Ada sebuah cerita dari
seorang teman yang sama-sama tengah mengerjakan tugas akhir skripsi. Selain
berstatus sebagai mahasiswi, teman saya tersebut juga berstatus sebagai seorang
istri dan baru saja dikaruniai seorang bayi perempuan. Tentu saja, setiap hari
ia harus membagi waktu antara menjalankan perannya sebagai seorang istri, ibu,
dan mahasiswi. Ditambah lagi, ia juga bekerja sebagai guru les di rumahnya. Tak
jarang ia membagi ceritanya tatkala kami bersua di kampus.
Suatu ketika ia
bercerita bahwa ia merasa bersalah karena waktu bimbingan skripsinya hari itu
telah membuat dosen pembimbingnya -yang juga sama-sama perempuan- membatalkan agendanya untuk menjemput sang
buah hati pulang sekolah. Lebih lanjut, ia bercerita bahwa dosen pembimbingnya tersebut
memang terlihat sibuk. Beliau seringkali membawa pulang naskah-naskah skripsi
mahasiwa bimbingannya. Maka, tak ayal suatu ketika dosen tersebut
bercerita bahwa buah hatinya mengeluhkan kesibukan sang bunda yang seringkali pulang
membawa tumpukan kertas di rumah. Mengetahui hal tersebut, teman saya merasa
takut jika ia bekerja suatu saat nanti, ia akan terlalu sibuk dan mengabaikan
waktu bersama buah hatinya.
Melihat kondisi di
atas, saya tidak bermaksud menekankan bahwa untuk menjadi istri yang baik atau ibu
rumah tangga yang optimal menjalankan perannya adalah yang tidak bekerja.
Bekerja atau tidak bekerja sebenarnya itu pilihan bagi setiap perempuan. Dalam
Islam, kedudukan wanita yang memilih bekerja tidaklah salah. Sebab, hukum
perempuan bekerja adalah mubah, alias boleh selama cara yang ditempuh tidak
melenceng dari syariat, seperti berpakaian menutup aurat, berpenampilan tidak
berlebihan (tabaruj), menjaga interaksi
dengan lawan jenis, mendapat ijin dari wali atau suami, dan tidak mengabaikan
kewajibannya dalam rumah tangga. Allah subhanallahu ta’ala berfirman,
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin
bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka
(laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki)
telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu. Maka wanita yang
saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak
ada, oleh karena Allah telah memelihara mereka…”
TQS. An-Nisa’ [4]: 34
Dalam firman Allah
subhanallahu ta’ala yang lain,
“Dan katakanlah: Bekerjalah kamu, maka Allah dan
Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan
dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan nyata, lalu
diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.”
TQS. At-Taubah [9]: 105
Dalam penggalan dua ayat
di atas, tampak jelas bahwa kewajiban menafkahi sebenarnya berada di pundak laki-laki
atau suami. Sedangkan bagi wanita tidak
ada pembebanan (taklif) untuk
menjalankannya. Namun, juga tidak ada larangan bagi seorang istri untuk bekerja
selama ia tetap bisa menjalankan fungsinya sebagai pemelihara terhadap
anak-anaknya dan dapat menjaga diri serta kehormatannya. Dapat dikatakan pula bahwa
seorang wanita tetap bisa menjadi istri yang baik, sekalipun ia bekerja.
Bekerja atau tidak bekerja, peluangnya sama bagi perempuan untuk tetap dapat
menjadi istri yang baik dalam rumah tangga.
Kita dapat belajar dari
keteladanan Khadijah binti Khuwailid dalam hal ini. Khadijah adalah sosok
wanita pilihan yang Allah amanahkan untuk mendampingi Muhammad dalam
menjalani tugasnya sebagai Rasul Allah. Dalam
sebuah hadits, Rasulullah bersabda,
“Tidaklah Allah mengganti untukku (istri) yang lebih baik darinya (Khadijah). Dia beriman kepadaku saat orang-orang kufur. Dia mempercayaiku saat orang-orang mendustaiku. Dia memberikan hartanya kepadaku saat orang-orang mengharamkan harta untukku. Dan dia memberikan aku anak saat Allah tidak memberikan anak dari istri-istriku yang lain."
HR.
Ibnu Abdi al-Bar dan ad-Daulabi
Selain menjalankan
perannya sebagai seorang istri, Khadijah juga dikenal sebagai sosok wanita
pengusaha. Sebagai seorang penguasaha, Khadijah banyak memberikan bantuan dan
modal kepada pedagang atau melantik orang-orang untuk mewakili urusan-urusan
perniagaannya. Keuletan, kesungguhan, kecerdasan, dan ketelitiannya dalam
menjalankan usaha perdagangannya itu tidaklah beliau jadikan semata-mata untuk
kesenangan yang bersifat dunia semata. Khadijah dengan rela memberikan hartanya
untuk kepentingan dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Dalam kisah Khadijah,
Allah subhanallahu ta’ala mengabadikan teladan bagi wanita. Khadijah adalah
wanita yang cerdas, ibu rumah tangga yang amanah, pendidik bagi anak-anaknya,
pengusaha yang sukses, istri Nabi dan Rasul, dan pejuang di jalan Allah. Tidaklah
mungkin Allah menjadikan Khadijah sebagai teladan jika tidak mungkin untuk
diteladani, karena pada dasarnya kaum wanita adalah kaum yang mampu melakukan
semua itu.
Di era modern seperti
sekarang ini, tak ada salahnya kita juga belajar dari pengalaman sosok Yuanita
Rohali, seorang wanita yang telah lama berkiprah dalam dunia karir dan kini
tengah menjabat sebagai Direktur Keuangan PT. Bumi Resources Mineral Tbk. Kiprahnya
sebagai wanita karier lantas tak membuat Nita -begitu panggilan akrabnya- lupa
pada kodratnya sebagai seorang istri dan ibu. Ia tetap menyisihkan waktu untuk
mendampingi suami dan tiga buah hatinya. Nita pernah menunda keinginannya untu
berkiprah dalam karir tatkala awal baginya menjadi seorang ibu dan anak-anaknya
masih dalam usia yang tidak memungkinkan untuk sering ditinggal dan masih sangat butuh
perhatian dalam perkembangannya. Nita baru aktif bekerja tatkala usianya menginjak
28 tahun di saat teman-teman seusianya telah banyak yang melejit dalam
karirnya. Baginya, suami adalah pengabdian nomor satu, anak-anak adalah amanah,
dan pekerjaan adalah komitmen, maka dari itu tidak ada satu pun yang boleh
diabaikan. Satu-satunya yang perlu berkorban adalah dirinya.
Untuk tetap menjaga perannya sebagai
seorang istri dan ibu serta wanita karir agar seimbang, Nita memberikan
inspirasi bahwa suami adalah kunci terpenting bagi seorang wanita dapat
mengejar karir. Hal pertama yang harus dimiliki para perempuan untuk sukses
berkarir adalah terciptanya understanding
dengan pasangan atau suami. Penting bagi seorang istri untuk mendapat dukungan
penuh dari suami saat memutuskan untuk bekerja. Selain dukungan suami, seorang
istri juga harus mencari tahu apa sebenarnya tuntutan suami terhadap dirinya.
Begitu seorang istri memahami harapan suami, barulah ia berkomitmen
melakukannya dengan sungguh-sungguh.
Tambahnya, seorang istri juga harus
mau berkutat dengan detail. Detail yang baik mampu membimbingnya membentuk time management yang baik pula sehingga
tidak ada kepentingan yang tumpang tindih satu sama lain.
Jadi, apa pun pilihannya, entah itu
wanita karir atau ibu rumah tangga saja, semuanya sama baiknya, insya Allah
semuanya akan bernilai pahala selama wanita tersebut menjaga harga diri dan
kehormatannya, dan taat pada aturan yang Allah tetapkan. Semuanya mempunyai
peluang yang sama untuk menjadi istri yang baik. Apabila seorang wanita memutuskan
untuk bekerja, mau tidak mau, ia harus bekerja dua kali lebih efektif dibandingkan
orang lain. Itulah cara agar seorang wanita ingin tetap menjadi istri yang
baik; istri yang tetap memiliki quality
time untuk suami dan anak-anaknya.
~Wenny Pangestuti~
Sumber:
Majalah D’rise. Edisi ke-17, Desember 2011.
Ridha, Muhammad Rasyid. 2004. Perempuan Sebagai Kekasih. Jakarta
Selatan: Hikmah.
Tim Penerbit Vamily. 2012. Indahnya Jadi Ibu: 9 Inspirasi 1 Dedikasi. Jakarta: Vamily.
http://www.youtube.com/watch?v=-2PNPyiR9jo
1 comment :
Terima kasih ya sudah ikutan GA kami. Hara[ bersabar menunggu pengumuman :)
Post a Comment