November 30, 2014

Wanita Karir: Tantangan atau Ancaman untuk Menjadi Istri yang Baik?


Ada sebuah cerita dari seorang teman yang sama-sama tengah mengerjakan tugas akhir skripsi. Selain berstatus sebagai mahasiswi, teman saya tersebut juga berstatus sebagai seorang istri dan baru saja dikaruniai seorang bayi perempuan. Tentu saja, setiap hari ia harus membagi waktu antara menjalankan perannya sebagai seorang istri, ibu, dan mahasiswi. Ditambah lagi, ia juga bekerja sebagai guru les di rumahnya. Tak jarang ia membagi ceritanya tatkala kami bersua di kampus.
Suatu ketika ia bercerita bahwa ia merasa bersalah karena waktu bimbingan skripsinya hari itu telah membuat dosen pembimbingnya -yang juga sama-sama perempuan-  membatalkan agendanya untuk menjemput sang buah hati pulang sekolah. Lebih lanjut, ia bercerita bahwa dosen pembimbingnya tersebut memang terlihat sibuk. Beliau seringkali membawa pulang naskah-naskah skripsi mahasiwa bimbingannya. Maka, tak ayal suatu ketika dosen tersebut bercerita bahwa buah hatinya mengeluhkan kesibukan sang bunda yang seringkali pulang membawa tumpukan kertas di rumah. Mengetahui hal tersebut, teman saya merasa takut jika ia bekerja suatu saat nanti, ia akan terlalu sibuk dan mengabaikan waktu bersama buah hatinya.
Melihat kondisi di atas, saya tidak bermaksud menekankan bahwa untuk menjadi istri yang baik atau ibu rumah tangga yang optimal menjalankan perannya adalah yang tidak bekerja. Bekerja atau tidak bekerja sebenarnya itu pilihan bagi setiap perempuan. Dalam Islam, kedudukan wanita yang memilih bekerja tidaklah salah. Sebab, hukum perempuan bekerja adalah mubah, alias boleh selama cara yang ditempuh tidak melenceng dari syariat, seperti berpakaian menutup aurat, berpenampilan tidak berlebihan (tabaruj), menjaga interaksi dengan lawan jenis, mendapat ijin dari wali atau suami, dan tidak mengabaikan kewajibannya dalam rumah tangga. Allah subhanallahu ta’ala berfirman,

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu. Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara mereka…”
TQS. An-Nisa’ [4]: 34

Dalam firman Allah subhanallahu ta’ala yang lain,

“Dan katakanlah: Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.”
TQS. At-Taubah [9]: 105

Dalam penggalan dua ayat di atas, tampak jelas bahwa kewajiban menafkahi sebenarnya berada di pundak laki-laki atau suami.  Sedangkan bagi wanita tidak ada pembebanan (taklif) untuk menjalankannya. Namun, juga tidak ada larangan bagi seorang istri untuk bekerja selama ia tetap bisa menjalankan fungsinya sebagai pemelihara terhadap anak-anaknya dan dapat menjaga diri serta kehormatannya. Dapat dikatakan pula bahwa seorang wanita tetap bisa menjadi istri yang baik, sekalipun ia bekerja. Bekerja atau tidak bekerja, peluangnya sama bagi perempuan untuk tetap dapat menjadi istri yang baik dalam rumah tangga.
Kita dapat belajar dari keteladanan Khadijah binti Khuwailid dalam hal ini. Khadijah adalah sosok wanita pilihan yang Allah amanahkan untuk mendampingi Muhammad dalam menjalani  tugasnya sebagai Rasul Allah. Dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda,

“Tidaklah Allah mengganti untukku (istri) yang lebih baik darinya (Khadijah). Dia beriman kepadaku saat orang-orang kufur. Dia mempercayaiku saat orang-orang mendustaiku. Dia memberikan hartanya kepadaku saat orang-orang mengharamkan harta untukku. Dan dia memberikan aku anak saat Allah tidak memberikan anak dari istri-istriku yang lain."
HR. Ibnu Abdi al-Bar dan ad-Daulabi

Selain menjalankan perannya sebagai seorang istri, Khadijah juga dikenal sebagai sosok wanita pengusaha. Sebagai seorang penguasaha, Khadijah banyak memberikan bantuan dan modal kepada pedagang atau melantik orang-orang untuk mewakili urusan-urusan perniagaannya. Keuletan, kesungguhan, kecerdasan, dan ketelitiannya dalam menjalankan usaha perdagangannya itu tidaklah beliau jadikan semata-mata untuk kesenangan yang bersifat dunia semata. Khadijah dengan rela memberikan hartanya untuk kepentingan dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Dalam kisah Khadijah, Allah subhanallahu ta’ala mengabadikan teladan bagi wanita. Khadijah adalah wanita yang cerdas, ibu rumah tangga yang amanah, pendidik bagi anak-anaknya, pengusaha yang sukses, istri Nabi dan Rasul, dan pejuang di jalan Allah. Tidaklah mungkin Allah menjadikan Khadijah sebagai teladan jika tidak mungkin untuk diteladani, karena pada dasarnya kaum wanita adalah kaum yang mampu melakukan semua itu.
Di era modern seperti sekarang ini, tak ada salahnya kita juga belajar dari pengalaman sosok Yuanita Rohali, seorang wanita yang telah lama berkiprah dalam dunia karir dan kini tengah menjabat sebagai Direktur Keuangan PT. Bumi Resources Mineral Tbk. Kiprahnya sebagai wanita karier lantas tak membuat Nita -begitu panggilan akrabnya- lupa pada kodratnya sebagai seorang istri dan ibu. Ia tetap menyisihkan waktu untuk mendampingi suami dan tiga buah hatinya. Nita pernah menunda keinginannya untu berkiprah dalam karir tatkala awal baginya menjadi seorang ibu dan anak-anaknya masih dalam usia yang tidak memungkinkan untuk sering ditinggal dan masih sangat butuh perhatian dalam perkembangannya. Nita baru aktif bekerja tatkala usianya menginjak 28 tahun di saat teman-teman seusianya telah banyak yang melejit dalam karirnya. Baginya, suami adalah pengabdian nomor satu, anak-anak adalah amanah, dan pekerjaan adalah komitmen, maka dari itu tidak ada satu pun yang boleh diabaikan. Satu-satunya yang perlu berkorban adalah dirinya.
Untuk tetap menjaga perannya sebagai seorang istri dan ibu serta wanita karir agar seimbang, Nita memberikan inspirasi bahwa suami adalah kunci terpenting bagi seorang wanita dapat mengejar karir. Hal pertama yang harus dimiliki para perempuan untuk sukses berkarir adalah terciptanya understanding dengan pasangan atau suami. Penting bagi seorang istri untuk mendapat dukungan penuh dari suami saat memutuskan untuk bekerja. Selain dukungan suami, seorang istri juga harus mencari tahu apa sebenarnya tuntutan suami terhadap dirinya. Begitu seorang istri memahami harapan suami, barulah ia berkomitmen melakukannya dengan sungguh-sungguh.
Tambahnya, seorang istri juga harus mau berkutat dengan detail. Detail yang baik mampu membimbingnya membentuk time management yang baik pula sehingga tidak ada kepentingan yang tumpang tindih satu sama lain.
Jadi, apa pun pilihannya, entah itu wanita karir atau ibu rumah tangga saja, semuanya sama baiknya, insya Allah semuanya akan bernilai pahala selama wanita tersebut menjaga harga diri dan kehormatannya, dan taat pada aturan yang Allah tetapkan. Semuanya mempunyai peluang yang sama untuk menjadi istri yang baik. Apabila seorang wanita memutuskan untuk bekerja, mau tidak mau, ia harus bekerja dua kali lebih efektif dibandingkan orang lain. Itulah cara agar seorang wanita ingin tetap menjadi istri yang baik; istri yang tetap memiliki quality time untuk suami dan anak-anaknya.



~Wenny Pangestuti~



Sumber:

Majalah D’rise. Edisi ke-17, Desember 2011.

Ridha, Muhammad Rasyid. 2004. Perempuan Sebagai Kekasih. Jakarta Selatan: Hikmah.

Tim Penerbit Vamily. 2012. Indahnya Jadi Ibu: 9 Inspirasi 1 Dedikasi. Jakarta: Vamily.





http://www.youtube.com/watch?v=-2PNPyiR9jo