Pagi yang syahdu. Udara segar amat bersahabat, diiringi
kicauan merdu burung-burung. Fajar yang benar-benar menenangkan. Namun,
pagi-pagi seperti ini wanita itu meringis menahan tangis. Ia menelan kekecewaan
sekaligus keprihatinan pada dirinya sendiri. Sudah dua kali ia bolak-balik dari
tempat tinggalnya menuju stasiun, dua kali itu pula ia menelan kepahitan fakta
bahwa ia kehabisan tiket kereta untuk hari yang diharapkannya dapat pergi ke
suatu tempat.
Ia bolak-balik dengan berjalan kaki. Jarak yang ditempuhnya cukup
menguras energi. Ia harus menyusuri jalan yang menurun lalu menanjak. Ada pula
jalan yang meliuk-liuk.
Sendiri. Ya..ia berjalan hanya seorang diri, tanpa teman
menemani. Ia pun membatin, “Aku ini seorang wanita. Tapi mengapa nasibku
demikian.” Ia melanjutkan, “Wanita lain mana ada yang seperti diriku.
Kemana-mana mereka ditemani oleh pacar mereka atau suami mereka. Tapi, aku?
Sungguh kasihan nasibku. Berjalan seorang diri seperti ini. Tentu bukanlah
pacar yang kuinginkan, tapi setidaknya seorang suami yang kuharapkan.”
Ia merenung. Mengingat kembali jalan pikirnya memilih prinsip
hidup untuk tak berpacaran. Ia bisa saja berpacaran. Ia bisa saja senang saat
ada lelaki yang siap mengantarkannya kemana ia pergi, meng-sms atau menelponnya
setiap malam dengan sejurus kata rayu nan perhatian. Tapi, ia buru-buru menggelengkan
kepalanya, menangkis pikiran liar yang menjerumuskan itu. Baginya, ia tak rela
mengumbar keromantisan dengan orang yang belum pasti jodoh hidupnya. Ia tak mau
menggadaikan kehormatan dan harga dirinya demi senang yang kamuflase.
Kehormatan yang tak perlu jauh-jauh menembus batas keperawanan. Namun,
kehormatan lebih pada ternodainya tangan suci yang digenggam, kening suci yang
dikecup, rambut suci yang dibelai, bahkan manja suci yang digodai oleh lelaki
yang tak pasti meminang. Tidak. Itu benar-benar harga mahal yang tak boleh
diobral dengan murahnya.
Ia mengangguk. Prinsipnya benar dan tak perlu disesali. Sabar
dan istiqomah dengan prinsip kebenaran adalah kunci yang harus ia pegang
erat-erat.
Ia melihat sekitar. Tak sedikit, satu, dua hingga banyak
wanita berlalu-lalang dalam hidupnya. Juga seorang diri, dengan kondisi yang
jauh lebih memprihatinkan darinya. Ada yang menuntun sepeda lusuh dengan beban
rongsokan yang dibawa. Ada yang berjalan dengan menenteng dua kotak kue
berukuran sedang di kedua tangannya. Tak terlihat gurat muram kelelahan pada
wajahnya. Senyum selalu merekah setiap ia menjajakan kue jualannya tersebut.
Mereka menangkis rasa malu dan apa kata orang tentang mereka. Yang mereka
pikirkan bagaimana cara hari ini menjemput rezeki dari Allah demi kesejahteraan
hidup keluarga mereka, anak-anak mereka. Bukan karena mereka tak membutuhkan
lelaki dalam hidupnya. Bukan pula karena mereka hendak menyaingi keperkasaan
lelaki dalam mencari nafkah. Tentu mereka akan lebih senang bila ada seorang
suami yang melindungi mereka dari kondisi demikian.
Wanita itu kini mendapatkan jawabannya, bahwa ia terlalu
sering mengeluh dan meratapi kondisinya. Ia kurang bersyukur akan hidup yang
telah dimiliki. “Rumput tetangga memang seringkali terlihat
lebih hijau. Namun, kita sering kurang menyadari bahwa rumput kita masih lebih
hijau dari orang lain.” Ia pun mengambil pelajaran.
~Wenny Pangestuti~
1 comment :
insyaAllah
semoga Allah mudahkan :))
Post a Comment