May 14, 2017

Memilih Menantu Idaman ala Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam ~part 2~


Alhamdulillah, sesuai janji saya di bagian sebelumnya, tulisan ini membahas lanjutan tentang Memilih Menantu Idaman ala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang saya peroleh dari tayangan Khalifah Trans 7 tanggal 22 Mei 2016 silam. Bagian ini membahas hasil tanya jawab antara ibu-ibu jamaah Majelis Taklim Mar’atus Sholihah Bandung dengan Ustadz Budi Ashari sebagai narasumber. Berikut pemaparannya.

Poin pertama
Pertanyaan :
Menurut Islam, kriteria mencari calon suami atau istri itu ada empat, yaitu pertama seiman atau seagama, kedua kekayaan, ketiga kecantikan atau ketampanan, dan keempat adalah nasab atau keturunan. Bagaimanakah maksud yang seagama itu? Karena mencari calon suami atau istri yang baik, agama akan menentukan baik tidaknya kehidupan rumah tangga selanjutnya.

Ulasan:

“Diceritakan Musadad, diceritakan Yahya dari ‘Abdullah berkata bercerita kepadaku Sa’id Ibn Abi Sa’id dari Abi Hurairah ra bahwasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda wanita dinikahi karena empat perkara. Pertama hartanya, kedua kedudukan statusnya, ketiga karena kecantikannya, dan keempat karena agamanya. Maka carilah wanita yang beragama (islam) engkau akan beruntung.” 
(HR. Imam Bukhari)

Empat kriteria yang disebut di atas adalah untuk calon perempuan. Lalu, kalau untuk calon laki-laki bagaimana? Laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan. Jelas berbeda. Sebab, posisi mereka di dalam rumah tangga  juga berbeda.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Jika datang kepada kalian seorang lelaki yang kalian ridhai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia. Jika tidak, maka akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang besar.”
(HR. Tirmidzi. Al Albani berkata dalam Adh Dho’ifah bahwa hadits ini hasan lighoirihi)

Ini masalah paling penting bagi laki-laki, yaitu agama dan akhlak (atau dengan kata lain ‘amanah’). Kenapa? Karena laki-laki mempunyai amanah sebagai suami, ayah, atau juga mungkin di aktivitas sosialnya, dan seterusnya. Ini amanah. Kalau sudah datang lelaki yang seperti itu, maka nikahkan dia. Ambil dia menjadi menantu. Kalau tidak, efeknya kata Nabi akan menimbulkan fitnah dan kerusakan yang besar. Nah ini, hati-hati dalam menolak orang. Ada panduannya.

Lalu, bagaimana mengukur agama seseorang? Berarti dalam hal ini baik laki-laki maupun perempuan harus sama-sama dipertimbangkan agamanya. Karena dari hadits di atas disebutkan agama menjadi kriteria dalam memilih calon istri, begitu juga bagi laki-laki. Jadi, mau laki-laki atau perempuan, kriteria agama dua-duanya harus ada, yaitu beragama yang baik.

Apakah agama cukup dengan KTP? Orang tua saat mencari menantu, standardnya tentu tinggi, bukan? Tentu sayang jika orang tua mencari menantu dengan standard yang rendah. Tapi, dalam hal ini Ustadz Budi Ashari memamparkan standard yang paling bawah. Tidak boleh di bawah ini lagi. Karena di bawah ini, sudah jurang mati. Apa itu?

Seorang muslim itu, tentu dia akan meninggalkan yang haram. Mungkin ada yang masih melakukan yang makruh. Tapi yang haram, dia sudah tinggalkan. Sedangkan yang wajib, dia tidak pernah meninggalkannya. Mungkin yang sunnah dia tidak mengerjakan. Tetapi yang wajib, ia senantiasa mengerjakan. Nah inilah standard yang bawah itu.

Contoh, umpamanya ada orang tua yang mau mencari menantu laki-laki. Jadi dia mempunyai seorang putri, calon menantunya laki-laki. Sebagai seorang muslim, sholat itu rukun islam yang utama setelah kalimat syahadat. Bahkan di akhirat nanti, akan dicek dulu sholat-nya. Maka cek dulu sholatnya. Kalau sholatnya baik, insya Allah amalan lainnya juga baik. Jadi, efek sholat itu bisa kepada amalan yang lain. Karena itu, dicek betul sholatnya.

Laki-laki itu sholatnya di masjid. Gampang bukan. Sudah tinggal diabsen saja di masjid. Datang tidak dia di masjid. Terutama waktu Shubuh. Mudah. Sekarang dicari tahu saja dulu tinggal dimana sang calon menantu, kirim orang untuk mengecek dia di masjid. Hadir gak dia di masjid. Begitu tidak hadir sekali dua kali tiga kali, coba dicek, jangan-jangan keluar kota, jangan-jangan sakit. Itu bisa diukur. Ternyata kelihatan tuh di rumahnya. Kalau sudah berkali-kali, berarti coret, tidak layak menjadi menantu. Kenapa? Karena kalau kewajiban dia kepada Tuhannya saja berani dia langgar, bagaimana kewajiban dia membahagiakan istrinya dalam berumah tangga.


Poin kedua
Pertanyaan:
Apabila ada seorang calon menantu perempuan yang lebih pintar dari calon laki-lakinya, baik dalam segi agama maupun ilmu duniawi, bagaimana pandangan Islam mengenai hal tersebut?

Ulasan:

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.
(TQS. An-Nisaa’ [4]: 34)

Dari penggalan surat an-Nisaa’ ayat 34 di atas terdapat kata qawwam (pemimpin). Salah satu arti qawwam adalah murobbi, sebagai pendidik. Namanya pendidik harus lebih cerdas. Bagaimana kalau calon menantu perempuan malah lebih pintar dalam urusan agama dan segala macam? Dalam hal ini Ustadz Budi Ashari menyampaikan, pertama istighfar yang banyak. Istighfar sebagai bentuk salah orang tua laki-laki. Bagaimana mereka menyiapkan anak laki-laki dengan kualitas seperti itu. Kasihan si anak perempuan itu. Kasihan keluarga perempuan ini. Mereka menyiapkan perempuan yang luar biasa, sedangkan keluarga laki-laki menyiapkan laki-laki yang kualitasnya seperti ini. Pertama, istighfar dulu yang banyak. Dalam malam-malam, beristighfar, “Ya Allah mohon ampun. Ini kami salah mendidik anak. Menjadi laki-laki cuma seperti ini. Tidak pantas menjadi qawwam.”

Yang kedua, bersyukur. Kenapa bersyukur? Masya Allah, lelaki seperti ini mendaptkan perempuan yang luar biasa.

Yang ketiga, tidak ada pilihan lain, laki-laki tersebut harus menyediakan waktunya untuk belajar ilmu (agama). Harus. Tidak ada alasan dia sibuk, karirnya sedang tinggi, bisnisnya sedang besar. Tidak ada ceritanya itu. Karena yang akan mereka lahirkan adalah generasi penerus. Tidak ada pilihan, dia harus belajar ilmu. Sediakan waktu. Kalau perlu, itu dijadikan syarat di awal. “Kuijinkan engaku menikahi putriku, asal kamu menyediakan waktu betul untuk belajar ilmu. Kita saksikan  bersama-sama kalimat ini.” Harus begitu. Karena kalau tidak begitu, tidak akan ada perubahan. Nanti beralasan oh saya lagi sibuk…saya lagi ini..dan sebagainya. Karena ini adalah modal penting utama bagi utuh dan bahagianya rumah tangga. Wallahu’alam bi shawab.


Poin ketiga
Pertanyaan:
Dalam islam kan tidak ada yang namanya pacaran. Tapi ada istilah ta’aruf. Nah ta’aruf itu bagaimana batasan-batasannya? Atau bagaimana cara ta’aruf itu menurut Islam?

Ulasan:
Secara istilah bahasa, dua-dua-nya sebenarnya tidak ada di dalam syariat Islam. Tidak ta’aruf. Tidak pacaran. Dalam Islam pertama ada aturan antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki dan perempuan itu ada batasan. Kita semua tahu tentang batasan antara laki-laki dan perempuan. Batasan tersebut harus ditaati selama mereka belum halal. Halalnya kalau sudah akad menikah. Tunangan pun belum bisa dikatakan halal.

Karena alasan hari ini seseorang berpacaran, alasan paling kuatnya adalah supaya kenal. Ustadz Budi Ashari pun menyampaikan bahwa orang pacaran itu kenalnya bohong, pura-pura. Contohnya gampang. Apa pernah ada pacar menemui pacarnya dalam keadaan belum mandi, dalam keadaan kusut mukanya. Kalaupun belum mandi, itu parfumnya sudah tebal. Tapi aslinya, begitu ketemu pada malam pertama, ia terkejut dengan sifat aslinya. Artinya, pacaran bertahun-tahun pun tidak memberikan jaminan dia mengenal. Karena orang pacaran itu bohong. Dia pakai topeng.

Di dalam Islam, Rasul memberikan contoh terbaik. Contoh terbaik adalah Ali. Kalau Rasul dengan Ali contohnya mudah. Ali, Nabi kenal betul. Tidak perlu ta’aruf lagi. Wong semua sudah kenal. Ali pernah lihat Fatima. Sering malah. Fatimah pun tahu Ali. Rasul tahu putrinya. Rasul tahu Ali. Dinikahkan.

Yang tidak tahu bagaimana? Yang tidak tahu, ada prosesnya. Rasul juga pernah mengalaminya. Rasul pernah mengirim seorang perempuan untuk mengenali wanita yang mau dinikahi dan beliau belum mengenalinya. Minta dikenalinya tidak hanya sifatnya. Bahkan hingga aroma tubuhnya. Kalau ingin tahu calon menantu, maka bertanya kepada keluarganya, kakaknya, adiknya, bapaknya, ibunya, tetangganya, teman akrabnya. Dengan begitu, akan diperoleh informasi mengenai sosok asli si dia. Setelah itu, tinggal dicek cocok tidaknya. Namun, harus kita ingat pula bahwa manusia tidak ada yang sempurna 100%, maka indikator agama senantiasa menjadi prioritas utama.

Demikian akhir dari ulasan ini. Semoga dapat bermanfaat.


~Wenny Pangestuti~

May 07, 2017

Be Easy to Wear


Saya lahir bukan dari lingkungan pesantren atau pun keturunan kyai, ulama, dan sebagainya. Saya hanyalah ordinary woman. Jadi, bisa dikatakan meskipun saya terlahir sebagai muslim, bekal ilmu agama saya standard. Saya pun tumbuh selayaknya anak pada umumnya, tidak ada yang istimewa.
Semuanya mulai berubah ketika kelas VIII SMP. Dari membaca sebuah cerpen, terbukalah tabir rasa penasaran saya pada agama yang saya anut bahwa kayaknya Islam gak hanya ngatur shalat aja, puasa aja, nyuruh kita gak durhaka saja, dan bla bla bla. Masalah gejolak asmara anak ABG, Islam juga bahas deh. Itu lantaran cerpen yang saya baca mengulas bahwa nggak ada istilah pacaran dalam Islam. Dari bahasan itulah, saya mulai penasaran memahami Islam lebih dalam. Saya menjadi semakin tertarik membaca buku-buku yang bernuansa Islam mulai dari yang fiksi hingga yang non-fiksi, mulai dari yang bahasannya ringan hingga yang konteksnya berat dan dalam. Saya pun lambat laun jadi mengenal beberapa hukum Islam, salah satunya kewajiban menutup aurat bagi wanita yang telah memasuki masa baligh.
Saya pun berproses dalam menutup aurat. Mula-mula, pakai kerudung apa adanya, gak sampai menutup dada, kadang dililitkan ke leher, pakaian masih ketat, bercelana, atau pakai kaos lengan pendek ditambahi pakai deker buat nutup lengan tangan. Lalu, mulai berubah konsisten pakai rok, kerudung dilonggarin, gak lagi pake gaya dililitin di leher. Terus, mulai coba-coba pakai kaos kaki keluar rumah meskipun cuma ke warung sebelah atau ke warnet, kerudung dirangkap-rangkap kalo tipis, baju juga begitu, kalo terawang didobel pake daleman kaos. Finally, semuanya kian berubah ketika saya masuk dunia perkuliahan. Di sana saya memahami lebih jelas makna ayat Qur’an Surah Al-Ahzab ayat 59 bahwa yang dimaksud jilbab itu beda dengan kerudung. Jilbab kalo dikembalikan lagi dalam konteks bahasa Arab adalah baju mantel atau terusan yang menutupi pakaian dalam/rumahan (al-mihna). Dari sanalah saya memulai berhijrah memakai jilbab setiap keluar rumah. Jadi, kemana-mana pakai yang namanya gamis. Alhamdulillah sampai sekarang.
Ada kesulitan nggak berhijrah seperti itu? Otomatis ada. Yang namanya perubahan, pasti ada pro dan kontra. Seperti yang saya alami juga. Pro dan kontra yang paling kerasa itu datangnya dari keluarga, khususnya orang tua. Secara gitu, mereka adalah orang yang paling dekat dengan kita. Jadi wajarlah kalo mungkin mereka ‘heran’ atau bertanya-tanya kenapa anakku jadi berubah kayak gini. Ketakutan terjerumus pada aliran sesat salah satu kekhawatiran orang pada umumnya tatkala melihat wanita berubah dalam berpakaian, termasuk orang tuaku. Tapi, semua itu dikembalikan dari kekuatan komitmen kita masing-masing. Kita berubahnya karena apa dulu, ikut-ikutan saja atau karena kesadaran diri bahwa itu adalah perintah dari Allah. Saya meyakinkan orangtua kalo pilihan saya ini bukan karena ikut-ikutan semata, tapi karena pemahaman saya pada perintah Allah yang ada pada al-Qur’an. Lambat laun mereka pun bisa memahami dan menghargai pilihan saya hingga sekarang. Alhamdulillah.
Tapi itu saja belum cukup ternyata. Tantangan di luar seperti lingkungan masyarakat masih tetap ada. Apalagi kalo kita memasuki dunia kerja, sedikit atau banyak, kecil atau besar, yang namanya gesekan mengenai pilihan berpakaian syar’i pasti ada. Pikiranku, bagaimanapun caranya aku tetap harus pakai jilbab, meskipun ada di lingkungan kerja. Ya Alhamdulillah aku bekerja sebagai guru di sebuah mts swasta, jadi dalam hal berpakaian aku tidak menemukan kendala yang berarti. Awal-awal kerja aku masih pakai gamis batik begitu. Lalu, selanjutkan aku jahitin beberapa kain buat seragam kerja. Aku desain dengan gaya tetap formal buat ngajar, tapi tetap berupa terusan. Jadi, beberapa model pakaian kerjaku kelihatan dari luar seperti potongan, tapi aslinya itu terusan.

Atas : bagian luar, Bawah : bagian dalam
Pernah suatu ketika aku mancing pertanyaan ke siswa. Aku tanya apakah menurut mereka pakaianku ini potongan atau terusan. Mereka mengiranya potongan. Aku jelaskan kalo ini sebenarnya terusan. Lalu aku jelaskan sekilas mengenai prinsipku dalam berpakaian ke mereka.
Soal kerudung, terus terang aku bukan tipe orang yang sering belanja fashion. Jadi koleksi pakaian dan kerudungku tidak begitu banyak dan beragam. Ya itu-itu saja. Paling, kalo belanja sekedar ketika akan lebaran. Beberapa kerudungku ada yang bahannya tipis dan terawang. Karena sayang juga kalo tidak dipakai, jadi kadang masih saya pakai termasuk ketika kerja dengan syarat didobel dengan kerudung lain yang warnanya matching. Beberapa siswa ada yang menyadari hal ini dan iseng-iseng bertanya kerudungnya dirangkap ya Bu. Dari situ, kadang aku jelaskan kenapa dirangkap. Ya secara tidak langsung aku juga mengenalkan prinsipku sembari meluruskan konsep berkerudung yang benar ke anak-anak.
Dari sini sebenarnya aku belajar, ya sebenarnya sejak kuliah juga, aku menyadari ini, bahwa terkadang dakwah tersampaikan tidak hanya melalui lisan kata, tetapi juga dari sikap atau kelakuan sehari-hari kita. Disadari atau tidak, secara langsung atau tidak, ketika kita memilih untuk berpakaian syar’i, hal itu membawa pesan tersendiri terhadap orang-orang di sekitar kita. Ya memang perubahan kembali lagi kepada pilihan masing-masing, tetapi harus kita ingat juga bahwa ada ayat Qur’an yang menjelaskan bahwa tugas kita menyampaikan kebenaran itu sendiri, berubah tidaknya seseorang itu adalah kehendak Allah. Karena Allah berkuasa terhadap segala sesuatu, termasuk masalah membolak-balikan hati manusia.

Katakanlah: "Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada rasul; dan jika kamu berpaling maka sesungguhnya kewajiban rasul itu adalah apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu sekalian adalah semata-mata apa yang dibebankan kepadamu. Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. Dan tidak lain kewajiban rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang."
(TQS. An-Nuur [24]: 54)

Tanpa aku sadari hampir satu tahun aku mengajar di tempatku sekarang kala itu, bertepatan juga dengan hari terakhir ujian semester genap dan menjelang hari ulang tahunku, siswa-siswaku kelas VII-C menghadiahiku suatu bingkisan. Kebetulan waktu itu aku wali kelas VII-C. Setelah aku buka di rumah, tak diduga isinya berupa gamis lengkap dengan kerudung. Mereka paham bahwa aku kesehariannya berpakaian gamis. Tidak menyangkanya lagi, kerudungnya ada dua stel. Satu kerudung tipis dan terawang, jadi mungkin kerudung lainnya bisa dipakai buat dobelan. Mereka paham betul kalo aku biasa mendobel kerudung kalo terawang. Sungguh aku senang menerimanya. Sebenarnya bukan karena hadiahnya, tetapi senang karena mereka bisa mengerti aku. Senang bila dimengerti orang lain sekalipun mereka siswa-siswaku.
Saat itu aku ingin menghubungi mereka yang telah menghadiahiku sebagai rasa terima kasihku pada mereka. Tetapi aku tidak mempunyai nomor mereka satu per satu. Jadi, aku meluapkan rasa bahagiaku hanya lewat status di facebook. Setidaknya aku ingin mengapresiasi inisiatif mereka yang benar-benar tak kusangka. Terima kasih.

Apapun pilihan hidup kita, pasti akan ada yang namanya pro dan kontra. Maka pilihlah pilihan yang baik. Karena walaupun ada kontra dan kendala yang menerjang, tetap ada juga yang namanya pro atau bahagia yang menghibur dan menyemangati kita untuk selalu tetap kuat. Percayalah!

Ini kenangan status di facebook saya kala itu:
Berpakaian syar'i itu adalah kewajiban seorang muslim, khususnya muslimah. Di lingkungan kerja juga tetap wajib berpakaian syar'i. Pedomanku berpakaian syar'i adalah surah An-Nur [24] : 31 dan Al-Ahzab [33] : 59. Sehingga ketika aku keluar rumah, aku memakai jilbab atau yg lebih dikenal akrab di masyarakat dengan gamis (baju terusan). Saat mengajar juga begitu. Aku sampai menjahitkan seragam sendiri ke saudara, supaya seragamku syar'i (terusan) dan tetap terkesan seragam mengajar (formal). Saat berkerudung, bila kainnya tipis dan terawang, aku merangkapnya dengan kain yang warnanya matching. Sehingga tak jarang beberapa siswa bertanya, "Bu, kerudungnya didobel ya? Kenapa, Bu?" Aku menjawab, "Iya, biar gak terawang. Kan syaratnya menutup aurat tidak boleh terawang. Kalau terawang kan auratnya masih tetap keliatan." Dan, dengan semua prinsipku itu, apa yang terjadi hari ini?
"For a gift I get today, I give thank's to my lovely students, VII-C."
Masya Allah, apa yang kalian berikan ke saya hari ini Luar Biasa, Rek! Saya tidak menyangka kalian akan berbuat seperti ini. Saya sangat berterima kasih.
Saya yakin uang yang kalian gunakan untuk membelinya tentu tak sedikit. Lebih dari itu, pemikiran kalian, ide kalian itu sungguh luar biasa.
Sungguh ini bukan sekedar hadiah bagi saya, tapi ini berkah. Apa yang kalian berikan bukan sekedar pakaian, tapi ketaqwaan. Pakaian yang ketika saya gunakan bernilai ibadah untuk menutup aurat dengan syar'i. Yang kalian lakukan bukan sekedar memberi hadiah, tapi juga ibadah.
Semoga semua ini menjadi berkah dan menjadi jalan kemudahan dari Allah untuk menjaga kalian selalu dalam keimanan dan ketaqwaan yang hakiki.
Apa yang tertuang pada kata-kata saya tidaklah seberapa dengan luapan berbagai perasaan dalam hati saya, bangga, terharu, dan semuanya.
Sekali lagi, terima kasih atas perhatian kalian terhadap saya. Saya sangat bahagia dan bangga mengenal kalian. Saya juga masih dan akan terus belajar untuk menjadi pribadi yang lebih baik.
Love u all coz Allah.
I'm proud of my lovely students, VII-C.
~Wenny Pangestuti~