yang sering kami pinjam adalah kumpulan komik Detektif Conan, Detektif Kindhaici, Miiko, kumpulan novel Lupus, novel-novel karya Agatha Christie dan masih banyak lainnya. Di antara semua bacaan kami, yang paling favorit dan sering menjadi tema obrolan kami adalah novel-novel Harry Potter.
Sebagaimana Kugy yang mempunyai radar untuk menemukan Keenan, aku pun juga mempunyai radar untuk me-stimulus aktivitas menulisku. Radar itu adalah kehidupan itu sendiri. Kehidupan yang kubaca, kulihat, kudengar, dan kurasakan. Kehidupan yang selalu menampilkan beragam fenomena dari hal besar hingga hal yang sangat sederhana sekalipun. Kehidupan yang bergerak, berbicara, menjadi sumber inspirasiku untuk menyulam makna yang terpilin dengan sendirinya dalam ruang pikirku. Yang kadang sulit kubahasakan dengan lisan, namun terjalin dalam kata-kata tulisan.

Menulis telah menjadi healing bagiku. Dengan menulis aku merasa menjadi lebih baik di saat menjadi buruk, merasa lebih tenang di saat merasa takut, resah, dan sedih.


~Wenny Pangestuti~

Jember, 22 Oktober 2014 
06.02 WIB


October 21, 2014

Menjadi Ibu: Nuansa dan Romantikanya

Sumber: www.lendabook.co


Judul Buku     : Indahnya Jadi Ibu: 9 Inspirasi , 1 Dedikasi
Editor              : Tim Penerbit Vamily
Penerbit           : Vamily, Jakarta
Tahun Terbit   : 2012, Cetakan ke-1
Tebal               : viii + 204 halaman; 21 cm

“Behind A Great Husband, There’s A Greater Woman... His Wife”

Ya, seorang istri, ibu, perempuan mau tidak mau harus diakui memiliki peran yang besar di muka bumi ini. Jika laki-laki memilki kodrat sebagai pemimpin di dunia, maka seharusnya perempuan disebut memiliki kodrat sebagai pencipta. Pencipta pemimpin-pemimpin yang akan menentukan nasib makhluk di dunia. Seperti kata RA Kartini, “Dari perempuan, seseorang belajar mendengar, berbicara dan menulis.” Dengan kata lain, perempuanlah sumber pendidikan.
Namun, kita tidak akan bisa menjadi sumber pendidikan jika kita tidak bahagia, jika kita tidak merasa berharga, jika kita tidak belajar, jika kita tidak memiliki komunitas yang intelek. Dan semua itu hanya akan tercapai jika didukung dari suami.

You can never be good parents, if you can’t be a good couple.

Ya, ada sejuta kisah tentang orangtua mengasuh anak-anaknya. Tetapi sebaik-baiknya orangtua berasal dari hubungan suami-stri yang baik pula. Dan percaya atau tidak, dukungan suamilah yang mampu me-recharge semangat seorang istri dalam menghadapi dunia sebagai seorang ibu. Oleh sebab itu, buku ini memuat cerita para perempuan yang mendapat dukungan penuh dari suami, baik untuk urusan rumah tangga maupun dunia profesional.
Buku ini mengambil sembilan kisah perempuan dari berbagai kategori dan profesi, yang mewakili sedikit dari begitu banyak romantika menjadi seorang ibu. Dengan caranya masing-masing, mereka berusaha untuk menjadi sempurna bagi anak-anak mereka.
Ketika seorang ibu berkomitmen penuh memberikan ASI, ternyata membuka jalan untuk membantu anak-anak yang membutuhkan ASI tetapi tidak cukup beruntung mendapatkannya terkait berbagai alasan mendesak (alasan medis atau kematian). Itulah Alia Jumhur Hidayat sebagai donatur ASI bayi 18 anak.
Ketika seorang ibu merasa terombang-ambing saat harus kembali ke kantor dan menyandang status wanita karir, ternyata mampu membentuk time management yang baik dalam mengurusi ketiga anaknya. Itulah Yuanita Rohali sebagai Direktur Keuangan Bakrie Energy International Pte.Ltd.
Ketika seorang ibu merasa sudah kerepotan mengurus anak semata wayangnya, ternyata ada ibu yang memiliki empat anak, tanpa pengasuh, tetapi tetap mampu membuka bisnis di rumah. Itulah Jana Parengkuan sebagai pengusaha toko kue dan Astri Nugraha sebagai Pemilik Astri Nugraha Design Studio dan Astri Nugraha Catering.
Ketika seorang ibu lelah karena beberapa kali hamil dan melahirkan dalam waktu dekat, maka kita dapat belajar bersyukur ala Donna Agnesia sebagai ibu dari 3 anak dalam waktu 5 tahun.
Ketika seorang ibu merasa tidak memiliki pengetahuan tentang pengasuhan anak dan selalu merasa serba salah saat berhadapan dengan anak-anak, maka kita dapat bertanya dan belajar bersama Mona Ratuliu, yang menjadi pejuang parenting di bawah bendera Kelompok Peduli Anak.
Serta masih ada sosok-sosok Memes, Alissa Wahid dan Melanie Putria yang memiliki ruang cerita sendiri mengenai pengalaman dan inspirasi menjadi seorang ibu bagi anak-anaknya seiring dengan profesi masing-masing yang tengah mereka tekuni.
Buku ini dapat menjadi referensi bagi para pembaca, khususnya para perempuan yang hendak menjadi ibu, untuk mendapat gambaran mengenai dunia ibu dengan segala nuansa dan romantikanya. Atau bagi para perempuan yang telah menjadi ibu untuk tidak kenal putus asa dan tidak ada kata terlambat untuk terus memperbaiki peran diri sebagai ibu yang berkualitas dalam keluarga. Akhirnya, saya menyampaikan: “Selamat membaca dan semoga menginspirasi!”

“Bahwa semua ibu adalah supermom dengan kesempurnaannya masing-masing. Bahwa sebenarnya seorang ibu mampu melakukan banyak hal yang mungkin tidak disadarinya. Bahwa seorang ibu berhak memiliki kebahagiaan dan passion selain urusan rumah tangga. Bahwa seorang ibu harus menjadi maju guna menciptakan generasi yang sehat, pintar, dan bahagia.”


~Wenny Pangestuti~

Jember, 20 Oktober 2014
19:33 WIB

October 19, 2014

Transformasi Maknawi Ramadhan


Ramadhan adalah bulan yang mulia bagi umat Islam. Setiap amalan ihsan dilipatgandakan pahalanya. Bulan yang penuh dengan ibadah meraih ketaqwaan setinggi-tingginya di hadapan Allah subhanallahu ta’ala. Bulan yang semestinya menjadi bulan taqarub ila Allah. Bulan yang seharusnya me-refresh kembali keimanan kepada Allah. Bulan yang seharusnya menjadi konsentrasi untuk bertaubat pada Allah.
Sungguh beruntung, muslim dan muslimah yang sadar betul akan keutamaan bulan Ramadhan ini. Mereka tak kan menyia-nyiakan bulan ini berlalu begitu saja. Mereka tentu berlomba-lomba mengisinya dengan amalan-amalan kebaikan yang kian mendekatkannya dengan Rabb-nya, Allah subhanallahu ta’ala.
Namun, tak sedikit pula yang tak sadar betul akan keutamaan bulan Ramadhan ini. Terlebih di tengah kehidupan sekuler-kapitalis saat ini umat Islam sangat minim sekali pemahaman akan tsaqafah Islam itu sendiri. Selain hampir mati rasa untuk mempelajarinya, akses yang mempermudah umat Islam memahami ajaran Islam secara komprehensif kian dipersulit. Di sekolah, pembekal tsaqafah Islam alakadarnya. Demikian pula di kampus perguruan tinggi. Porsi pelajaran agama Islam hanya kurang lebih 2-3 jam dalam seminggu di sekolah, sedangkan bobot kuliah agama hanya 2-3 SKS selama masa kuliah. Minimnya penanaman tsaqafah islam di lembaga pendidikan, membuat Islam sadar diri dicari di luar dan tidak sedikit umat Islam yang phobi diajak kajian-kajian Islam. Kompleks. Karena akar permasalahannya adalah asas kehidupan yang mendera umat Islam saat ini adalah pemisahan agama dari kehidupan sehingga wajar melahirkan umat Islam yang ‘bodoh’ terhadap agamanya sendiri. Sungguh ironi!
Maka juga tak kalah mengherankan pula apabila pemahaman keutamaan bulan Ramadhan pun alakadarnya. Ramadhan saat ini bagaikan cukup sebatas menahan lapar dan dahaga saja. Coba perhatikan perilaku umat saat ini dalam menyambut bulan Ramadhan, urusannya tak lain dan tak bukan soal makanan, takjil, dan bla bla bla. Umat berbondong-bondong membuat makanan yang seringkali melebihi batas kebutuhannya. Huru-hara Ramadhan berpusat pada makanan. Ya seperti itulah..
Ketika berbuka, seolah gelap mata, semua hidangan ingin disantap. Tak lagi peduli bahwa sebenarnya kebutuhannya sudah cukup terpenuhi. Ketika tiba panggilan shalat, keluhan kenyang bersahut-sahutan, shalat tarawih dengan payah dan terkantuk-kantuk. Belum lagi, kebiasaan umat yang melepas ba’da sahur dengan tidur di pagi hari. Ya seperti itulah aktivitas-aktivitas umat saat ini memaknai Ramadhan.
Yang juga miris adalah shalat tarawih. Umat saat ini terjebak pada kuantitas dan lalai pada kualitas ibadah. Mereka mengira semakin banyak ibadah yang dilakukan, semakin memberatkan timbangan pahala. Mereka mengabaikan aspek ruhiyah lain, seperti kekhusu’an, rasa berserah diri, rasa takut pada Allah, kesabaran menjalani puasa di siang hari, konsep tawakal dalam berikhtiar, dan lain sebagainya.
Fenomena lainnya adalah jika kita berjalan-jalan di kampus tempat saya belajar, di bulan Ramadhan akan kita temui bejibun anak muda berdiri di kiri-kanan jalan menjajakan ta’jil. Berkelompok, baik laki-laki sendiri, perempuan sendiri, atau campur baur laki-laki dan perempuan, bahkan tidak turut ketinggalan anak-anak kecil turut serta. Tidak salah sebenarnya kalau itu untuk mencari penghasilan. Yang masalah adalah bukan karena mencari nilai materi, tapi sebatas euforia menyambut Ramadhan. 
Saya berpikir mungkin saat ini umat Islam, khususnya Indonesia, menjadikan Ramadhan ibarat bulan khusus yang terdapat perayaan budaya ritual tahunan yang menjadi ciri khas bangsa. Sama halnya ketika kita berkunjung ke negeri orang, mengenal kebudayaan negeri tersebut. Kita temukan ada kebudayaan perayaan adat istiadat yang khas, yang menjadi daya tarik warga asing datang menyaksikannya. Begitulah mungkin posisi Ramadhan di tengah-tengah umat. Akibatnya, esensi Ramadhan sebagai bulan meraih ketaqwaan kepada Allah menjadi perlahan sirna tereliminasi oleh budaya euforia belaka.



~Wenny Pangestuti~

*Ditulis Selasa, 31-07-2012
@an-Nahdhah  
05.20 WIB