Saya lahir bukan dari lingkungan pesantren atau pun keturunan kyai, ulama,
dan sebagainya. Saya hanyalah ordinary
woman. Jadi, bisa dikatakan meskipun saya terlahir sebagai muslim, bekal
ilmu agama saya standard. Saya pun tumbuh selayaknya anak pada umumnya, tidak
ada yang istimewa.
Semuanya mulai berubah ketika kelas VIII SMP. Dari membaca sebuah cerpen,
terbukalah tabir rasa penasaran saya pada agama yang saya anut bahwa kayaknya Islam gak hanya ngatur shalat aja, puasa aja, nyuruh kita gak
durhaka saja, dan bla bla
bla. Masalah gejolak
asmara anak ABG, Islam juga
bahas deh. Itu lantaran cerpen yang saya baca mengulas bahwa nggak ada istilah pacaran dalam Islam. Dari bahasan itulah, saya mulai penasaran memahami Islam
lebih dalam. Saya menjadi semakin tertarik membaca buku-buku yang bernuansa
Islam mulai dari yang fiksi hingga yang non-fiksi, mulai dari yang bahasannya
ringan hingga yang konteksnya berat dan dalam. Saya pun lambat laun jadi
mengenal beberapa hukum Islam, salah satunya kewajiban menutup aurat bagi
wanita yang telah memasuki masa baligh.
Saya pun berproses
dalam menutup aurat. Mula-mula, pakai kerudung apa adanya, gak sampai menutup
dada, kadang dililitkan ke leher, pakaian masih ketat, bercelana, atau pakai
kaos lengan pendek ditambahi pakai deker buat nutup lengan tangan. Lalu, mulai
berubah konsisten pakai rok, kerudung dilonggarin, gak lagi pake gaya dililitin
di leher. Terus, mulai coba-coba pakai kaos kaki keluar rumah meskipun cuma ke
warung sebelah atau ke warnet, kerudung dirangkap-rangkap kalo tipis, baju juga
begitu, kalo terawang didobel pake daleman kaos. Finally, semuanya kian berubah
ketika saya masuk dunia perkuliahan. Di sana saya memahami lebih jelas makna
ayat Qur’an Surah Al-Ahzab ayat 59 bahwa yang dimaksud jilbab itu beda dengan
kerudung. Jilbab kalo dikembalikan lagi dalam konteks bahasa Arab adalah baju
mantel atau terusan yang menutupi pakaian dalam/rumahan (al-mihna). Dari
sanalah saya memulai berhijrah memakai jilbab setiap keluar rumah. Jadi,
kemana-mana pakai yang namanya gamis. Alhamdulillah sampai sekarang.
Ada kesulitan
nggak berhijrah seperti itu? Otomatis ada. Yang namanya perubahan, pasti ada
pro dan kontra. Seperti yang saya alami juga. Pro dan kontra yang paling kerasa
itu datangnya dari keluarga, khususnya orang tua. Secara gitu, mereka adalah
orang yang paling dekat dengan kita. Jadi wajarlah kalo mungkin mereka ‘heran’
atau bertanya-tanya kenapa anakku jadi
berubah kayak gini. Ketakutan terjerumus pada aliran sesat salah satu kekhawatiran
orang pada umumnya tatkala melihat wanita berubah dalam berpakaian, termasuk
orang tuaku. Tapi, semua itu dikembalikan dari kekuatan komitmen kita
masing-masing. Kita berubahnya karena apa dulu, ikut-ikutan saja atau karena
kesadaran diri bahwa itu adalah perintah dari Allah. Saya meyakinkan orangtua
kalo pilihan saya ini bukan karena ikut-ikutan semata, tapi karena pemahaman
saya pada perintah Allah yang ada pada al-Qur’an. Lambat laun mereka pun bisa
memahami dan menghargai pilihan saya hingga sekarang. Alhamdulillah.
Tapi itu saja
belum cukup ternyata. Tantangan di
luar seperti lingkungan masyarakat masih tetap ada. Apalagi kalo kita memasuki
dunia kerja, sedikit atau banyak, kecil atau besar, yang namanya gesekan
mengenai pilihan berpakaian syar’i pasti ada. Pikiranku, bagaimanapun caranya
aku tetap harus pakai jilbab, meskipun ada di lingkungan kerja. Ya
Alhamdulillah aku bekerja sebagai guru di sebuah mts swasta, jadi dalam hal
berpakaian aku tidak menemukan kendala yang berarti. Awal-awal kerja aku masih pakai gamis batik begitu. Lalu, selanjutkan aku
jahitin beberapa kain buat seragam kerja. Aku desain dengan gaya tetap formal
buat ngajar, tapi tetap berupa terusan. Jadi, beberapa model pakaian kerjaku
kelihatan dari luar seperti potongan, tapi aslinya itu terusan.
Atas : bagian luar, Bawah :
bagian dalam
|
Pernah suatu
ketika aku mancing pertanyaan ke siswa. Aku tanya apakah menurut mereka pakaianku ini potongan atau terusan. Mereka
mengiranya potongan. Aku jelaskan kalo ini sebenarnya terusan. Lalu aku
jelaskan sekilas mengenai prinsipku dalam berpakaian ke mereka.
Soal kerudung,
terus terang aku bukan tipe orang yang sering belanja fashion. Jadi koleksi pakaian dan kerudungku tidak begitu banyak
dan beragam. Ya itu-itu saja. Paling, kalo belanja sekedar ketika akan lebaran.
Beberapa kerudungku ada yang bahannya tipis dan terawang. Karena sayang juga kalo
tidak dipakai, jadi kadang masih saya pakai termasuk
ketika kerja dengan syarat didobel dengan kerudung lain yang warnanya matching. Beberapa siswa ada yang
menyadari hal ini dan iseng-iseng bertanya kerudungnya
dirangkap ya Bu. Dari situ, kadang aku jelaskan kenapa dirangkap. Ya secara
tidak langsung aku juga mengenalkan prinsipku
sembari meluruskan konsep berkerudung yang benar ke anak-anak.
Dari sini
sebenarnya aku belajar, ya sebenarnya sejak kuliah juga, aku menyadari ini,
bahwa terkadang dakwah tersampaikan tidak hanya melalui lisan kata, tetapi juga
dari sikap atau kelakuan sehari-hari kita. Disadari atau tidak, secara langsung
atau tidak, ketika kita memilih untuk berpakaian syar’i, hal itu membawa pesan
tersendiri terhadap orang-orang di sekitar kita. Ya memang perubahan kembali
lagi kepada pilihan masing-masing, tetapi harus kita ingat juga bahwa ada ayat
Qur’an yang menjelaskan bahwa tugas kita menyampaikan kebenaran itu sendiri,
berubah tidaknya seseorang itu adalah kehendak Allah. Karena Allah berkuasa terhadap segala sesuatu, termasuk masalah membolak-balikan
hati manusia.
Katakanlah: "Taatlah kepada Allah dan
taatlah kepada rasul; dan jika kamu berpaling maka sesungguhnya kewajiban rasul
itu adalah apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu sekalian adalah
semata-mata apa yang dibebankan kepadamu. Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya
kamu mendapat petunjuk. Dan tidak lain kewajiban rasul itu melainkan
menyampaikan (amanat Allah) dengan terang."
(TQS. An-Nuur [24]: 54)
Tanpa aku
sadari hampir satu tahun aku mengajar di
tempatku sekarang kala itu, bertepatan
juga dengan hari terakhir ujian semester genap dan menjelang hari ulang
tahunku, siswa-siswaku kelas VII-C menghadiahiku suatu bingkisan. Kebetulan waktu itu aku wali kelas VII-C.
Setelah aku buka di rumah, tak diduga isinya berupa gamis lengkap dengan
kerudung. Mereka paham bahwa aku kesehariannya berpakaian gamis. Tidak menyangkanya lagi, kerudungnya ada dua stel.
Satu kerudung tipis dan terawang, jadi
mungkin kerudung lainnya bisa dipakai buat
dobelan. Mereka paham betul kalo aku biasa mendobel kerudung kalo terawang.
Sungguh aku senang menerimanya. Sebenarnya bukan karena hadiahnya, tetapi
senang karena mereka bisa mengerti aku.
Senang bila dimengerti orang lain sekalipun mereka siswa-siswaku.
Saat itu aku ingin menghubungi mereka yang telah menghadiahiku
sebagai rasa terima kasihku pada mereka. Tetapi aku tidak mempunyai nomor mereka satu per satu. Jadi, aku meluapkan
rasa bahagiaku hanya lewat status di
facebook. Setidaknya aku ingin mengapresiasi inisiatif mereka
yang benar-benar tak kusangka. Terima kasih.
Apapun pilihan hidup kita, pasti akan ada yang namanya pro dan kontra. Maka pilihlah pilihan yang baik. Karena
walaupun ada kontra dan kendala yang menerjang, tetap ada juga yang namanya pro atau bahagia yang menghibur dan menyemangati kita untuk selalu tetap kuat.
Percayalah!
Ini kenangan
status di facebook saya kala itu:
Berpakaian
syar'i itu adalah kewajiban seorang muslim, khususnya muslimah. Di lingkungan
kerja juga tetap wajib berpakaian syar'i. Pedomanku berpakaian syar'i adalah
surah An-Nur [24] : 31 dan Al-Ahzab [33] : 59. Sehingga ketika aku keluar
rumah, aku memakai jilbab atau yg lebih dikenal akrab di masyarakat dengan
gamis (baju terusan). Saat mengajar juga begitu. Aku sampai menjahitkan seragam
sendiri ke saudara, supaya seragamku syar'i (terusan) dan tetap terkesan
seragam mengajar (formal). Saat berkerudung, bila kainnya tipis dan terawang,
aku merangkapnya dengan kain yang warnanya matching. Sehingga tak jarang
beberapa siswa bertanya, "Bu, kerudungnya didobel ya? Kenapa, Bu?"
Aku menjawab, "Iya, biar gak terawang. Kan syaratnya menutup aurat tidak
boleh terawang. Kalau terawang kan auratnya masih tetap keliatan." Dan,
dengan semua prinsipku itu, apa yang terjadi hari ini?
"For
a gift I get today, I give thank's to my lovely students, VII-C."
Masya
Allah, apa yang kalian berikan ke saya hari ini Luar Biasa, Rek! Saya tidak
menyangka kalian akan berbuat seperti ini. Saya sangat berterima kasih.
Saya yakin
uang yang kalian gunakan untuk membelinya tentu tak sedikit. Lebih dari itu,
pemikiran kalian, ide kalian itu sungguh luar biasa.
Sungguh
ini bukan sekedar hadiah bagi saya, tapi ini berkah. Apa yang kalian berikan
bukan sekedar pakaian, tapi ketaqwaan. Pakaian yang ketika saya gunakan
bernilai ibadah untuk menutup aurat dengan syar'i. Yang kalian lakukan bukan
sekedar memberi hadiah, tapi juga ibadah.
Semoga
semua ini menjadi berkah dan menjadi jalan kemudahan dari Allah untuk menjaga
kalian selalu dalam keimanan dan ketaqwaan yang hakiki.
Apa yang
tertuang pada kata-kata saya tidaklah seberapa dengan luapan berbagai perasaan
dalam hati saya, bangga, terharu, dan semuanya.
Sekali
lagi, terima kasih atas perhatian kalian terhadap saya. Saya sangat bahagia dan
bangga mengenal kalian. Saya juga masih dan akan terus belajar untuk menjadi
pribadi yang lebih baik.
Love u all
coz Allah.
I'm proud of my lovely students, VII-C.
I'm proud of my lovely students, VII-C.
~Wenny
Pangestuti~
6 comments :
Berproses itu, menyenangan bukan?
@ry: ya, rahasia kebahagian dr bersabar mnjalani proses menuju perubahan yg lbh baik.
Mari kita berjirah walaupun banyak tantangan.
@mirwan: 👍benar. Setuju!
Pasti bahagia sekali punya murid-murid seperti itu :))
aku juga pernah jahit baju rok-kemeja look a like gitu wen tapi mungkin krn orgnya blm pernah bikin jd blm gitu enak di badan hahaha akhirnya balik lagi lah aku ke terusan biasa aja.
Post a Comment