Usia suaminya kini di jelang empat puluh, dan Khadijah menangkap kegelisahan yang berjebah di wajah itu. Dia tak bertanya. Tetapi dia dapatkan jawab dari mata Muhammad yang senantiasa basah melihat ketidakadilan. Dia tidak bertanya, tapi dia membaca wajah yang menunduk tiap kali keberhalaan membunuh dan memperkosa kemanusiaan. Dia memahaminya dari wajah yang jerih tiap kali menyaksikan pertikaian tanpa makna dan kebejatan yang tertebar kian jamak.
Tetapi hari inilah puncaknya. Hari ini dia menyaksikan Muhammad pulang dari tahannuts di Gua Hira bukan dengan wajah segar terlepas dari beban seperti biasanya. Dia melihat lelaki terkasihnya itu menggigil ketakutan. Keringat dingin mengalir di sekujur tubuhnya, Muhammad basah kuyup. Wajahnya pucat, mimiknya pias, dan napasnya tersengal-sengal. Denyut jantungnya memburu, sementara tatapan matanya tercekam seakan dikejar sesuatu yang amat mengerikan. Begitu pintu terbuka, Muhammad bergegas menuju kamarnya dan luruh di pembaringan.
“Zammilunnii, selimuti aku! Selimuti aku!” teriaknya masih dengan wajah pasi dan sinar mata ketakutan.
Khadijah tak kalah cemas. Dia begitu ketakutan. Hatinya meneriakkan tanya, “Ada apa sebenarnya?” Tentu ini sebuah kejadian yang sangat besar dan mengguncang. Tentu ini perkara yang sangat serius. Tapi dia surut, lisannya dibungkam kuat-kuat. Ditahannya keinginan untuk tahu. Yang dibutuhkan suaminya kini bukan menceritakan apa yang dia alami. Yang diperlukannya adalah menenangkan diri dari sebuah hantaman kejiwaan yang Khadijah tak tahu entah apa. Maka Khadijah tak bertanya.
Sepertinya sikap Khadijah yang tak bertanya ini hanya soal kecil. Tetapi mari bayangkan apa jadinya riwayat kenabian dan dakwah andai Khadijah adalah istri yang tak mampu memahami apa yang dihajatkan suami pada saat dilanda panik? Apa jadinya jika di saat Muhammad mendapatkan wahyu pertama yang seakan menimbunkan beban seberat isi dunia ke pundaknya itu Khadijah menampilkan diri sebagai wanita yang tak rela kehilangan berita di momen pertama? Bertubinya kalimat “Ada apa? Ada apa?” yang diluncurkan Khadijah pasti membuat keterguncangan Muhammad ba’da kejatuhan wahyu makin menghempaskan.
Di sinilah Khadijah mengajari kita sebuah kaidah penting. Bahwa kita harus punya kepekaan jiwa untuk mengenal kebutuhan jiwa orang yang kita cintai. Bahwa kita mesti memiliki kelembutan nurani untuk memberi kesempatan ruh saudara yang tertekan melepaskan bebannya.
Dalam dekapan ukhuwah, kepeduliaan yang terlembut bukanlah sekadar rasa ingin tahu. Kepeduliaan yang terlembut kadang tampil dalam bentuk kesadaran bahwa mungkin kita belum perlu tahu sampai tibanya suatu waktu. Maka kesabaran akan menuntun kita untuk tahu, di saat yang paling tepat, dengan cara yang paling indah. Begitulah kita belajar kepada Khadijah, belajar untuk mengerti dengan kelembutan nurani.
Salim A. Fillah
Penulis buku-buku best seller, dan motivator ruhiyah di berbagai acara keislaman
Dikutip dari:
Majalah Ummi, Edisi XXVI November 2014
No comments :
Post a Comment