Ramadhan
adalah bulan yang mulia bagi umat Islam. Setiap amalan ihsan dilipatgandakan pahalanya. Bulan yang penuh dengan ibadah
meraih ketaqwaan setinggi-tingginya di hadapan Allah subhanallahu ta’ala. Bulan
yang semestinya menjadi bulan taqarub ila
Allah. Bulan yang seharusnya me-refresh
kembali keimanan kepada Allah. Bulan yang seharusnya menjadi konsentrasi untuk
bertaubat pada Allah.
Sungguh
beruntung, muslim dan muslimah yang sadar betul akan keutamaan bulan Ramadhan
ini. Mereka tak kan menyia-nyiakan bulan ini berlalu begitu saja. Mereka tentu
berlomba-lomba mengisinya dengan amalan-amalan kebaikan yang kian
mendekatkannya dengan Rabb-nya, Allah subhanallahu ta’ala.
Namun,
tak sedikit pula yang tak sadar betul akan keutamaan bulan Ramadhan ini.
Terlebih di tengah kehidupan sekuler-kapitalis saat ini umat Islam sangat minim
sekali pemahaman akan tsaqafah Islam itu sendiri. Selain hampir mati rasa untuk
mempelajarinya, akses yang mempermudah umat Islam memahami ajaran Islam secara
komprehensif kian dipersulit. Di sekolah, pembekal tsaqafah Islam alakadarnya.
Demikian pula di kampus perguruan tinggi. Porsi pelajaran agama Islam hanya
kurang lebih 2-3 jam dalam seminggu di sekolah, sedangkan bobot kuliah agama
hanya 2-3 SKS selama masa kuliah. Minimnya penanaman tsaqafah islam di lembaga
pendidikan, membuat Islam sadar diri dicari di luar dan tidak sedikit umat
Islam yang phobi diajak kajian-kajian
Islam. Kompleks. Karena akar permasalahannya adalah asas kehidupan yang mendera
umat Islam saat ini adalah pemisahan agama dari kehidupan sehingga wajar
melahirkan umat Islam yang ‘bodoh’ terhadap agamanya sendiri. Sungguh ironi!
Maka
juga tak kalah mengherankan pula apabila pemahaman keutamaan bulan Ramadhan pun
alakadarnya. Ramadhan saat ini bagaikan cukup sebatas menahan lapar dan dahaga
saja. Coba perhatikan perilaku umat saat ini dalam menyambut bulan Ramadhan, urusannya
tak lain dan tak bukan soal makanan, takjil, dan bla bla bla. Umat
berbondong-bondong membuat makanan yang seringkali melebihi batas kebutuhannya.
Huru-hara Ramadhan berpusat pada makanan. Ya seperti itulah..
Ketika
berbuka, seolah gelap mata, semua hidangan ingin disantap. Tak lagi peduli bahwa
sebenarnya kebutuhannya sudah cukup terpenuhi. Ketika tiba panggilan shalat,
keluhan kenyang bersahut-sahutan, shalat tarawih dengan payah dan
terkantuk-kantuk. Belum lagi, kebiasaan umat yang melepas ba’da sahur dengan
tidur di pagi hari. Ya seperti itulah aktivitas-aktivitas umat saat ini
memaknai Ramadhan.
Yang
juga miris adalah shalat tarawih. Umat saat ini terjebak pada kuantitas dan
lalai pada kualitas ibadah. Mereka mengira semakin banyak ibadah yang
dilakukan, semakin memberatkan timbangan pahala. Mereka mengabaikan aspek
ruhiyah lain, seperti kekhusu’an, rasa berserah diri, rasa takut pada Allah,
kesabaran menjalani puasa di siang hari, konsep tawakal dalam berikhtiar, dan
lain sebagainya.
Fenomena
lainnya adalah jika kita berjalan-jalan di kampus tempat saya belajar, di bulan
Ramadhan akan kita temui bejibun
anak muda berdiri di kiri-kanan jalan menjajakan ta’jil. Berkelompok, baik
laki-laki sendiri, perempuan sendiri, atau campur baur laki-laki dan perempuan,
bahkan tidak turut ketinggalan anak-anak kecil turut serta. Tidak salah sebenarnya
kalau itu untuk mencari penghasilan. Yang masalah adalah bukan karena mencari nilai
materi, tapi sebatas euforia menyambut Ramadhan.
Saya berpikir mungkin saat ini umat Islam, khususnya
Indonesia, menjadikan Ramadhan ibarat bulan khusus yang terdapat perayaan
budaya ritual tahunan yang menjadi ciri khas bangsa. Sama halnya ketika kita
berkunjung ke negeri orang, mengenal kebudayaan negeri tersebut. Kita temukan
ada kebudayaan perayaan adat istiadat yang khas, yang menjadi daya tarik warga
asing datang menyaksikannya. Begitulah mungkin posisi Ramadhan di tengah-tengah
umat. Akibatnya, esensi Ramadhan sebagai bulan meraih ketaqwaan kepada Allah
menjadi perlahan sirna tereliminasi oleh budaya euforia belaka.
~Wenny Pangestuti~
*Ditulis Selasa,
31-07-2012
@an-Nahdhah
05.20 WIB