June 27, 2016

Perjalanan Suatu Hari dengan KA Pandanwangi

from Google

me:                 Assalamu’alaikum..
pak, bu, q bsk mau
pulkam ya k bwi..?
27-Okt-2014 17:24:39

ibu:                ya ko nk ws budal
smso
27-Okt-2014 18:26:15

me:                 Pak, bu, bsk insya
Allah q naik kreta
pagi brgkt 5.10.
27-Okt-2014 18:57:38

bapak:          Ok yg penting klo
hmpir sampai St. T
guruh beri kbar.
27-Okt-2014 19:40:30

Aku tidak tahu harus berkata apa. Mungkin ini terlihat sederhana, tetapi keduanya sering membuatku menangis. Menangis karena cinta. Karena aku belum dapat menjadi siapa-siapa selain seperti sekarang.

28/10/2014, 23:22 WIB

***

Pukul 05.10an aku melaju dengan Kereta Api Pandanwangi. Ini pengalaman pertamaku naik kereta api di pagi hari dari Jember menuju Banyuwangi. Biasanya aku memilih jadwal keberangkatan sore sekitar pukul 14.45. Perjalanan pagi ini diiringi dengan sinar mentari yang kejingga-jinggaan. Embun pagi melatari atmosfir alam. Semuanya terlihat teduh dari balik jendela kereta api ini.

Diawali dari keberangkatanku tadi dari tempat kos yang berlokasi di Jalan Jawa VI pada pukul 04.33 WIB dengan berjalan kaki. Langit masih bersuasana temaram. Udara dingin, namun segar yang bersahabat. Jalan-jalan masih lengang. Satu dua tiga sepeda motor berkeliaran. Ada pedagang yang bersiap memulai aktivitas mencari nafkahnya. It was interesting. I never knew this experience and condition. I enjoyed my challenge just now. Walaupun tas di punggung lumayan berbobot, itu tak menjadi masalah. Alhamdulillah, aku diberi kesehatan dan kekuatan fisik.

Dengan kecepatan yang sudah kuatur sedemikian rupa, -tidak terlalu lambat, juga tidak terlalu cepat, alias sedang-, aku berhasil sampai di Stasiun Jember sekitar pukul 05.00. Alhamdulillah sekaligus fiuhh lega! Akhirnya, aku telah sampai tepat pada waktunya. Lumayan, kurang lebih 30 menit menyusuri Jalan Jawa, Jalan Bengawan Solo yang berputar-putar dan menanjak.

Kereta pagi ini cukup lengang. Aku duduk sendiri di areaku. Baru saja sudah melalui Stasiun Kalisat. Sebelumnya, ada sedikit keributan oleh para petugas kereta api, yang merusak kedamaian pagi ini dengan sumpah serapah.

Naik kereta api memang tak tergantikan suasananya. I’m enjoying.

05.40 WIB, tempat duduk K3 7D KA Pandanwangi

***

Kereta api bersiap melaju dari Stasiun Kalibaru. Baru beberapa menit yang lalu aku menyantap sarapanku. Nasi Pecel Garahan. Setelah beberapa kali naik kereta api rute Jember-Banyuwangi, akhirnya aku beli juga Nasi Pecel Garahan. Tadi aku turun dari kereta. Alhamdulillah, dengan uang Rp5000 aku mendapat satu bungkus Nasi Pecel Garahan dan satu bungkus peyek.

Menu Nasi Pecel Garahan sebenarnya sederhana. Satu pincuk nasi, satu buntelan plastik sayur genjer dan manisa, satu buntelan plastik bumbu pecel dan dua buah kerupuk. Just them! Tidak ada lauk tempe atau tahunya. Semua itu dihargai Rp3000,-. Sedangkan peyeknya Rp2000,-.

Dan aku masih sendiri di areaku. Aku cukup menikmati. Ini perjalanan naik kereta api yang lain daripada sebelumnya.

05.47 WIB, tempat duduk K3 7D KA Pandanwangi

***

me:                 Pak, kretanya wis
nympe stasiun
glenmore..
28-Okt-2014 06:55:45

bapak:          Ok bpk brngkat
skrng.
28-Okt-2014 06:57:10

Matahari telah membumbung tinggi, mulai menawarkan terik dan silaunya, menembus jendela kereta api ini. Itu kondisi sebelum sampai di Stasiun Glenmore. Namun, setibanya di Stasiun Glenmore langit dengan awan agak mendung membayang.

Tinggal satu, dua, tiga stasiun aku akan sampai. Dan aku masih sendiri di areaku berada. Baru saja petugas karcis bertugas, memeriksa kesahihan karcis penumpang. Ternyata petugasnya adalah bapak yang kuduga tadi bersumpah serapah.

07:04 WIB, tempat duduk K3 7D KA Pandanwangi

***

Sekitar 07.30an lah aku tiba di Stasiun Temuguruh, tujuan pemberhentianku. Kedatangan ini sebenarnya berjalan terlambat. Sebab, kereta api yang kunaiki berhenti cukup lama di Staisun Kalistail untuk menunggu tibanya kereta api dari arah yang berlawanan. Alhasil, bapak sepertinya juga menunggu sekian menit kedatanganku. Itulah mengapa sesampainya aku di Stasiun Temuguruh tak kudapati sosok bapak dan sepeda motornya. Berbeda dengan sebelum-sebelumnya, setiap aku tiba, bapak sudah siap sedia ada di sana untuk menjemputku.

Tak berapa lama menunggu, ternyata bapak muncul. Bapak tadi beranjak ke suatu tempat setelah menungguku lama belum tiba-tiba. Begitulah ceritanya.

Oh iya sedari tadi aku menuliskan tempat duduk 7D. Apakah ini nomor tempat dudukku? Bukan. Sebenarnya nomor tempat dudukku 7E. Tapi lantaran tempat areaku tak bertuan, maka aku menggeser dudukku di 7D yang bersebelahan dengan jendela.

Inilah sepenggal kisah perjalananku naik kereta Pandanwangi di pagi hari.

09:55, kamar depan rumah Banyuwangi

***

Setelah 5 hari 5 malam berada di rumah Banyuwangi, mulai hari Selasa, akhirnya hari Ahad, 2 November 2014 aku beranjak kembali ke Jember. Tentu saja masih dengan alat transportasi yang sama, yaitu Kereta Api Pandanwangi.

Aku mulai berangkat dari rumah pukul 10.00an, diantar oleh bapak naik sepeda motor. Sampai di Stasiun Temuguruh sekitar pukul 10.30an. Selama perjalanan menuju ke stasiun, bapak menjelaskan keberadaan fasilitas pendidikan di Kecamatan Songgon, Desa Sragi. Bapak juga menjelaskan batas-batas desa di sekitar sana. Bapak ibarat pemandu perjalanan yang menjelaskan ini dan itu dan aku menjadi pendengar setia yang baik.

Di stasiun, sembari menunggu pemeriksaan karcis dan datangnya kereta, bapak mengajakku ke warung, membelikan minuman dan makanan ringan. Aku hanya membeli satu botol ukuran sedang air mineral Aqua dan satu bungkus roti. Aku tidak ingin merepotkan bapak terlalu. Di menit-menit terakhir keberangkatan, bapak tak luput memberikan petuah-petuahnya kepadaku.

Pukul 11.00an Kereta Api Pandanwangi tiba di Stasun Temuguruh. Semua penumpang yang telah menunggu bergegas naik ke atasnya. Lagi-lagi aku mendapat tempat duduk di Gerbong 3. Ternyata Gerbong 3 cukup padat. Beberapa penumpang tidak mendapatkan nomor tempat duduk. Setelah semua penumpang telah naik, kereta tak kunjung berangkat dalam waktu yang cukup lama. Kulihat bapak masih setia menanti di stasiun, menunggu keberangkatan keretaku. Bapak memang selalu seperti itu, tidak akan beranjak meninggalkan stasiun sampai kereta yang kutumpangi berangkat.

Ternyata Kereta Api Pandanwangi tak kunjung berangkat karena masih menunggu kedatangan Kereta Api Probowangi dari arah berlawanan. Ketika Kereta Api Pandanwangi mulai berangkat, kulihat ke arah stasiun, tetapi tidak bisa karena terhalang badan  Kereta Api Probowangi. Aku tidak bisa melihat bapak yang masih ada di stasiun. Sedih.

03/11/2014, 06:09 WIB, kamar kos Jalan Jawa VI


~Wenny Pangestuti~

June 26, 2016

Naik Kereta Api Tuut..Tuut..Tuut..!

Ini adalah tulisan sekitar dua tahun silam, yang sebelumnya tersimpan rapi di draft blog.

from Google
Ini adalah kedua kalinya aku naik Kereta Api Pandanwangi untuk rute keberangkatan dari Jember menuju Banyuwangi setelah adanya pembaruan sistem pelayanan Kereta Api Indonesia. Terus terang, aku cukup senang dengan sistem pelayanan kereta api sekarang. Sebab, kita dapat melakukan pemesanan tiket jauh-jauh hari sehingga kita bisa memastikan mendapat tidaknya nomor tempat duduk selama perjalanan. Berbeda dengan sistem terdahulu, kita membeli tiket beberapa menit sebelum keberangkatan sehingga tidak ada jaminan untuk mendapatkan tempat duduk apalagi bila jumlah penumpangnya membludak.

Lebih lanjut, dengan sistem pelayanan kereta api yang baru, naik kereta api lebih tenang dan nyaman selama perjalanan. Karena semua penumpang mendapat tempat duduknya sendiri, sehingga tidak akan dijumpai pemandangan berdesak-desakan seperti yang masih terjadi pada transportasi bus.

Di sisi lain, tetap terasa ada yang kurang bila dibandingkan dengan sistem lama. Dengan sistem yang baru ini, tak lagi dijumpai berlalu-lalangnya pedagang asongan di dalam kereta, begitu pula para pengamen sehingga suasana di dalam kereta lebih hening. Kesiapan penumpang sendirilah untuk membawa camilan dari rumah karena selama di dalam kereta tak akan ada makanan yang bisa dibeli. Padahal sensasi naik kereta api selama ini bagiku adalah ada beragamnya pedagang asongan yang menjajakan dagangannya. Dari sini muncul pertanyaan pada diri saya sendiri, “Kemana ya sekarang nasib para pedagang asongan tersebut?” Kehilangan.

Sensasi lain yang hilang adalah keberadaan pedagang Nasi Pecel Garahan di Stasiun Garahan. Jika kita naik kereta api rute Jember-Banyuwangi kita akan melalui Stasiun Garahan. Garahan terkenal dengan kuliner nasi pecelnya yang pedas. Pada sistem yang lama, para penumpang akan berame-rame merapat ke arah jendela atau pintu gerbong ketika kereta hampir mendekati Stasiun Garahan. Mereka rame-rame membeli Nasi Pecel Garahan yang dijual para ibu yang telah stand by di stasiun tersebut dengan tampah-tampah yang telah berisi sejumlah pincuk Nasi Pecel Garahan. Dulu dengan Rp2000,- kita sudah mendapat satu pincuk nasi, tapi sekarang sepertinya sudah naik harganya. Isinya sederhana sebenarnya. Sayuran, lauk tempe, nasi, kerupuk, dan taburan bumbu pecelnya. Yang istimewa dari Nasi Pecel Garahan adalah bumbunya yang pedas. Lebih istimewa lagi kalau makannya di dalam kereta. :) 

Namun, dengan sistem yang baru sekarang ini, ibu-ibu penjual nasi pecel tidak boleh berdiri di sekitar rel sehingga bagi para penumpang yang ingin membeli nasi pecel tersebut harus turun dari kereta. Sudah kedua kalinya naik kereta api dengan sistem pelayanan baru, dua kali itu pulalah aku tidak membeli Nasi Pecel Garahan seperti biasanya. Pertama, karena aku naik kereta api sendiri tanpa partner, aku malas mau beranjak untuk turun dari kereta. Kedua, karena aku naik kereta kali ini bertepatan dengan bulan suci Ramadhan. Masak iya aku mau beli dan makan Nasi Pecel Garahan saat itu juga. He aku kan puasa. :) 

Hal lain yang membuatku senang naik kereta api dua kali ini adalah aku berangkat awal dari Stasiun Jember. Sebelum-sebelumnya saat bapak belum pensiun dan keluarga kami masih tinggal di Tanggul, aku biasa naik kereta dengan transit awal atau akhir Stasiun Temuguruh dan Stasiun Tanggul. Namun, sekarang Stasiun Jember dan Stasiun Temuguruh. Aku terkesan dengan Stasiun Jember karena menurutku stasiun tersebut paling bagus dibandingkan stasiun-stasiun lainnya sepanjang rute Jember-Temuguruh. Selain itu, stasiun tersebut terasa teduh. Sebenarnya aku ingin memotret beberapa sudut bangunan stasiun tersebut. Tetapi apalah daya aku tidak punya kamera ataupun HP yang dilengkapi kamera. Sebenarnya sudah dua kali aku mencoba meminjam kamera milik teman ketika akan melakukan perjalanan naik kereta api, tetapi selalu tidak dapat pinjaman. Tidak apalah. Barangkali lain kali nanti bisa.

Inilah sepenggal cerita tentang aku, perjalananku, dan kesanku akan kereta api dengan sistem pelayanan barunya. :)


~Wenny Pangestuti~
16.30 WIB
di dalam kereta api
yang sedang transit
di Stasiun Glenmore 
29/06/2014

June 22, 2016

Ketika Aku Punya Alasan Untuk …

wallpaperswide.com
Ketika aku punya alasan untuk marah
tetapi aku memilih untuk bersabar
ternyata itu lebih baik bagiku
karena terkadang atau seringkali, marahku
sebagai pembenaran emosionalku,
pembenaran kesensitifanku,
pelampiasan dendamku,
pembungkus kelemahanku,
dan kepengecutan dari kebijaksanaan
yang tak kumiliki

Terkadang atau seringkali dengan bersabar itu
hatiku sedikit lebih lapang,
bibirku lebih berani untuk tersenyum apa adanya,
mata hatiku terbuka melihat kebenaran/ kebaikan yang tersembunyi,
menyayangi lebih tulus

Ketika aku punya alasan untuk banyak bicara
tetapi aku memilih untuk diam mengalah
ternyata itu lebih baik bagiku
karena terkadang atau seringkali, keinginanku untuk bicara
hanya untuk menunjukkan betapa cerdasnya aku,
betapa fasihnya aku,
pengakuan kepercayaan,
dan kepengecutan dari kesalahan
yang tak mau kuakui

Terkadang atau seringkali dengan diam mengalah itu,
aku bisa melihat kesalahan lebih bijaksana,
aku bisa menemukan kebaikan yang tak tersuarakan, tapi tersimpulkan
dari aku mendengar

“ Belajar DIAM dari banyak BICARA
Belajar SABAR dari sebuah keMARAHan ”
(Merry Riana)


~Wenny Pangestuti~

June 21, 2016

My Jepret, My Passion

http://www.uniekkaswarganti.com/2016/05/Asus-giveaway-aku-dan-kamera-ponsel.html

Berawal dari tugas kesenian yang kuperoleh saat kelas XI SMA. Saat itu pak Totok, guru kesenianku menugaskan kami memotret obyek dengan dua jenis, obyek bergerak dan tak bergerak. Kurang lebihnya begitu. Aku agak lupa. Kejadiannya sekitar 9 tahun silam. Saat itu keberadaan HP yang dilengkapi kamera tidaklah semarak dan secanggih seperti saat ini. Bahkan teman-teman yang punya HP masihlah terbatas si itu itu saja. Aku adalah kelompok yang tidak punya HP saat itu. Aku dan teman-teman lebih banyak memanfaatkan kamera sesungguhnya, kamera digital.

Obyek bergerak yang kupilih adalah tukang becak. Sedangkan obyek tidak bergerak adalah bunga. Selain mengumpulkan hasil cetakan fotonya, kami para siswa diminta memberikan deskripsi mengenai tempat pengambilan foto, kapan diambilnya, dan mengapa mengambil obyek tersebut. Karena dasarnya aku sudah menyukai menulis, tentu tugas seperti ini menarik dan kujalankan dengan antusias. Aku memang punya pertimbangan mengambil dua obyek tadi.

Namun, akan kujelaskan salah satunya saja. Kenapa tukang becak? Sebenarnya ini berawal dari perenunganku sehari-hari pulang sekolah melihat jejeran tukang becak yang parkir menunggu hadirnya penumpang. Ada beragam yang dilakukan mereka ketika tak ada penumpang. Ada yang leyeh-leyeh hingga ketiduran di becaknya; ada yang saling ngobrol; ada yang main kartu. Sering aku berpikir bahwa apa yang mereka lakukan nampaknya kok tidak produktif ya. Tapi, aku sadari walau bagaimanapun juga keberadaan tukang becak cukuplah berarti bagi orang lain, seperti membantu para ibu membawa banyak barang belanjaan dari pasar hingga sampai ke rumahnya; atau kendaraan yang sangat membantu saat musim hujan tiba.

Saat aku menguraikan semua deskripsiku tentang alasan mengambil obyek tukang becak dan tulisan itu dibaca oleh seorang temanku, aku baru sadar bahwa bapak temanku tersebut bekerja sebagai tukang becak. Entah apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh temanku tatkala ia membacanya. Tapi kulihat semburat wajahnya menyikapi dengan penuh penghargaan terhadapku. Sempat ada rasa tak enak dariku kepadanya. Tapi aku tak bermaksud menyinggungmu, Kawan.

Dari adanya tugas tersebut, aku menjadi tertarik dengan dunia photograpy. Aku berpikir bahwa keberadaan foto sebagai sebuah ilustrasi dari sebuah tulisan itu cukup penting agar menjadi nilai tambah dari nyawa sebuah tulisan. Itulah mengapa, ketika aku bersinggungan dengan dunia blogging, aku selalu menyertakan gambar di setiap postingan-nya. Ya memang awal-awal blogging tulisan yang ku-posting copy-paste tulisan orang lain. Pun dengan gambarnya, asal comot melalui mbah Google. Saat itu blogku adalah Wei Ni’s Education Literature Land dengan alamat klikwell.blogspot.com. Tapi, sekarang udah kuhapus. Kuganti dengan yang sekarang ini. Berusaha original, pure tulisan dari aku sendiri, walaupun dari gambar belum. Masih suka menggunakan random acak dari pencarian di Google.

Ngomong-ngomong soal mengambil gambar dari Google, untuk melindungi hak cipta, kita dianjurkan menyertakan alamat sumbernya. Dan selama ini jujur aku tidak melakukannya. Benar juga, menyertakan alamatnya itu perlu, sebagai sebuah apresiasi, menghargai karya orang lain.

Tetapi sesekali aku juga menyertakan gambar menggunakan hasil jepretanku pribadi. Ada yang dari kamera digital yang kupinjam dari teman. Ada juga yang dari kamera ponsel. Aku sempat berganti-ganti HP. Ada yang berkamera dan ada yang tidak. Yang berkamera, ada yang hasil gambarnya bagus dan ada yang kurang bagus. HP terakhir yang kupakai saat ini tidak berkamera. Sementara, aku meminjam HP bapak untuk sekedar memotret. Karena di rumah hanya HP bapak-lah yang dilengkapi dengan kamera. Alhamdulillah kualitas gambarnya lumanyan bagus. Ya walaupun tidak secanggih Zenfone 2 Laser ZE550KL tentunya.

Dari sekian obyek yang sering ku jepret-jepret, aku paling suka mengambil obyek secangkir kopi. Ya. Kopi. Di rumah setiap pagi aku, bapak dan ibu biasa minum kopi bersama sebelum beraktivitas, sambil makan kue, sambil ngobrol-ngobrol, atau sambil nonton TV. Itu kebiasaan di rumah kami. Sesekali aku memotret sebelum menyeruputnya. Aku tertarik dengan kopi yang disajikan dalam cangkir lengkap dengan lepek-nya. Kesannya elegan bagiku. Ini beberapa hasil jepretanku:



Menurutku, kopi itu minuman yang berarti. Salah satunya, perekat hubungan kekeluargaan dengan tradisi minum kopi bersama di pagi hari. Di sisi lain, kopi menjadi teman menyenangkan untuk sekedar duduk menyendiri, menggali inspirasi untuk digoreskan pada secarik kertas. Menariknya lagi, kopi punya sejarah berarti di dalam kebudayaan Islam. Salah satunya, aku kutip dari teman bloggerku, mas Mamet bin Shadiq pemilik Sarang Opet, bahwa:
Seorang ulama kenamaan asal Yaman: Al-Habib Abu Bakr bin Abdulloh al-Idrus rahimahullah ta'ala mengungkapkan pujiannya pada sensasi ngopi-ngopi dengan untaian syair yang salah satunya berbunyi:

“Adapun kopi, wahai orang-orang yang asyik dalam cinta sejati dengan-Nya, membantuku mengusir kantuk
Dengan pertolongan Allah, kopi menggiatkanku taat beribadah kepada-Nya di kala orang-orang sedang terlelap.
Qahwah (kopi), huruf qaf-nya bermakna quut (sayur hijau yang menyenangkan), ha-nya adalah hudaa (petunjuk), wawu-nya adalah wud (cinta), dan ha-nya adalah hiyam (pengusir kantuk).
Janganlah kau mencelaku karena aku minum kopi, sebab kopi adalah minuman para junjungan yang mulia"

Selain kopi, karena aku suka dengan buku, baik itu buku untuk membaca maupun buku untuk menulis, obyek yang suka ku jepret-jepret adalah buku. Ini adalah koleksi buku bacaanku.



Sedangkan yang ini adalah koleksi buku diary atau notes-ku.



Jarang sekali aku menggunakan kamera HP untuk selfie. Bisa dikatakan aku kurang PeDe memfoto diriku sendiri atau difoto orang lain. Biasanya aku yang lebih suka memfoto orang lain. Lebih suka memfoto mereka dalam keadaan gak sadar kamera. Jadi lebih natural begitu. Berikut beberapa hasil keisenganku memfoto orang-orang dalam keadaan tak sadar kamera.



Gak jarang aku juga memfoto pemandangan alam yang amat berkesan dalam kedipan mataku saat itu.



Se-gak bisa-bisanya memfoto karena gak ada kamera yang bisa dipakai saat itu juga, aku hanya bisa menikmati indahnya pemandangan, atau obyek yang menarik lainnya hanya dalam diam, dengan jepretan alami, ciptaan Allah, yaitu lensa mataku. Se-gak punya-punya-nya kita alat untuk memfoto saat ini, gak lantas membuat kita kalang kabut juga atau patah hati banget. Setidaknya kita tidak melupakan satu hal. Apa itu? Rasa syukur. Ya, bersyukur atas anugerah yang diberikan Sang Pencipta tatkala kita melihat kemegahan karya cipta-Nya di dunia masih dengan mata yang sehat. Juga tak menghalangi kita untuk tetap berkreativitas walaupun dalam keadaan terbatas.

Harapanku, ketika ada rejeki untuk memiliki HP yang berteknologi kamera canggih sekelas Zenfone 2 Laser ZE550KL, aku lebih ingin memberdayakannya untuk mendukung passion-ku di bidang menulis. Tentu menulis dengan dukungan gambar hasil jepreten sendiri akan jauh lebih memuaskan, membanggakan, dan menenangkan. Gak lagi asal comot karya orang lain walaupun itu sah-sah saja kalau meminta ijin dan ada ijin. Memanfaatkan kamera HP lebih dari sekedar selfie, tapi mendukung kreativitas dan menghasilkan karya yang bermanfaat untuk banyak orang, this is my hope.




Tulisan ini diikutsertakan dalam :
Giveaway Aku dan Kamera Ponsel by uniekkaswarganti.com


~Wenny Pangestuti~