April 01, 2014

Demokrasi MahAL, Mampukah Melahirkan Pemimpin IdeAL ??


Pemilu 2014 menjelang. Masyarakat Indonesia pun dibuat heboh. Mereka akan terlibat dalam dua kali pelaksanaannya, yaitu Pemilu Legislatif pada tanggal 9 April 2014 -memilih para anggota dewan legislatif- dan Pemilu Presiden pada tanggal 9 Juli 2014 -memilih Presiden dan Wakil Presiden-. Berbagai aktivitas mewarnai, mulai aktivitas kampanye hingga komentar-mengomentari para profil caleg, capres atau parpol oleh kalangan tertentu.

Aktivitas kampanye menjadi paling kental kaitannya dengan pemilu. Sebab, inilah sarana bagi para caleg, capres atau parpol mempromosikan diri di hadapan rakyat sebagai pemilih.

Berbicara tentang kampanye, tentu para caleg, capres atau parpol tidak cuma-cuma melakukannya, perlu sejumlah dana yang tidak terbilang sedikit bahkan bisa sangat besar sekali. Lalu seberapa besar dana yang dibutuhkan untuk kampanye? Menurut informasi dari tribunnews.com (21/03/2014), Divisi Pengawasan dan Hukum KPU Kabupaten Bangka, Firman TB Pardede memperkirakan biaya minimal pengeluaran dana kampanye terbuka yang harus dikeluarkan parpol maupun calon DPD Rp 60 juta untuk sekali kampanye. Menurutnya, biaya tersebut meliputi biaya mendatangkan massa, biaya makan, biaya mendatangkan artis lokal, sewa sound system, tenda, kursi hingga lapangan yang digunakan.

Sedangkan menurut penelitian dari Lembaga Policy Research Network (PRN) bersama Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LPEM FE UI) (jabarsyariah.blogspot.com/2014/03), harga satu kursi anggota  Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) antara  Rp 1,18 miliar hingga Rp 4,6 miliar. Biaya tersebut dialokasikan untuk percetakan, tekstil, transportasi dan komunikasi, jasa komunikasi media, serta pengerahan massa. Harga sebesar itu dianggap wajar, karena akan tertutupi dari pemasukan bila sudah menjadi anggota DPR.

Sungguh ironi! Modal besar benar-benar menjadi salah satu syarat menjadi anggota legislatif untuk menduduki tampuk kekuasaan. Semuanya tak lebih terlihat seperti jual beli kekuasaan. Betul begitu? 

Lalu dengan modal yang sangat besar, darimana sumber pendanaan tersebut berasal? Cukupkah bila itu berasal dari kantong pribadi? Bisa jadi. Seperti yang pernah dialami Ahmad Rifky (detik.com, 09/10/2008), satu hektar tanah miliknya di Tambelang, Kabupaten Bekasi dijual Rp 80 juta untuk mengongkosi biaya menjadi caleg di DPRD Kabupaten Bekasi, saat Pemilu 2004. Bukan hanya tanah yang terpaksa ia jual, uang puluhan juta yang ada di tabungannya pun turut ludes. Belum lagi uang sumbangan dari keluarga dan para kolega, semuanya habis terpakai untuk kepentingan kampanye dirinya sebagai caleg. Sayangnya, meski sudah banyak menghabiskan uang dan sibuk ke sana-sini, Ahmad Rifki ternyata tidak lolos juga sebagai anggota dewan di Kabupaten Bekasi. Wajar bila Rifki sempat pusing tujuh keliling. Bukan hanya uang yang terkuras, tenaganya juga ikut terkuras saat itu. Beruntung, kegagalan yang dialami Rifky tidak sampai menghantarkannya pada rumah sakit jiwa alias menjadi gila. Karena bukan rahasia umum, bila banyak caleg yang gagal dalam pemilu mengalami stres yang berujung pada gila. Seperti yang dilansir oleh Kasubag TU Panti Bina Insan Kedoya, Jakarta Barat, Ruminto (indopos.co.id, 03/2014), pasca Pemilu 2009 lalu ada sekitar 30 PMKS (Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial) yang ternyata para caleg gagal. Itu cerita dari perorangan yang mencalonkan diri dalam pemilu legislatif. Lalu bagaimana dengan partai politik itu sendiri? 

Menurut informasi dari salah satu parpol peserta pemilu 2014, sebagian besar dananya berasal dari caleg. Sementara itu, sisanya berasal dari perusahaan, perorangan, dan simpatisan (kompas.com, 02/03/2014). Sedangkan parpol lainnya yang juga peserta pemilu 2014, sumber dana partainya kebanyakan dari para pengusaha (sindonews.com, 28/02/2014). Tentu kita perlu berpikir kritis bahwa sumbangan dana tersebut yang tidak dipungkiri ada dari para pengusaha, berkonsep no free lunch. Semuanya perlu ada timbal balik jasa ketika mereka berhasil terpilih. Ini yang menjadi soal. Sebab dengan demikian keindependenan dalam kepemimpinan akan tergoyahkan dengan beragam kepentingan pihak-pihak yang menginvestasikan dananya selama kampanye. Lalu masihkan ada harapan untuk muncul sosok pemimpin ideal dengan demokrasi yang mahal?


No comments :