Dalam
perjalanan sebagai mahasiswa, menjadi guru les privat adalah salah satu
aktivitas yang pernah saya lakoni. Sudah silih berganti anak yang saya dampingi
belajar, salah satunya Nabila. Cerita bagaimana saya bisa menjadi guru les
privatnya menarik karena sebelum-sebelumnya saya menjadi guru les privat
melalui informasi mulut ke mulut, atau lembaga. Namun, suatu ketika saya sepi
anak-anak yang mau diles-privati dan saya juga sudah berhenti lewat lembaga,
saya berinisiatif membuat brosur les privat. Supaya lebih menarik, saya tetap
mencetaknya berwarna. Saya tebar pertama kali di depan sebuah sekolah menengah
pertama (SMP) yang kata orang sekolah tersebut SMP favorit di kota Jember.
Sebenarnya saya maju mundur menyebarkan brosur seorang diri, tapi akhirnya mau
gak mau harus ditebar. Sayang banget sudah nyetak ngeluarkan ongkos, masa’ gak
jadi ditebar. Akhirnya, saya tebar. Satu.. dua.. tiga.. perlahan satu demi satu
brosur beralih tangan kepada siswa-siswa yang hendak masuk melalui gerbang sekolah.
Tinggal sedikit lagi, maka habislah brosur itu dari genggaman tangan saya.
Di tengan
aktivitas tebar yang saya lakukan, berhentilah sebuah sepeda motor di sekitar
depan gerbang, yang dikendarai oleh seorang ibu mengantarkan putrinya sekolah.
Saya berikan beliau brosur juga. Ibu tersebut membaca brosur tersebut lalu
menoleh ke arah saya. Saya balas dengan senyum. Ibu tersebut juga tersenyum
lalu beranjak meninggalkan tempat tersebut. Selang beberapa waktu brosur dalam
genggaman saya pun habis. Saya pun pulang menuju kontrakan kembali.
Minggu
demi minggu berlalu. Dinanti-nanti, tak ada panggilan yang menunjukkan
ketertarikan pada penawaran brosur saya. Tapi, ternyata setelah saya hampir
lupa dengan brosur tersebut, ada panggilan yang intinya saya diminta ngelesi
salah satu siswi SMP tersebut. Hanya satu siswa. Alhamdulillah meskipun masih satu
siswa.
Sekitar
satu bulan berlalu. Saya pindah kontrakan di Mumtaz. Ketika saya sedang di
dalam warnet, ada panggilan dari HP saya. Ternyata, seorang wali murid yang
meminta saya membimbing putrinya belajar untuk persiapan ujian semester.
Awalnya saya hampir menolak karena rumahnya terlalu jauh untuk saya tempuh
dengan hanya naik sepeda, tetapi akhirnya saya mengiyakan. Ternyata setelah
saya sampai di rumah tersebut, ibu yang menelpon saya itu adalah ibu yang
menerima brosur saya dulu. Lebih ternyata lagi ibu tersebut bernama sama dengan
saya, Weny. Menariknya, ibu tersebut ramah sehingga acapkali saya sering
disuguhi minuman manis sesuai dengan permintaan saya, mau yang dingin apa yang
hangat. Selain minuman, saya juga sering diajak makan bersama. Makan soto,
bakso mercon, ikan bandeng, sayur asem kangkung semua pernah saya jajal.
Kebetulan ibu Weny dengan suaminya memilki usaha soto dan bakso mercon. Nah,
putri ibu Weny inilah yang bernama Nabila.
Nabila
siswa SMP kelas 2 saat itu. Sebenarnya Nabila pintar, dan mudah menangkap
materi pelajaran. Tetapi, biasanya ia kurang teliti mengerjakan soal matematika
selama les. Saya sih maklum karena mungkin saja Nabila letih setelah
setengah hari belajar di sekolah. Selain itu, Nabila siswa yang aktif mengikuti
kegiatan ekstra-kurikuler, seperti karate, dance,
dan jurnalistik. Mungkin delima saya ketika membimbing Nabila belajar adalah
soal matematika yang paling sering dikerjakan pilihan ganda sehingga yang
dibutuhkan soal cukup jawaban akhir yang benar. Nabila biasanya menghitung saja
di kertas coret-coretan. Menghitungnya cepat sampai saya tidak bisa mengikuti proses
hitungnya. Mungkin ini ya kalo anak pintar, ngitungnya cepet. Sebenarnya tidak
masalah. Tapi lama-lama pikiran saya melesat jauh pada realita pendidikan di
negeri ini.
Pendidikan
kita sering mengarahkan siswa pada mendapatkan jawaban akhir dengan benar
karena memang pada akhirnya siswa akan dihadapkan pada ujian akhir nasional (UAN)
yang bentuk soalnya pilihan ganda sehingga cukup membutuhkan jawaban akhir yang
benar. Sedangkan proses berpikir dan kerja siswa bisa menjawab soal dengan
benar sepertinya luput dari pemantauan yang mendalam. Bisa saja siswa menjawab
jawaban akhir dengan benar, tetapi apakah konsep dan cara hitungnya sudah dalam
jalur yang benar, atau jangan-jangan cara asal-asalan, coba-coba (he ini pembahasannya
kayaknya nyerempet ke topik skripsi saya). Lebih dari itu, pembelajaran seperti
ini menurut saya juga akan mempengaruhi kepribadian siswa. Siswa menjadi
terdidik dengan personal bermental instan, tidak menghayati proses. Siswa cenderung
berorientasi hasil akhir, tapi tidak menangkap hakikat bersabar dalam menjalani
proses ikhtiar.
Karena
itulah, saya berpikir gimana caranya supaya aktivitas les saya dengan Nabila
tidak sekedar Nabila menjawab soal dengan hasil akhir yang benar saja. Saya membuat
perangkat yang saya buat secara manual. Saya menuliskan soal pada kertas warna,
lalu saya tempel di kertas HVS. Saya juga sediakan kolom untuk menjawab.
Sayangnya, waktu itu saya tidak sempat men-scan-nya untuk dokumentasi pribadi
saya. Soalnya, membuatnya lumayan berjam-jam. Di akhir perangkat itu, saya memberikan
lembar tambahan, lembar inspirasi. Isinya saya kutip dari tulisan di blog
seseorang. Beberapa kata-katanya saya edit. Nah bagaimana isi lembar inspirasi
itu? Beginilah rupanya.
Inspirational
Share
Bekerja keras itu menghasilkan,
bekerja cerdas itu melipatgandakan, dan bekerja ikhlas itu menenteramkan.
(Jamil Azzaini)
Kerja keras mengandalkan satu potensi dari diri
kita, yaitu tenaga (ability) dan
biasanya lebih bersifat hard skill.
Kerja cerdas adalah kolaborasi antara tenaga (hard skill) dan pikiran (soft
Skill). Hasil dari kerja cerdas adalah sebuah sikap kerja yang “out of the box”, inovatif, dan
imajinatif. Sang pekerja cerdas tidak hanya memikirkan bagaimana caranya segera
menyelesaikan sebuah pekerjaan, tetapi juga memikirkan, memahami dan menghayati
bagaimana proses kerja tersebut. Orang yang hanya mengandalkan kerja keras akan
lebih cepat mengalami kejenuhan dan kelelahan. Tetapi bagi seorang pekerja
cerdas, ia akan terus mendapatkan nilai tambah bagi kualitas pekerjaannya
sehingga ia pun akan terus meningkatkan kemampuannya, wawasannya, dan
pemahamannya. Dalam berusaha, baik kerja keras maupun kerja cerdas pada
dasarnya harus dibarengi dengan sikap ikhlas. Ikhlas menerima apapun nantinya
hasil kerja yang telah diusahakan dengan maksimal. Jadi, agar kerja keras dan
kerja cerdas kita lebih mengasyikkan dan menyenangkan, sertakanlah selalu
keikhlasan. Karena dengan ikhlas kita akan lebih tentram.
No comments :
Post a Comment