"Kopi. Selalu ada saja cerita tentangnya. Kopi memiliki ruang cerita sendiri dalam kotak hidupku: Lebih dari semacam minuman penghilang kantuk, tetapi menjadi semacam filosofi dalam hidup."
Bapakku
semula karyawan PTPN XII yang salah satu hasil perkebunan yang ditangani adalah
kopi dan teh. Secara berkala bapak dan para karyawan lainnya biasanya memperoleh
jatah beberapa bungkus bubuk kopi dan beberapa kotak teh celup. Otomatis
keberadaan kopi dalam dalam keluargaku cukup familiar. Tak perlu membeli kopi
merk apa pun yang dijajakan lewat iklan karena cukup dengan bubuk kopi yang
dijatah tersebut sudah bisa menyeduh kopi di rumah.
Minum
kopi setiap pagi menjadi kebiasaan dalam keluargaku. Biasanya entah bapak atau
ibu akan membuat satu gelas besar kopi untuk diminum bertiga secara bergantian,
yaitu bapak, aku dan ibu. Sedangkan adikku tak begitu fanatik pada kopi.
Biasanya kami meminum kopi dilengkapi dengan kue, entah itu berupa roti atau
jajanan pasar.
Saat
keluarga kami masih tinggal di Tanggul, salah satu kecamatan di Jember, mudik
menjadi aktivitas rutin tahunan bagi kami menjelang Idul Fitri. Kami mudik ke
Banyuwangi, rumah mbah-mbahku berada, baik dari pihak ibu maupun bapak. Kalau
sudah di rumah mbah, baik itu dari pihak ibu maupun bapak, seperti telah
menjadi kebiasaan para wanita akan membuatkan kopi untuk para lelaki, seperti
suami atau ayah mereka. Meskipun aku bukan laki-laki, tetapi aku seringkali dibuatkan
satu gelas kopi ukuran sedang secara khusus. Ya karena aku suka minum kopi.
Sampai ada yang menyeletuk, “Wedok-wedok
kok seneng kopi. Koyo’ wong tuwek wae”[1]. Tentu
saja kopi yang dibuat selama ini adalah kopi hitam yang berampas.
Kebiasaan
minum kopi ini tetap kubawa sampai aku memasuki masa kuliah sebagai mahasiswa.
Awal-awal semester aku masih dibawakan 1 bungkus plastik 1/4an berisi kopi dan
satu lagi berisi gula. Lalu pada semester-semester berikutnya, aku mulai
menjajal kopi-kopi sachet yang banyak diiklankan di televisi dan dijual di
banyak toko dan supermarket, mulai dari kopi hitam berampas hingga kopi
campuran dengan susu atau creamer,
yang tak berampas. Semakin hari dengan melakukan perbandingan rasa, aku lebih
menyukai kopi campuran. Selain rasanya lebih enak (tidak terasa pahitnya), juga
lebih bersahabat dengan lambung menurutku.
Teman-teman
yang satu kontrakan denganku sering menyebutku sebagai ratunya kopi karena
kegilaanku pada kopi dan seringnya intensitasku meminumnya. Aku lebih suka
minum kopi di pagi hari setelah waktu subuh. Kopi yang hangat atau suam-suam
kuku terasa nikmat diseruput di kala hawa pagi dingin yang menyegarkan. Selain
pagi, minum kopi di kala senja juga tak kalah nikmat. Udara waktu senja
menjelang Maghrib memang terasa lebih dingin dan lembab sehingga minum kopi akan membuat tubuh
terasa hangat dan nyaman.
Sampai-sampai
untuk urusan kopi, aku membawa cangkir lengkap dengan lepeknya secara khusus.
Aku senang sekali melihat kopi disajikan dalam cangkir lengkap dengan lepeknya.
Minum
kopi menjadi semacam perekat hubunganku dengan keluarga, khususnya bapak. Bapak
sepertinya memahami benar kesukaanku pada kopi. Biasanya kalau di rumah Tanggul
selepas shalat Shubuh dan membaca Qur’an, aku mendengarkan acara radio
favoritku, Voice of Islam. Kalau
sudah begitu, aku tidak beranjak keluar dari kamar. Bapak acapkali memanggilku,
“Kopi, Wen. Selak adem, lho!”[2]
Bapak kadang sampai ke luar rumah menuju warung untuk membeli roti atau kue
bila di rumah tidak ada persediaan kue. Biasanya kami meminum kopi di ruang
makan. Namun, tak jarang kami juga minum kopi di depan televisi di ruang tamu.
Kalau sudah demikian, biasanya bapak mengajak ngobrol masalah-masalah
dari berita di televisi hingga merembet pada petuah-petuah bijak dan aku tak
perlu diragukan lagi menjadi pendengar setia yang baik dalam hal ini.
Setelah
bapak pensiun, keluarga kami pindah ke Banyuwangi, tempat kelahiran bapak.
Dengan statusku yang masih belum lulus kuliah, aku beberapa kali pulang kampung
dari Jember ke Banyuwangi. Awal-awal pulang kampung, kulihat aktivitas minum
kopi di pagi hari tetap berjalan. Tetapi, kopi yang digunakan adalah kopi hitam
sachet yang dibeli di warung. Kulihat sepertinya pengonsumsiannya lebih irit.
Mungkin mereka memperhatikan keuangan yang sudah tak lagi sama kala bapak masih
bekerja tetap sebagai karyawan. Pada kesempatan pulang kampung selanjutnya,
kali ini bapak dan ibu mempunyai 1 kaleng bubuk kopi. Kudengar cerita dari ibu
bahwa itu hasil menumbuk sendiri. Memang soal cita rasa beda jauh dari kopi
dari tempat bapak bekerja dulu atau kopi sachet ber-merk. Tapi, kalau minum
kopinya tetap bersama begini tetap nikmat menurutku. Ini adalah sweet memory-ku di rumah.
Bagi
sebagian orang, minum kopi cukup riskan. Biasanya, masalah di lambung, entah
itu perih atau gemetar. Hal tersebut biasanya terjadi pada orang yang tidak
terbiasa meminum kopi. Sebenarnya minum kopi tetap bisa dirasai dengan nikmat,
tanpa menimbulkan efek samping lambung perih atau gemetar, asalkan memperhatikan
waktu, jenis, kuantitas, dan cara meminumnya.
Soal
waktu, seperti yang
saya ungkapkan sebelumnya minum kopi terasa nikmat saat pagi hari sebelum
sarapan atau di kala senja. Kalau tujuannya untuk menahan kantuk karena ingin
begadang di malam hari, usahakan hindari minum kopi terlalu malam, seperti di
atas pukul 21.00. Selain membuat kita sulit tidur hingga larut malam, juga akan
membuat badan terasa tidak enak saat bangun tidur keesok paginya, seperti masuk
angin atau perut kembung.
Soal
jenis, kita sesuaikan
dengan selera. Kalau kita tidak terbiasa minum kopi atau rentan bermasalah
dengan lambung, lebih baik baik pilih kopi campuran dengan susu atau creamer.
Kopi jenis ini menurut saya lebih bersahabat. Sudah banyak merk-merk kopi yang
menawarkan kopi jenis ini dan menggoda selera. Merk favorit saya adalah Good Day.
Soal
kuantitas, hindari minum
kopi dalam satu hari lebih dari dua cangkir karena dikhawatirkan membuat perut
kita kembung. Juga harus diseimbangkan, jangan sampai minum kopi, tapi tidak
makan. Jelas hal tersebut mengganggu kesehatan tubuh, khususnya masalah
pencernaan.
Sedangkan
soal cara, alangkah baiknya minum kopi disertai
sandingan. Bukan sandingan sesajen lho maksudnya :). Maksudnya, sandingan berupa kue, entah
itu roti, jajanan pasar, atau biskuit sesuai selera masing-masing. Ini supaya
lambung yang mungkin masih kosong tidak kaget menerima kopi begitu saja karena
belum sarapan atau belum makan. Jadi, ada pengganjal berupa makanan ringan
untuk menghindari rasa perih pada lambung sesudah meminumnya.
Ya
itu sedikit tips dari pengalaman pribadi saya meminum kopi dan semuanya tanpa
pertimbangan ilmiah yang akurat. Jadi, untuk lebih detail korelasi kopi dengan
kesehatan, bisa digali lebih dalam informasinya. Sebagai tambahan,
“Sesuka-sukanya kita minum kopi, tetap
harus menjaga pola makan dengan teratur ya.”
~Wenny Pangestuti~
1 comment :
Ada kopi yang buruk secara penampilan. Namun, akan berbeda bagi sebagian orang, karena mereka telah mengenalnya lebih jauh. Mungkin saja, mereka jatuh, terpesona oleh rasa nya. Karena tak jarang, aroma tak menggambarkan dengan pasti tentang rasa yang ada di baliknya.
Post a Comment