January 31, 2017

Memilih Menantu Idaman ala Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam ~part 1~


Ini adalah catatan yang saya peroleh dari tayangan Khalifah Trans7 pada 22 Mei 2016 silam. Kajian ini seperti biasa menghadirkan sosok Ustadz Budi Ashari sebagai narasumber dan dihadiri ibu-ibu jamaah Majelis Taklim Mar’atus Sholihah Bandung. Kala itu membahas tema yang menjadi dilema bagi banyak orang tua dalam memilih menantu yang ideal bagi anak-anaknya dan sekaligus bagi para pemuda dan pemudi jomblo dalam menjadi calon menantu idaman.

Bagi setiap orang tua tentu tidak mudah mencari menantu. Kadang kriteria tidak memenuhi syarat seperti kadar intelektual, status pekerjaan, latar belakang keluarga, kesamaan suku hingga hal sepele seperti warna kulit. Itulah yang kemudian menjadi kendala bagi pemuda dan pemudi jomblo betapa beratnya menjadi seorang calon menantu.

Di sisi lain, di jaman penuh keterbukaan ini ternyata semakin rapat dosa tertutup. Maka, kesulitan bagi setiap orang tua adalah bagaimana mencari calon menantu yang amanah sesuai dengan anak-anaknya; yang akan merawat mereka; dan terlebih dapat menjadi alasan bagi mereka untuk masuk ke Surga-Nya Allah Azza wa Jalla.

Oleh karenanya, kita kembalikan semuanya pada panduan yang pernah diberikan contohnya oleh orang terbaik, yang keluarganya adalah keluarga terbaik, yang bahagianya di dunia luar biasa, dan berkumpul bersama di Surga Allah Subhanallahu Ta’ala. Bukankah itu semua juga menjadi keinginan kita? Untuk itulah, bergurunya tidak kemana-mana. Bergurunya ke Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Saat ini banyak yang masih bingung terutama dalam konsep mencari menantu. Ada orang tua yang entah apa yang melandasinya mungkin atas nama agar dianggap sebagai orang tua yang bijak sehingga asal anaknya datang kemudian menyampaikan keinginan kepada orang tuanya bahwa umpamanya, “Ayah, ibu, saya mau menikah. Calonnya sudah ada.” Kadang-kadang muncul kalimat orang tua yang sederhana kelihatannya bijak, tetapi tidak bijak. Bahwa orang tua hanya mengatakan, “Yang penting kamu suka. Yang penting kamu cinta. Dia juga cinta sama kamu.” Maka, orang tua tinggal setuju dan ridla saja.

Dalam hal ini, Ustadz Budi Ashari pun mengajak kita kembali menyusuri kisah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan shahabat mulia Ali bin Abu Thalib radhiallahu 'anhu, salah satu menantu beliau.

Jarak usia Ali bin Abu Thalib 30 tahun lebih mudah dari Rasulullah. Abu Thalib bin Abdul Muthalib adalah ayahanda dari Ali bin Abu Thalib sekaligus paman yang dulu merawat Nabi sejak kecil. Beliau seorang ayah dengan dengan banyak anak, namun tidak banyak harta. Inilah kebiasaan bangsa Arab yang membantu saudaranya dengan cara merawat anak-anak mereka yang tidak mampu. Pada akhirnya, Nabi Muhammad memilih Ali bin Abu Thalib berada di bawah pengasuhannya. Jadi, sedari kecil Ali bin Abu Thalib hidup dengan kualitas pendidikan yang terbaik, yakni pendidikan nabawiyah, yang langsung di bawah didikan Rasulullah.

Suatu hari ketika Ali bin Abu Thalib pulang ke rumah Rasulullah, ia melihat Rasulullah dan Khadijah melakukan shalat, gerakan-gerakan yang terlihat aneh dan asing bagi Ali bin Abu Thalib. Gerakan yang tidak pernah ia jumpai di masyarakat Mekkah.

Begitu Rasulullah selesai shalat, Ali pun bertanya, “Apa yang engkau lakukan, wahai Muhammad?”

Rasul mengatakan, “Ini shalat namanya.”

Kemudian Nabi menyampaikan tentang islam yang baru saja beliau terima. Rasul menjelaskan tentang shalat dan apa itu islam. Setelah itu Nabi menawarkan, “Ali, apakah kau mau ikuti agama ini?”

Ali menjawab, “Saya harus diskusi dengan ayah saya dahulu.” Yaitu, Abu Thalib.

Nabi tidak menginginkan agama yang baru ini begitu saja menyebar ramai dan geger sebelum waktu yang tepat. Sebab, hanya akan merugikan sesuatu yang baru muncul tersebut. Makanya, Nabi berkata, “Ali, tidak! Kalau harus diskusi dengan ayahmu, tidak. Kalau memang kamu tidak suka atau belum mau menerima agama ini, ya sudah tidak usah. Tapi, kamu tidak perlu bicara dengan ayahmu, Abu Thalib.”

Malam itu, Ali bin Abu Thalib pun berpikir. Apa saya terima? Ia timbang. Ia analisa. Anak 10 tahun mampu menganalisa sesuatu yang paling besar dalam kehidupan manusia. Pagi harinya, ia menemui Nabi dan mengatakan dua kalimat syahadat. Ia mengikuti agama yang ditawarkan Rasulullah. Inilah sosok imam yang akan memimpin keluarganya; penerus darah keturunan Rasulullah; suami seorang putri mulia, Fatimah.

Suatu hari Ali bin Abu Thalib mendapat berita. Orang-orang datang menghampiri Ali bin Abu Thalib, “Ali, itu Fatimah mau dilamar orang. Kamu saja datang. Kamu lebih layak.”

Bahkan, orang lain pun melihat kalau Fatimah, putri Nabi yang luar biasa itu cocoknya hanya dengan Ali. “Sayang kalau orang lain. Kenapa bukan kamu. Kamu yang dididik dari kecil. Kamu orang luar biasa. Kamu berasal dari keluarganya. Fatimah cocoknya sama kamu. Kamu saja yang datang ke Nabi.”

Mendengarnya, Ali bin Abu Thalib pun datang ke Nabi. Nabi pun bertanya, “Ada apa, Ali?”

“Tidak ada apa-apa, ya Rasulullah,” Ali bin Abu Thalib menjawab dengan perasaan malu. Ini menjadi pelajaran bahwa orang tua janganlah hanya memutuskan dari apa yang diucapkan anaknya. Karena terkadang mereka malu.

Ditanya lagi oleh Nabi, “Ali ada perlu apa?”

“Tidak ada, ya Rasulullah.”

Lalu, apa kata Nabi selanjutnya? “Apakah engkau ingin melamar Fatimah?”

Kok tahu? Ali mengatakan, “Iya, ya Rasulullah. Tapi, saya tidak punya mahar untuk menikahi putri engkau, Fatimah.”

Nabi mengatakan, “Kemana baju besi yang aku berikan padamu?” Ternyata Nabi pernah memberi hadiah baju besi, baju perang kepada Ali bin Abu Thalib.

“Ada, ya Rasulullah.”

Nabi berkata, “Aku nikahkan engkau dengan mahar itu.”

Betapa luar biasanya keluarga ini di tengah kesederhanaan hidup yang luar biasa. Ali bin Abu Thalib saat itu berada pada masa-masa miskin. Ali bin Abu Thalib memang dikenal ahli dalam masalah ilmu, tetapi dalam masalah harta, ia miskin. Ini pelajaran mahal bahwa Nabi kita ternyata memilih menantu miskin.

Mau tahu miskinnya seperti apa? Bisa tidak ada makanan. Sampai-sampai untuk mendapatkan beberapa butir kurma, Ali bin Abu Thalib harus membantu mengangkat air untuk mengairi kebun orang lain. Upahnya, beberapa butir kurma. Miskin. Miskin sekali. Itulah yang membuat tangan Fatimah kasar, atau bahasa kita ‘kapalan’. Sebab Fatimah mengerjakan semua pekerjaan rumah sendiri, tanpa bantuan pembantu.

Itulah sosok salah satu menantu Nabi. Miskin. Namun, bukan berarti miskin termasuk kriteria. Menantu harus miskin. Tidak. Sebagaimana pula tidak masuk kriteria bahwa menantu harus kaya. Inilah yang harus dipahami betul.

Namun, dalam hal ini Ali paham betul bahwa tugas laki-laki adalah menafkahi keluarga. Itu sudah sangat cukup.

Itulah salah satu potret bagaimana Rasulullah mengajari setiap orang tua dalam memilih calon menantu. Kenalilah calon menantu seperti halnya mengenali anak sendiri. Mengenal bukan dalam jangka waktu setahun dua tahun. Namun mengenal sedari kecil. Padahal bisa saja Rasulullah memilih shahabat lain. Namun, Rasulullah justru memilih seorang menantu yang sudah dikenalnya sejak kecil.

Pelajaran mahal yang bisa diambil dari kisah sosok mulia Ali bin Abu Thalib ini adalah bagaimana seharusnya muslim memilih pasangan hidup. Pesan penting ini untuk semua orang tua muslim yang ingin memilihkan jodoh bagi anaknya. Sekaligus pesan penting bagi seluruh pemuda dan pemudi jomblo yang ingin meraih cinta sejati.

Buat para orang tua hendaknya memasang parameter taqwa di atas segalanya. Jauhkan anak-anak dari parameter dunia apalagi hanya sebatas harta. Ketahuilah bahwa seorang pemuda miskin seperti B.J. Habiebie kelak akan menjadi orang super kaya raya karena memiliki sederet ijin paten di bidang penerbangan. Bahkan beliau menjadi presiden Republik Indonesia. Maka orang tua manakah yang tertipu dengan kemiskinan Habibi ketika itu.

Buat pemuda dan pemudi jomblo hendaknya menjadikan Ali bin Abu Thalib sebagai idola, pemuda yang dekat dengan Allah Azza wa Jalla dan sangat taat kepada Rasulullah. Pantaskanlah diri seperti seorang muslim sejati: shalat diperkuat; zakat dan sedekah diperbanyak; ngaji diperdalam. Bila parameter taqwa sudah digenggaman, maka kisah Ali bin Abu Thalib bisa jadi akan menjadi kisah kita berikutnya.

Nah, demikianlah isi kajian Khalifah Trans7 bersama Ustadz Budi Ushari dan ibu-ibu jamaah Mar’atus Shaliha Bandung. Eits, tapi belum selesai! Masih ada pembahasan selanjutnya, yaitu pengembangan materi dari sesi tanya jawab antara para jamaah dengan Ustadz Budi Ashari. Jadi, nantikan postingan selanjutnya ya! Akhir kata, semoga tulisan ini bermanfaat dan menginspirasi pembaca.

To be continued…


Salam,
Wenny Pangestuti