July 23, 2017

Dahulu-Sekarang, Tanpa-Dengan Smartphone



Aku hanya ingin mengingat-ingat bahwa dahulu tanpa smartphone, hidupku tetap bisa bahagia, bahkan bisa dikatakan lebih baik.


Dahulu tanpa smartphone, ponselku hanya bisa digunakan untuk SMS dan telfon. Lebih dari itu, satu-satunya hiburan yang kusukai dari ponselku adalah radio, atau terkadang beberapa game sederhana di dalamnya. Itu saja bagiku sudah cukup saat itu. Aku masih tetap bahagia, bahkan lebih hemat, menggunakan pulsa cukup untuk SMS dan telfon sebagai sarana komunikasi. Kalaupun aku butuh mengakses internet, aku cukup pergi ke warnet seperlunya. Selesai.

Aku menghargai benar-benar kesederhanaan yang kumiliki saat itu. Tak perlu mengeluh. Buat apa merana ketika yang lain memiliki smartphone. Toh aku sadar diri, kondisi keuanganku belum memungkinkan untuk memiliki smartphone seperti yang lain saat itu. Buat apa aku harus memaksa diri untuk memilikinya segera. Toh kadar kebutuhanku belum begitu ada atau bahkan ekstrem untuk memilikinya segera. Ya walaupun kadang ada rasa ingin terhubung lebih mudah dengan teman-teman lama melalui aplikasi seperti Whatsapp atau BBM, tapi sudahlah. Tidak masalah. Masih bisa SMS Alhamdulillah, walaupun tak jarang responnya singkat dan datar. Tak apalah. Toh aku bisa merasakan betapa indahnya rasa rindu itu lalu tiba-tiba ada kesempatan tak terduga berkomunikasi setelah sekian lama tak terhubung, meski itu hanya dalam waktu singkat. Indah dan membahagiakan hati! Kesederhanaan yang membahagiakan.

Sekarang dengan smartphone, segalanya terasa mudah dengan hanya sentuhan jari. Smartphone ibarat jendela atau pintu penghubung menuju kemana saja kita inginkan; menyediakan apa saja yang ingin kita ketahui. Semuanya terasa mudah. Awal mulanya aku senang bisa bertemu kembali dengan teman lama, bisa chat sepuasnya tanpa takut pulsa habis; bisa leluasa mengakses social media kapan pun tanpa harus pergi ke warnet dulu; bisa browsing kapan pun dengan Google untuk mengusir rasa penasaranku pada suatu info; bisa memudahkanku untuk sekedar blogwalking lalu memberi komentar; bahkan sekarang memudahkan untuk posting tulisan di blog. Mudah dengan hanya tinggal duduk manis di rumah atau tempat tertentu. Sekaligus bisa memanjakan ketertarikanku pada photography dengan kamera smartphone yang mendukung. Benar-benar multi manfaat bagiku.

Tetapi…

Lambat laun, aku menyadari sesuatu. Di balik kemudahan ini, coba kita hitung berapa banyak yang benar-benar termasuk kepentingan atau kebutuhan dari sekedar keinginan atau having fun belaka? Ada perubahan yang benar-benar saya rasakan dalam diri saya dengan keberadaan smartphone. Mungkin lebih cenderung menurutku perubahan yang kurang baik. Cukup pertanyaan retoris ini mewakili semuanya bagiku dan bagi siapa pun tentang keberadaan smartphone dalam hidup kita,


 “Berapa banyak hal yang benar-benar termasuk kebutuhan dari sekedar having fun belaka?”



~Wenny Pangestuti~


Sumber gambar : random dari Google

June 21, 2017

Be Effective and Efficient with ASUS E202 Notebook


Di era sekarang nampaknya keberadaan komputer, laptop, notebook, atau sejenisnya bukanlah barang yang mewah lagi, tetapi sudah menjadi kebutuhan. Beragam profesi atau status membutuhkan adanya laptop untuk menunjang aktivitas mereka.

Salah satu contohnya, mahasiswa. Dulu saat masuk kuliah pertama kali tahun 2009, saya amati tidak semua mahasiswa baru langsung mempunyai laptop. Paling beberapa semester kemudian satu per satu hingga hampir semua mahasiswa tersebut mempunyai laptop. Kalau saya, baru bisa pegang laptop sendiri sekitar memasuki tahun ke-4 kuliah. Itu pun bukan produk baru. Lungsuran dari adik saya, yang sudah lebih dulu dibelikan laptop karena sekolahnya kejuruan jurusan rangkaian perangkat lunak.

Zaman dulu kalau belum mempunyai laptop masih tidak masalah. Karena masih ada rental komputer atau warnet untuk mengerjakan tugas-tugas kuliah. Atau, masih bisa juga meminjam laptop milik teman satu kos yang kebetulan sedang tidak dipakai. Tapi tidak enak juga ya kalau keseringan pinjam. Hehe.

Semuanya mulai terasa berubah ketika beberapa tahun kuliah, saya melihat adik-adik angkatan saya, saat mengawali menjadi mahasiswa baru mereka hampir semua sudah mempunyai laptop sendiri. Sepertinya para orang tua sudah mempunyai kesadaran akan kebutuhan laptop di dunia perkuliahan. Jadi, sekarang sudah tidak mengherankan bila melihat mahasiswa tidak bisa lepas dengan fasilitas pribadi yang namanya laptop.

Bahkan pelajar sekolah pun sekarang sudah banyak yang mempunyai laptop sendiri untuk mendukung aktivitas belajar mereka. Zaman kian berkembang, belajar pun kian canggih, tak sekadar dari buku teks, tapi juga multimedia dengan dukungan layanan internet. Makin mantap seharusnya belajarnya!

Nah, itu tadi pelajar-nya. Sekarang apalagi guru. Laptop juga menjadi kebutuhan tak terelakan buat guru. Selain untuk menunjang proses mengajar yang multimedia, laptop juga kerap dibutuhkan untuk melengkapi adminitrasi yang berkaitan dengan profesionalisme guru, seperti merancang perangkat pembelajaran setiap tahunnya.

Kebetulan profesi saya seorang guru. Dulu pertama kali kerja mengajar masih belum mempunyai laptop. Laptop yang lama dibawa adik lagi untuk lanjut kuliah. Baru enam bulan kerja, saya merasa butuh yang namanya laptop. Karena selama tidak punya laptop saya harus sering bolak-balik warnet, hanya buat ngetik media pembelajaran. Dan ketika ada wacana dari pimpinan kerja untuk segera menyiapkan perangkat pembelajaran, saya diskusikan dengan keluarga untuk berencana membeli laptop baru.

Ya, begitulah. Kebutuhan akan laptop di zaman serba digital ini tak bisa terelakan. Banyak tuntutan pekerjaan atau aktivitas tak bisa lepas dengan namanya laptop atau sejenisnya.

Nah, bagi teman-teman yang berencana untuk membeli laptop atau sejenisnya, ada beberapa tips yang bisa dipertimbangkan sebelum membeli. Ini tips versi saya hehe.

Pertama, Ukuran Laptop yang Dibutuhkan

Coba direnungkan kira-kira mobilitas teman-teman tinggi gak. Artinya, sering harus keluar rumah/ruangan atau sering pindah dari satu tempat ke tempat yang lain karena tuntutan pekerjaan atau aktivitas. Bila iya, pertimbangkan ukuran laptop yang akan teman-teman beli. Karena ukuran layar setidaknya mempengaruhi bobot dari laptop yang bisa jadi teman setia kerja kemanapun dan kapanpun.

Kedua, Daya Tahan Baterai

Selain ringan dibawa, pertimbangan lainnya adalah daya tahan baterai laptopnya, awet tidak? Biasanya, kalau saya merasa perlu membawa laptop, saya akan mengecas dulu di rumah sebelumnya sampai full-battery biar saya tidak perlu membawa charger. Kan berat juga kalau sambil membawa charger laptop kemana-mana. Nah, maka dari itu, pilihlah laptop yang daya tahan baterainya bisa berjam-jam sehingga tidak mengganggu aktivitas teman-teman karena harus merasa repot mengecas sana-sini, khususnya saat di luar ruangan.

Ketiga, Jenis Processor-nya

Jenis brand processor selain Intel kalau mau nyari sebenarnya banyak. Tapi Intel ini sudah lebih dikenal masyarakat dan berdaya jual tinggi. Jadi, processor Intel bisa menjadi pilihan utama. Secara, processor itu ibaratnya otak laptop, yang akan mengontrol jalannya sistem kerja dalam laptop. Kalau ‘otak’nya bagus, otomatis cara kerja mesin juga bagus. Sehingga pekerjaan teman-teman tak kan menemui kendala yang berarti karena alasan lemot atau loading tak berkesudahan.

Nah, sedikit tips-tips sederhana dari saya yang bisa dijadikan sebagai pertimbanagn sebelum membeli laptop. Sudah menemukan laptop dambaan hati, belum?

Kalau belum, ada kabar kembira dari brand ASUS. ASUS sekarang mengenalkan produk barunya, yaitu notebook ASUS E202. Banyak keunggulan yang bisa dijadikan pertimbangan teman-teman untuk memilih ASUS E202 jadi notebook pilihan. Hanya saja di sini saya akan memaparkan 4 poin keunggulan yang saya suka dari ASUS E202 ini.

1. Compact Design to Keep Your Moving


ASUS E202 ini didesain efektif dan efisien bisa dibawa kapanpun dan dimanapun. Kenapa? Karena ukuran dan bobotnya yang handy banget, yaitu berdimensi 193 x 297 mm atau tidak lebih besar dari kertas berukuran A4 dan memiliki bobot 1,21 kg. Sangat ringan kan?

2. Fully Equipped, including USB 3.1 Type C


Meskipun dimensinya minimalis, ASUS E202 tetap memiliki dukungan beberapa USB port seperti sebuah micro HDMI port dan slot Micro SD yang tersedia bagi kegiatan komputasi sehari-hari kita.

Untuk versi dan tipe USB port-nya adalah USB versi 3.1 dan tipe C. Artinya, secara fisik ukuran konektor dan soket-nya cukup kecil atau tipis, hanya sekitar 8,4 mm x 2,6 mm. Kedua sisi soket dan konektor memiliki bentuk dan ukuran yang sama, sehingga walau orientasinya terbalik saat dicolokkan, konektor akan tetap masuk. Sehingga desain ini memudahkan pemakai tidak perlu khawatir akan salah orientasi saat menancapkan konektor ke perangkat.

Selain itu, desain USB 3.1 Tipe C ini memiliki kecepatan puncak berkisar 10 Gbps dan mampu menghantarkan tegangan supply hingga 20 V (100 W) dan 5 A. Jadi, untuk aktivitas mengecas notebook bagaikan mengecas sebuah smartphone atau tablet, hanya menggunakan sebuah kabel USB.

3. Long Battery Life for All Day Computing


ASUS E202 memiliki ketahanan baterai sampai 8 jam sehari sehingga kita tidak perlu khawatir kehabisan baterai saat di luar ruangan atau kelupaan membawa charger.

4. Next Generation Intel Processor


ASUS E202 ini menggunakan Intel processor terbaik sehingga kita tidak perlu khawatir akan kapasitas performanya dalam berkomputasi khususnya pada saat berselancar di web, menonton video, proses pengetikan, dan multi-tasking sehari-hari.

Itu 4 keunggulan ASUS E202 yang saya suka. Keunggulan lainnya dari ASUS E202 adalah

5. A Palette of Four Different Colors


ASUS E202 ini menyediakan 4 pilihan warna yang bisa disesuaikan dengan kesukaan teman-teman. Ada yang Silk-White, Dark-Blue, Thunder-Blue, dan Red-Rouge. Silakan pilih sesuai dengan ekspresi kesukaan masing-masing.

6. ASUS E202 Hadir dalam Versi Windows 10 lho


Sudah tahu belum kelebihan dari Windows 10 ini?

Pertama, Windows 10 memiliki kemampuan yang mendukung multi desktop sehingga dalam satu layar akan tampil tidak hanya satu desktop, tapi bisa hingga tiga dekstop sekaligus. Kemampuan ini memungkinkan kita dapat melihat dokumen secara bersamaan dan melakukan berbagai pekerjaan sekaligus.

Kedua, Windows 10 ini juga dilengkapi fasilitas konektifitas antar perangkat melalui fitur Continuum. Cukup menghubungkan smartphone dengan laptop atau PC yang memiliki Windows 10 maka tampilan smartphone akan muncul di layar laptop atau PC atau sebaliknya menjadikan smartphone, tablet memiliki tampilan layarnya desktop atau laptop.

Ketiga, selain interkoneksi ke sesama Windows 10, kompatibilitas dengan berbagai perangkat yang memiliki sistem operasi lainya juga bisa dilakukan dengan mudah menggunakan Microsoft Phone Companion App. Pengguna iPhones, Android, dan Windows Phone dapat terkoneksi dan terhubung dengan semua perangkat Windows 10.

Jadi, dengan kelebihan Windows 10, efektifitas dan efisiensi kita menyelesaikan pekerjaan semakin mudah.

Nah, itu beberapa keunggulah dari produk ASUS E202 yang mendukung aktivitas harian kita dengan efektif dan efisien. Keunggulan lain dari ASUS E202 selebihnya bisa teman-teman akes di www.asus.com.

Sudah mantap dengan produk ASUS E202? ☺


Tulisan ini diikutsertakan dalam Blog Competition ASUS E202 by uniekkaswarganti.com


~Wenny Pangestuti~


#E202BlogCompetition

June 17, 2017

Bebas [The Real Human, without Gadget]


Sudah lama tidak begini. Menulis diary di pagi hari. Semua terkesan berubah. Keberadaan smartphone mengubah segalanya, memasung kreativitas dan imajinasi, bahkan mencuri kesibukan.

Generasi terdahulu dengan generasi terkini amat berbeda. Miris. Bahkan lebih baik yang terdahulu walau tak tersentuh teknologi canggih.

Komunikasi terdahulu dengan komunikasi terkini pun berbeda jauh. Dulu, terpisah lalu berkomunikasi kembali adalah anugerah yang membunga-kan hati. Kini, generasi tidak menghargai kemudahan komunikasi. Bahkan rindu kian tak berarti. Hati menjadi dingin. Respon kurang berkenan di hati.

Miris. Sedih. Sekaligus merasa kehilangan sesuatu. Kehangatan. Rasa syukur atas kesederhanaan. Quality time dengan orang-orang yang berharga di hati. Hilang. Nyaris musnah.

Apalah arti semua. Apalah arti smartphone. Bila dengan kemudahannya, tak memberi arti apa-apa, selain jiwa dan pikiran yang sakit. Sakit.

Mendamba kebebasan dengan semilir angin kesegaran, yang membasuh jiwa yang kian terpenjara oleh kukungan dunia maya.

Biarlah lepas sejenak atau bahkan lebih lama tanpa pautan hati dunia maya.

Duniaku.. dunia nyata lebih bahagia, bahkan indah. Dengan hangatnya sinar mentari sebelum pukul 09.00. Atau teduhnya suasana dengan aroma khas tanah basahnya pasca hujan. Mendengar simfoni alam dari nyanyian-nyanyian ternak di pagi hari. Ayam, bebek, atau kicauan burung sang pengembara. Tidak peduli comment dan like. Tidak peduli scrolling. Tidak peduli stalking.

Aku bebas. Menjadi manusia nyata. The Real Human, without Gadget.

Bebas.


~Wenny Pangestuti~

June 09, 2017

Konsep Pendidikan Anak, Harapanku


Sekitar bulan April lalu, saat saya sedang menjaga ujian, sambil menjaga ujian saya corat-coret di atas kertas. Menjaga ujian cukup membosankan juga. Jadi, dengan sambil corat-coret bisa mengusir kejenuhan, bahkan rasa kantuk.

Saat itu yang ada dalam benak saya adalah kualitas generasi sekarang yang banyak mengundang rasa miris dari tingkah laku, cara berpikir hingga pergaulannya. Saya jadi gregetan dan ingin mendobrak keadaan generasi yang kian rusak. Makanya muncul harapan dan komitmen bila kelak saya menjadi orang tua, saya harus benar-benar menjadi orang tua yang berkualitas dalam mendidik anak. Saya tidak ingin nasib anak-anak saya salah arah, salah pikiran, hingga salah pergaulan. Saya ingin anak-anak saya adalah anak yang berbobot ilmu, khususnya ilmu agama. Generasi yang menjadi oase ilmu dan akhlakul karimah di tengah rusaknya tatanan interaksi dalam masyarakat.

Dari benak itulah, tergoreslah uneg-uneg saya dalam beberapa carik kertas yang saya dapatkan di laci meja guru kelas. Dan beginilah uneg-uneg itu:

Corat-coret-ku


Konsep Pendidikan Anak di Masa Depan

  • Menjaga betul interaksi antara laki-laki dan perempuan
  • Kalau memungkinkan memilihkan tempat belajar/ sekolah yang terpisah antara siswa laki-laki dan perempuan
  • Kenapa?
  • Karena saya menyadari betul bahayanya interaksi antara laki-laki dan perempuan yang kurang terkontrol.
  • Di era sekarang, sekolah bisa menjadi gerbang pertama melencengnya arah yang keliru dalam memahami interaksi antara laki-laki dan perempuan.
  • Menghindari sekolah-sekolah umum -> upaya meminimalisir interaksi laki-laki dan perempuan dari interaksi yang tidak syar’i; meminimalisir tumbuhnya bibit cinta yang kurang tepat.
  • Ini berdasarkan pengalaman masa muda saya. Betapa tidak enaknya kalau sudah terjebak pada konsep cinta yang keliru. Sulit menghilangkannya!
  • Karena itu saya ingin menjaga generasi saya sebaik mungkin.
  • Selain itu, menghindari pengenalan pada musik-musik tentang cinta atau tidak syar’i. agar tidak membuai anak dalam fantasi yang keliru.
  • Menghindari tayangan TV yang tidak mendukung. Bahkan kalau perlu menghindari keberadaan TV di lingkungan rumah. Untuk menjaga pola pikir anak.
  • Mengganti hiburan dengan buku-buku, multimedia yang syar’i dan islami untuk merangsang kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual.
  • Lebih mengedepankan anak menguasai baca Qur’an dengan tartil, menghafal Qur’an dan hadits serta doa, menguasa bahasa Arab. Itu digunakan sebagai kemampuan yang mendukung spirit dakwah pada diri anak.

Social Media

  • Membatasi mereka ber-social-media hingga mereka cukup matang untuk menggunakannya. Saat menjadi pelajar lebih baik tidak perlu ber-social-media.
  • Ketika baligh (15-21) mereka mungkin boleh memiliki nomor sendiri, social media sendiri dengan anggapan mereka sudah mulai dewasa, memberi keleluasaan dalam mengambil keputusan dalam hidup, mulai mengajarkan kemandirian berpikir. Namun, tetap dalam pengawasan orang tua. Usia sekian menjadikan mereka bukan lagi anak-anak, tetapi sebagai sahabat.

Anak = Investasi Akhirat

“Jika seorang manusia meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga hal: sedekah yang mengalir, ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang selalu mendoakannya.”
[HR. Muslim]


Bekal untuk Mendidik Anak yang Akan Memasuki Usia Baligh

  • Paham tata cara bersuci dari hadas besar, seperti haid dan mimpi basah
  • Mengajarkan tata cara thaharah lainnya
  • Ilmu fikih seperti tata cara shalat
  • Kewajiban menutup aurat dan berjilbab

Karena ini berkaitan dengan kewajiban fardhiyah yang akan dipikulnya

Dengan semua ini, harapan saya menyiapkan anak dapat tumbuh dan berkembang sekelas generasi sahabat Rasulullah.

Harapan saya di usia memasuki 18-20 mereka sudah memiliki kesiapan dengan tanggung jawab untuk menikah.

Kenapa menikah muda? Karena saya menyadari gejolak syahwat di usia sekian kian membuncah dan godaan dimana-mana.

Daripada anak-anak terkekang bahkan berpotensi salah arah pergaulan, menyiapkan mereka menikah mudah lebih aman. Insya Allah lebih barakah. Intinya menghindarkan anak-anak dari kegalauan seperti kebanyakan generasi masa kini!


“Manfaatkan lima perkara sebelum lima perkara:
1. Waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu,
2. Waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu,
3. Masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu,
4. Masa luangmu sebelum datang masa sibukmu,
5. Hidupmu sebelum datang kematianmu.”
[HR. al-Hakim]


Wenny Pangestuti


Sumber gambar: i1.wp.com

May 14, 2017

Memilih Menantu Idaman ala Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam ~part 2~


Alhamdulillah, sesuai janji saya di bagian sebelumnya, tulisan ini membahas lanjutan tentang Memilih Menantu Idaman ala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang saya peroleh dari tayangan Khalifah Trans 7 tanggal 22 Mei 2016 silam. Bagian ini membahas hasil tanya jawab antara ibu-ibu jamaah Majelis Taklim Mar’atus Sholihah Bandung dengan Ustadz Budi Ashari sebagai narasumber. Berikut pemaparannya.

Poin pertama
Pertanyaan :
Menurut Islam, kriteria mencari calon suami atau istri itu ada empat, yaitu pertama seiman atau seagama, kedua kekayaan, ketiga kecantikan atau ketampanan, dan keempat adalah nasab atau keturunan. Bagaimanakah maksud yang seagama itu? Karena mencari calon suami atau istri yang baik, agama akan menentukan baik tidaknya kehidupan rumah tangga selanjutnya.

Ulasan:

“Diceritakan Musadad, diceritakan Yahya dari ‘Abdullah berkata bercerita kepadaku Sa’id Ibn Abi Sa’id dari Abi Hurairah ra bahwasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda wanita dinikahi karena empat perkara. Pertama hartanya, kedua kedudukan statusnya, ketiga karena kecantikannya, dan keempat karena agamanya. Maka carilah wanita yang beragama (islam) engkau akan beruntung.” 
(HR. Imam Bukhari)

Empat kriteria yang disebut di atas adalah untuk calon perempuan. Lalu, kalau untuk calon laki-laki bagaimana? Laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan. Jelas berbeda. Sebab, posisi mereka di dalam rumah tangga  juga berbeda.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Jika datang kepada kalian seorang lelaki yang kalian ridhai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia. Jika tidak, maka akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang besar.”
(HR. Tirmidzi. Al Albani berkata dalam Adh Dho’ifah bahwa hadits ini hasan lighoirihi)

Ini masalah paling penting bagi laki-laki, yaitu agama dan akhlak (atau dengan kata lain ‘amanah’). Kenapa? Karena laki-laki mempunyai amanah sebagai suami, ayah, atau juga mungkin di aktivitas sosialnya, dan seterusnya. Ini amanah. Kalau sudah datang lelaki yang seperti itu, maka nikahkan dia. Ambil dia menjadi menantu. Kalau tidak, efeknya kata Nabi akan menimbulkan fitnah dan kerusakan yang besar. Nah ini, hati-hati dalam menolak orang. Ada panduannya.

Lalu, bagaimana mengukur agama seseorang? Berarti dalam hal ini baik laki-laki maupun perempuan harus sama-sama dipertimbangkan agamanya. Karena dari hadits di atas disebutkan agama menjadi kriteria dalam memilih calon istri, begitu juga bagi laki-laki. Jadi, mau laki-laki atau perempuan, kriteria agama dua-duanya harus ada, yaitu beragama yang baik.

Apakah agama cukup dengan KTP? Orang tua saat mencari menantu, standardnya tentu tinggi, bukan? Tentu sayang jika orang tua mencari menantu dengan standard yang rendah. Tapi, dalam hal ini Ustadz Budi Ashari memamparkan standard yang paling bawah. Tidak boleh di bawah ini lagi. Karena di bawah ini, sudah jurang mati. Apa itu?

Seorang muslim itu, tentu dia akan meninggalkan yang haram. Mungkin ada yang masih melakukan yang makruh. Tapi yang haram, dia sudah tinggalkan. Sedangkan yang wajib, dia tidak pernah meninggalkannya. Mungkin yang sunnah dia tidak mengerjakan. Tetapi yang wajib, ia senantiasa mengerjakan. Nah inilah standard yang bawah itu.

Contoh, umpamanya ada orang tua yang mau mencari menantu laki-laki. Jadi dia mempunyai seorang putri, calon menantunya laki-laki. Sebagai seorang muslim, sholat itu rukun islam yang utama setelah kalimat syahadat. Bahkan di akhirat nanti, akan dicek dulu sholat-nya. Maka cek dulu sholatnya. Kalau sholatnya baik, insya Allah amalan lainnya juga baik. Jadi, efek sholat itu bisa kepada amalan yang lain. Karena itu, dicek betul sholatnya.

Laki-laki itu sholatnya di masjid. Gampang bukan. Sudah tinggal diabsen saja di masjid. Datang tidak dia di masjid. Terutama waktu Shubuh. Mudah. Sekarang dicari tahu saja dulu tinggal dimana sang calon menantu, kirim orang untuk mengecek dia di masjid. Hadir gak dia di masjid. Begitu tidak hadir sekali dua kali tiga kali, coba dicek, jangan-jangan keluar kota, jangan-jangan sakit. Itu bisa diukur. Ternyata kelihatan tuh di rumahnya. Kalau sudah berkali-kali, berarti coret, tidak layak menjadi menantu. Kenapa? Karena kalau kewajiban dia kepada Tuhannya saja berani dia langgar, bagaimana kewajiban dia membahagiakan istrinya dalam berumah tangga.


Poin kedua
Pertanyaan:
Apabila ada seorang calon menantu perempuan yang lebih pintar dari calon laki-lakinya, baik dalam segi agama maupun ilmu duniawi, bagaimana pandangan Islam mengenai hal tersebut?

Ulasan:

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.
(TQS. An-Nisaa’ [4]: 34)

Dari penggalan surat an-Nisaa’ ayat 34 di atas terdapat kata qawwam (pemimpin). Salah satu arti qawwam adalah murobbi, sebagai pendidik. Namanya pendidik harus lebih cerdas. Bagaimana kalau calon menantu perempuan malah lebih pintar dalam urusan agama dan segala macam? Dalam hal ini Ustadz Budi Ashari menyampaikan, pertama istighfar yang banyak. Istighfar sebagai bentuk salah orang tua laki-laki. Bagaimana mereka menyiapkan anak laki-laki dengan kualitas seperti itu. Kasihan si anak perempuan itu. Kasihan keluarga perempuan ini. Mereka menyiapkan perempuan yang luar biasa, sedangkan keluarga laki-laki menyiapkan laki-laki yang kualitasnya seperti ini. Pertama, istighfar dulu yang banyak. Dalam malam-malam, beristighfar, “Ya Allah mohon ampun. Ini kami salah mendidik anak. Menjadi laki-laki cuma seperti ini. Tidak pantas menjadi qawwam.”

Yang kedua, bersyukur. Kenapa bersyukur? Masya Allah, lelaki seperti ini mendaptkan perempuan yang luar biasa.

Yang ketiga, tidak ada pilihan lain, laki-laki tersebut harus menyediakan waktunya untuk belajar ilmu (agama). Harus. Tidak ada alasan dia sibuk, karirnya sedang tinggi, bisnisnya sedang besar. Tidak ada ceritanya itu. Karena yang akan mereka lahirkan adalah generasi penerus. Tidak ada pilihan, dia harus belajar ilmu. Sediakan waktu. Kalau perlu, itu dijadikan syarat di awal. “Kuijinkan engaku menikahi putriku, asal kamu menyediakan waktu betul untuk belajar ilmu. Kita saksikan  bersama-sama kalimat ini.” Harus begitu. Karena kalau tidak begitu, tidak akan ada perubahan. Nanti beralasan oh saya lagi sibuk…saya lagi ini..dan sebagainya. Karena ini adalah modal penting utama bagi utuh dan bahagianya rumah tangga. Wallahu’alam bi shawab.


Poin ketiga
Pertanyaan:
Dalam islam kan tidak ada yang namanya pacaran. Tapi ada istilah ta’aruf. Nah ta’aruf itu bagaimana batasan-batasannya? Atau bagaimana cara ta’aruf itu menurut Islam?

Ulasan:
Secara istilah bahasa, dua-dua-nya sebenarnya tidak ada di dalam syariat Islam. Tidak ta’aruf. Tidak pacaran. Dalam Islam pertama ada aturan antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki dan perempuan itu ada batasan. Kita semua tahu tentang batasan antara laki-laki dan perempuan. Batasan tersebut harus ditaati selama mereka belum halal. Halalnya kalau sudah akad menikah. Tunangan pun belum bisa dikatakan halal.

Karena alasan hari ini seseorang berpacaran, alasan paling kuatnya adalah supaya kenal. Ustadz Budi Ashari pun menyampaikan bahwa orang pacaran itu kenalnya bohong, pura-pura. Contohnya gampang. Apa pernah ada pacar menemui pacarnya dalam keadaan belum mandi, dalam keadaan kusut mukanya. Kalaupun belum mandi, itu parfumnya sudah tebal. Tapi aslinya, begitu ketemu pada malam pertama, ia terkejut dengan sifat aslinya. Artinya, pacaran bertahun-tahun pun tidak memberikan jaminan dia mengenal. Karena orang pacaran itu bohong. Dia pakai topeng.

Di dalam Islam, Rasul memberikan contoh terbaik. Contoh terbaik adalah Ali. Kalau Rasul dengan Ali contohnya mudah. Ali, Nabi kenal betul. Tidak perlu ta’aruf lagi. Wong semua sudah kenal. Ali pernah lihat Fatima. Sering malah. Fatimah pun tahu Ali. Rasul tahu putrinya. Rasul tahu Ali. Dinikahkan.

Yang tidak tahu bagaimana? Yang tidak tahu, ada prosesnya. Rasul juga pernah mengalaminya. Rasul pernah mengirim seorang perempuan untuk mengenali wanita yang mau dinikahi dan beliau belum mengenalinya. Minta dikenalinya tidak hanya sifatnya. Bahkan hingga aroma tubuhnya. Kalau ingin tahu calon menantu, maka bertanya kepada keluarganya, kakaknya, adiknya, bapaknya, ibunya, tetangganya, teman akrabnya. Dengan begitu, akan diperoleh informasi mengenai sosok asli si dia. Setelah itu, tinggal dicek cocok tidaknya. Namun, harus kita ingat pula bahwa manusia tidak ada yang sempurna 100%, maka indikator agama senantiasa menjadi prioritas utama.

Demikian akhir dari ulasan ini. Semoga dapat bermanfaat.


~Wenny Pangestuti~

May 07, 2017

Be Easy to Wear


Saya lahir bukan dari lingkungan pesantren atau pun keturunan kyai, ulama, dan sebagainya. Saya hanyalah ordinary woman. Jadi, bisa dikatakan meskipun saya terlahir sebagai muslim, bekal ilmu agama saya standard. Saya pun tumbuh selayaknya anak pada umumnya, tidak ada yang istimewa.
Semuanya mulai berubah ketika kelas VIII SMP. Dari membaca sebuah cerpen, terbukalah tabir rasa penasaran saya pada agama yang saya anut bahwa kayaknya Islam gak hanya ngatur shalat aja, puasa aja, nyuruh kita gak durhaka saja, dan bla bla bla. Masalah gejolak asmara anak ABG, Islam juga bahas deh. Itu lantaran cerpen yang saya baca mengulas bahwa nggak ada istilah pacaran dalam Islam. Dari bahasan itulah, saya mulai penasaran memahami Islam lebih dalam. Saya menjadi semakin tertarik membaca buku-buku yang bernuansa Islam mulai dari yang fiksi hingga yang non-fiksi, mulai dari yang bahasannya ringan hingga yang konteksnya berat dan dalam. Saya pun lambat laun jadi mengenal beberapa hukum Islam, salah satunya kewajiban menutup aurat bagi wanita yang telah memasuki masa baligh.
Saya pun berproses dalam menutup aurat. Mula-mula, pakai kerudung apa adanya, gak sampai menutup dada, kadang dililitkan ke leher, pakaian masih ketat, bercelana, atau pakai kaos lengan pendek ditambahi pakai deker buat nutup lengan tangan. Lalu, mulai berubah konsisten pakai rok, kerudung dilonggarin, gak lagi pake gaya dililitin di leher. Terus, mulai coba-coba pakai kaos kaki keluar rumah meskipun cuma ke warung sebelah atau ke warnet, kerudung dirangkap-rangkap kalo tipis, baju juga begitu, kalo terawang didobel pake daleman kaos. Finally, semuanya kian berubah ketika saya masuk dunia perkuliahan. Di sana saya memahami lebih jelas makna ayat Qur’an Surah Al-Ahzab ayat 59 bahwa yang dimaksud jilbab itu beda dengan kerudung. Jilbab kalo dikembalikan lagi dalam konteks bahasa Arab adalah baju mantel atau terusan yang menutupi pakaian dalam/rumahan (al-mihna). Dari sanalah saya memulai berhijrah memakai jilbab setiap keluar rumah. Jadi, kemana-mana pakai yang namanya gamis. Alhamdulillah sampai sekarang.
Ada kesulitan nggak berhijrah seperti itu? Otomatis ada. Yang namanya perubahan, pasti ada pro dan kontra. Seperti yang saya alami juga. Pro dan kontra yang paling kerasa itu datangnya dari keluarga, khususnya orang tua. Secara gitu, mereka adalah orang yang paling dekat dengan kita. Jadi wajarlah kalo mungkin mereka ‘heran’ atau bertanya-tanya kenapa anakku jadi berubah kayak gini. Ketakutan terjerumus pada aliran sesat salah satu kekhawatiran orang pada umumnya tatkala melihat wanita berubah dalam berpakaian, termasuk orang tuaku. Tapi, semua itu dikembalikan dari kekuatan komitmen kita masing-masing. Kita berubahnya karena apa dulu, ikut-ikutan saja atau karena kesadaran diri bahwa itu adalah perintah dari Allah. Saya meyakinkan orangtua kalo pilihan saya ini bukan karena ikut-ikutan semata, tapi karena pemahaman saya pada perintah Allah yang ada pada al-Qur’an. Lambat laun mereka pun bisa memahami dan menghargai pilihan saya hingga sekarang. Alhamdulillah.
Tapi itu saja belum cukup ternyata. Tantangan di luar seperti lingkungan masyarakat masih tetap ada. Apalagi kalo kita memasuki dunia kerja, sedikit atau banyak, kecil atau besar, yang namanya gesekan mengenai pilihan berpakaian syar’i pasti ada. Pikiranku, bagaimanapun caranya aku tetap harus pakai jilbab, meskipun ada di lingkungan kerja. Ya Alhamdulillah aku bekerja sebagai guru di sebuah mts swasta, jadi dalam hal berpakaian aku tidak menemukan kendala yang berarti. Awal-awal kerja aku masih pakai gamis batik begitu. Lalu, selanjutkan aku jahitin beberapa kain buat seragam kerja. Aku desain dengan gaya tetap formal buat ngajar, tapi tetap berupa terusan. Jadi, beberapa model pakaian kerjaku kelihatan dari luar seperti potongan, tapi aslinya itu terusan.

Atas : bagian luar, Bawah : bagian dalam
Pernah suatu ketika aku mancing pertanyaan ke siswa. Aku tanya apakah menurut mereka pakaianku ini potongan atau terusan. Mereka mengiranya potongan. Aku jelaskan kalo ini sebenarnya terusan. Lalu aku jelaskan sekilas mengenai prinsipku dalam berpakaian ke mereka.
Soal kerudung, terus terang aku bukan tipe orang yang sering belanja fashion. Jadi koleksi pakaian dan kerudungku tidak begitu banyak dan beragam. Ya itu-itu saja. Paling, kalo belanja sekedar ketika akan lebaran. Beberapa kerudungku ada yang bahannya tipis dan terawang. Karena sayang juga kalo tidak dipakai, jadi kadang masih saya pakai termasuk ketika kerja dengan syarat didobel dengan kerudung lain yang warnanya matching. Beberapa siswa ada yang menyadari hal ini dan iseng-iseng bertanya kerudungnya dirangkap ya Bu. Dari situ, kadang aku jelaskan kenapa dirangkap. Ya secara tidak langsung aku juga mengenalkan prinsipku sembari meluruskan konsep berkerudung yang benar ke anak-anak.
Dari sini sebenarnya aku belajar, ya sebenarnya sejak kuliah juga, aku menyadari ini, bahwa terkadang dakwah tersampaikan tidak hanya melalui lisan kata, tetapi juga dari sikap atau kelakuan sehari-hari kita. Disadari atau tidak, secara langsung atau tidak, ketika kita memilih untuk berpakaian syar’i, hal itu membawa pesan tersendiri terhadap orang-orang di sekitar kita. Ya memang perubahan kembali lagi kepada pilihan masing-masing, tetapi harus kita ingat juga bahwa ada ayat Qur’an yang menjelaskan bahwa tugas kita menyampaikan kebenaran itu sendiri, berubah tidaknya seseorang itu adalah kehendak Allah. Karena Allah berkuasa terhadap segala sesuatu, termasuk masalah membolak-balikan hati manusia.

Katakanlah: "Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada rasul; dan jika kamu berpaling maka sesungguhnya kewajiban rasul itu adalah apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu sekalian adalah semata-mata apa yang dibebankan kepadamu. Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. Dan tidak lain kewajiban rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang."
(TQS. An-Nuur [24]: 54)

Tanpa aku sadari hampir satu tahun aku mengajar di tempatku sekarang kala itu, bertepatan juga dengan hari terakhir ujian semester genap dan menjelang hari ulang tahunku, siswa-siswaku kelas VII-C menghadiahiku suatu bingkisan. Kebetulan waktu itu aku wali kelas VII-C. Setelah aku buka di rumah, tak diduga isinya berupa gamis lengkap dengan kerudung. Mereka paham bahwa aku kesehariannya berpakaian gamis. Tidak menyangkanya lagi, kerudungnya ada dua stel. Satu kerudung tipis dan terawang, jadi mungkin kerudung lainnya bisa dipakai buat dobelan. Mereka paham betul kalo aku biasa mendobel kerudung kalo terawang. Sungguh aku senang menerimanya. Sebenarnya bukan karena hadiahnya, tetapi senang karena mereka bisa mengerti aku. Senang bila dimengerti orang lain sekalipun mereka siswa-siswaku.
Saat itu aku ingin menghubungi mereka yang telah menghadiahiku sebagai rasa terima kasihku pada mereka. Tetapi aku tidak mempunyai nomor mereka satu per satu. Jadi, aku meluapkan rasa bahagiaku hanya lewat status di facebook. Setidaknya aku ingin mengapresiasi inisiatif mereka yang benar-benar tak kusangka. Terima kasih.

Apapun pilihan hidup kita, pasti akan ada yang namanya pro dan kontra. Maka pilihlah pilihan yang baik. Karena walaupun ada kontra dan kendala yang menerjang, tetap ada juga yang namanya pro atau bahagia yang menghibur dan menyemangati kita untuk selalu tetap kuat. Percayalah!

Ini kenangan status di facebook saya kala itu:
Berpakaian syar'i itu adalah kewajiban seorang muslim, khususnya muslimah. Di lingkungan kerja juga tetap wajib berpakaian syar'i. Pedomanku berpakaian syar'i adalah surah An-Nur [24] : 31 dan Al-Ahzab [33] : 59. Sehingga ketika aku keluar rumah, aku memakai jilbab atau yg lebih dikenal akrab di masyarakat dengan gamis (baju terusan). Saat mengajar juga begitu. Aku sampai menjahitkan seragam sendiri ke saudara, supaya seragamku syar'i (terusan) dan tetap terkesan seragam mengajar (formal). Saat berkerudung, bila kainnya tipis dan terawang, aku merangkapnya dengan kain yang warnanya matching. Sehingga tak jarang beberapa siswa bertanya, "Bu, kerudungnya didobel ya? Kenapa, Bu?" Aku menjawab, "Iya, biar gak terawang. Kan syaratnya menutup aurat tidak boleh terawang. Kalau terawang kan auratnya masih tetap keliatan." Dan, dengan semua prinsipku itu, apa yang terjadi hari ini?
"For a gift I get today, I give thank's to my lovely students, VII-C."
Masya Allah, apa yang kalian berikan ke saya hari ini Luar Biasa, Rek! Saya tidak menyangka kalian akan berbuat seperti ini. Saya sangat berterima kasih.
Saya yakin uang yang kalian gunakan untuk membelinya tentu tak sedikit. Lebih dari itu, pemikiran kalian, ide kalian itu sungguh luar biasa.
Sungguh ini bukan sekedar hadiah bagi saya, tapi ini berkah. Apa yang kalian berikan bukan sekedar pakaian, tapi ketaqwaan. Pakaian yang ketika saya gunakan bernilai ibadah untuk menutup aurat dengan syar'i. Yang kalian lakukan bukan sekedar memberi hadiah, tapi juga ibadah.
Semoga semua ini menjadi berkah dan menjadi jalan kemudahan dari Allah untuk menjaga kalian selalu dalam keimanan dan ketaqwaan yang hakiki.
Apa yang tertuang pada kata-kata saya tidaklah seberapa dengan luapan berbagai perasaan dalam hati saya, bangga, terharu, dan semuanya.
Sekali lagi, terima kasih atas perhatian kalian terhadap saya. Saya sangat bahagia dan bangga mengenal kalian. Saya juga masih dan akan terus belajar untuk menjadi pribadi yang lebih baik.
Love u all coz Allah.
I'm proud of my lovely students, VII-C.
~Wenny Pangestuti~