March 09, 2015

Bisikan Hati Seorang Wanita

  

Pagi yang syahdu. Udara segar amat bersahabat, diiringi kicauan merdu burung-burung. Fajar yang benar-benar menenangkan. Namun, pagi-pagi seperti ini wanita itu meringis menahan tangis. Ia menelan kekecewaan sekaligus keprihatinan pada dirinya sendiri. Sudah dua kali ia bolak-balik dari tempat tinggalnya menuju stasiun, dua kali itu pula ia menelan kepahitan fakta bahwa ia kehabisan tiket kereta untuk hari yang diharapkannya dapat pergi ke suatu tempat.

Ia bolak-balik dengan berjalan kaki. Jarak yang ditempuhnya cukup menguras energi. Ia harus menyusuri jalan yang menurun lalu menanjak. Ada pula jalan yang meliuk-liuk.

Sendiri. Ya..ia berjalan hanya seorang diri, tanpa teman menemani. Ia pun membatin, “Aku ini seorang wanita. Tapi mengapa nasibku demikian.” Ia melanjutkan, “Wanita lain mana ada yang seperti diriku. Kemana-mana mereka ditemani oleh pacar mereka atau suami mereka. Tapi, aku? Sungguh kasihan nasibku. Berjalan seorang diri seperti ini. Tentu bukanlah pacar yang kuinginkan, tapi setidaknya seorang suami yang kuharapkan.”

Ia merenung. Mengingat kembali jalan pikirnya memilih prinsip hidup untuk tak berpacaran. Ia bisa saja berpacaran. Ia bisa saja senang saat ada lelaki yang siap mengantarkannya kemana ia pergi, meng-sms atau menelponnya setiap malam dengan sejurus kata rayu nan perhatian. Tapi, ia buru-buru menggelengkan kepalanya, menangkis pikiran liar yang menjerumuskan itu. Baginya, ia tak rela mengumbar keromantisan dengan orang yang belum pasti jodoh hidupnya. Ia tak mau menggadaikan kehormatan dan harga dirinya demi senang yang kamuflase. Kehormatan yang tak perlu jauh-jauh menembus batas keperawanan. Namun, kehormatan lebih pada ternodainya tangan suci yang digenggam, kening suci yang dikecup, rambut suci yang dibelai, bahkan manja suci yang digodai oleh lelaki yang tak pasti meminang. Tidak. Itu benar-benar harga mahal yang tak boleh diobral dengan murahnya.

Ia mengangguk. Prinsipnya benar dan tak perlu disesali. Sabar dan istiqomah dengan prinsip kebenaran adalah kunci yang harus ia pegang erat-erat.

Ia melihat sekitar. Tak sedikit, satu, dua hingga banyak wanita berlalu-lalang dalam hidupnya. Juga seorang diri, dengan kondisi yang jauh lebih memprihatinkan darinya. Ada yang menuntun sepeda lusuh dengan beban rongsokan yang dibawa. Ada yang berjalan dengan menenteng dua kotak kue berukuran sedang di kedua tangannya. Tak terlihat gurat muram kelelahan pada wajahnya. Senyum selalu merekah setiap ia menjajakan kue jualannya tersebut. Mereka menangkis rasa malu dan apa kata orang tentang mereka. Yang mereka pikirkan bagaimana cara hari ini menjemput rezeki dari Allah demi kesejahteraan hidup keluarga mereka, anak-anak mereka. Bukan karena mereka tak membutuhkan lelaki dalam hidupnya. Bukan pula karena mereka hendak menyaingi keperkasaan lelaki dalam mencari nafkah. Tentu mereka akan lebih senang bila ada seorang suami yang melindungi mereka dari kondisi demikian.

Wanita itu kini mendapatkan jawabannya, bahwa ia terlalu sering mengeluh dan meratapi kondisinya. Ia kurang bersyukur akan hidup yang telah dimiliki. “Rumput tetangga memang seringkali terlihat lebih hijau. Namun, kita sering kurang menyadari bahwa rumput kita masih lebih hijau dari orang lain.” Ia pun mengambil pelajaran.




~Wenny Pangestuti~