April 25, 2014

Hidup Hanya Sekali, Hiduplah yang Berarti


Jatah hidup kita di dunia hanya sekali. Satu kali. Tak ada siaran ulang layaknya film di televisi. Jadi, hidup di dunia hanya satu kali. Titik.

Karena hidup di dunia hanya satu kali itulah harusnya membuat kita berpikir bahwa tak ada kata ‘main-main’. Dunia bukanlah permainan, yang bisa coba-coba; atau jika game over, bisa bermain lagi. Maka, selayaknyalah kita harus memanfaatkan kesempatan hidup di dunia dengan baik.

Kita mungkin pernah mengenang masa lalu dan membayangkan jika dulu begini atau begitu, tentu sekarang tak begini. Misalnya, ketika masih menjadi anak sekolahan, berharap ingin segera dewasa, ingin cepat merasakan bagaimana rasanya menjadi orang dewasa. Namun, ketika sudah dewasa, sudah merasakan pahit asamnya kehidupan orang dewasa, menjadi ingin kembali sebagai anak sekolahan. Tentu itu harapan yang mustahil dan hanya akan menyiksa batin.

Suatu hari saya pernah berjalan-jalan di pinggir jalan bersama seorang teman. Lalu kami melewati segerombolan siswa-siswi sekolah menengah atas yang berseragam pramuka. Mereka nampaknya akan mengikuti kegiatan perkemahan. Wajah mereka bersuka cita. Melihatnya, saya bisa merasakan perasaan mereka. Perasaan yang juga saya rasakan dulu mengikuti jambore tingkat kecematan ketika masih sekolah dasar.

Lalu teman saya berkata, “Enak ya jadi anak sekolahan.” Mendengarnya, saya bisa mengerti arah pembicaraannya. Saya juga terlitas pikiran seperti itu sebenarnya. Saya pun merespon, “Kenapa? Pengen jadi anak sekolahan lagi ya?” Ia menjawab, “Iya. Kok kayaknya jadi anak sekolahan enak, gak mikir susah kayak orang dewasa. Kelihatan gak ada beban.” Aku tersenyam-senyum. “Aku sebenarnya juga pernah berpikir seperti itu. Tapi setelah dipikir-pikir kembali, masa’ iya kita mau jadi anak sekolahan terus. Hidup terus berkembang, mengasah kita dengan tantangan-tantangan baru. Menguji kita untuk menaikkan predikat kita.”

Aku melanjutkan, “lebih baik kita memikirkan hal yang masih bisa kita rubah dan usahakan untuk hari ini dan masa depan, daripada berlama-lama hanyut mengenang masa lalu. Tidak akan mengubah keadaan. Hal yang tak mungkin terjadi kembali.” Temanku mengangguk-angguk, mengiyakan.

Dari sini bisa kita sadari bahwa hidup ini tidaklah ‘main-main’. Kalau kita serius dalam hidup ini dengan baik dan benar, insya Allah kita meraih hasil. Kalau kita mau fokus pada amanah-amanah yang telah ada pada pundak kita saat ini, tentu tak ada waktu dengan yang namanya melamunkan masa lalu. Sebaliknya, justru kita isi dengan memikirkan rencana-rencana usaha terbaik untuk menjalankan amanah. Di antara banyak ragam amanah, amanah wajib yang harus kita jalankan adalah datangnya dari Allah subhanallahu ta’ala, yakni menjalankan hidup sesuai syari’at-Nya secara komprehensif atau bahasa kerennya, secara kaffah. :) 

Mari hidup yang berarti!


~Wenny Pangestuti~

April 19, 2014

Tetangga Kecil


Sudah kedua kalinya, aku mempunyai tetangga kecil saat aku bertempat tinggal di kota perantauanku menuntut ilmu. Pertama, saat aku tinggal di kontrakan an-Nahdhah, aku mengenal dua kakak-beradik, David dan Octa. Kedua, saat sekarang ini aku tinggal di kontrakan Mumtaz, aku mengenal dua saudara sepupu, Roy dan Reza.

Senang bisa mengamati mereka diam-diam. Saat aku mengamati diam-diam David dan Octa, misalnya. Sebelumnya, kuperkenalkan dulu siapa David dan siapa Octa. David dan Octa, anak-anak dari sepasang suami-isteri yang masih muda. Mbak Yayuk, sapaan akrab ibu David dan Octa, berusia lebih muda dari-ku. David sebagai kakak, sudah bersekolah dasar sekitar kelas dua atau tiga. Sedangkan Octa sebagai adik, masih balita.

Dalam suatu momen, saya pernah menjumpai David yang dimintai ibunya untuk menemani Octa bermain. Saat itu Octa bermain sepeda roda tiga dan David dengan setia mendorong sepedanya dari belakang.

Momen lain, saat Octa menikmati es lilin di tangannya. David hanya menelan ludah melihatnya. Sedangkan Octa dengan polosnya tidak menyadari ‘mupeng’ (muka pengen) sang kakak. Saya senang melihat sosok David sebagai kakak yang baik bagi Octa, yang melindungi dan menjaga perasaan adiknya.

Lalu saat aku mengamati diam-diam Roy dan Reza. Roy dan Reza adalah dua saudara sepupu. Roy berusia lebih tua dari Reza. Roy bersekolah TK kelas nol besar. Sedangkan Reza masih balita.

Sapaan keduanya terhadap masing-masing adalah kakak dan adik. Sebuah sapaan yang mesra menurutku, yang jarang kujumpai di sekitar lingkunganku berada selama ini.

Pada momen tertentu, seringkali terlihat Roy dan Reza bertengkar, atau keduanya membandel. Kalau sudah membandel, Roy-lah yang paling menakutkan untuk didekati. Selain akan melakukan perlawanan fisik dengan tinju-tinju kecilnya, ia juga seringkali mengucapkan kata-kata yang kasar. Aku pun bertanya-tanya, “Darimana Roy bisa mengucapkan kata-kata sekasar itu?” Sebab kulihat mbak Dila, ibu Roy tak pernah mencontohkannya demikian. Begitupun bapak, kakek dan neneknya, tak ada yang mencontohkan kata-kata kasar seperti itu. Mungkinkah dari pergaulan dengan teman-temannya di sekolah, Roy meniru itu semua? Sedangkan Reza seringkali bersikap merengek manja pada ibunya, mbak Sri, bila keinginannya tidak dituruti, misalnya minta jajan ini dan itu. 

Roy dan Reza bertengkar biasanya karena dipicu ulah usil Roy terlebih dahulu. Misalnya, saya pernah menjumpai Roy memyembunyikan sandal Reza. Setelah ia menyembunyikannya, ia akan menggoda Reza, “Dek, sandalnya mana?” Reza pun merengek dibuatnya.

Atau saat Roy mungkin merasa sebal dengan Reza, ia akan memukul Reza. Setelah memukul Reza, Roy akan larit terbirit-birit, menjauh dari jangkauan ibunya dan ibu Reza yang mulai mengomel akibat ulahnya. Lagi-lagi, Reza pun hanya bisa merengek.

Tetapi, tidak jarang pula aku menjumpai Roy dan Reza dalam keadaan ‘mesra-mesranya’. Misalnya, saat mereka bermain bersama-sama. Permainan yang sering dimainkan oleh mereka, antara lain bermain mengantarkan jenazah, atau bermain sepeda.

Saat bermain mengantarkan jenazah, mereka akan mengucapkan berkali-kali kalimat syahadat. Lalu, mereka memperagakan shalat jenazah. Yang paling tahu tentang hal ini adalah Roy. Mungkin ia mendapatkan ilmunya dari sekolah, atau mengaji di mushala yayasan samping rumah kami. Saya pun berkomentar kepada teman-teman satu kontrakan, “Sepertinya mereka memahami kalimat syahadat cuma buat mengantar jenazah saja dech.” Sebab aku pernah mendengar mbak Sri mengingatkan Reza, "Jangan ngomong begitu. Ibu belum mati." Entahlah...

Dalam hal bersepeda, Roy jagonya. Sedangkan Reza masih hanya bisa menggunakan sepeda roda tiga. Belakangan hari, Roy dibelikan sepeda baru yang ukurannya lebih besar dari ukuran semula. Sepeda sebelumnya hendak di’waris’kan kepada Reza supaya Reza bisa belajar sepeda roda dua. Namun, sampai sekarang Reza belum bisa mengendarai sepeda roda dua, masih sampai tahap berani duduk di sadelnya. Melihat hal itu, Roy memotivasi Reza, “Ayo dek jalan.” Saat itu Reza ditemani sang nenek yang menuntunnya dari belakang. Melihat Reza yang tidak bersemangat karena baru bangun tidur, Roy berkata dengan perhatian, ”Adik lemes habis bangun tidur.”

            Sebenarnya selain Roy dan Reza, ada satu sosok bocah lagi di antara mereka. Alfan, cucu dari pemilik yayasan pendidikan islam di sebelah rumah kami. Alfan seusia dengan Roy. Mereka bersekolah di TK yang sama. Bisa dikatakan Roy dan Alfan ini bersahabat. Sama-sama suka bermain sepeda.

Melihat semuanya, baik David dan Octa, Roy dan Reza, juga Alfan, meninggalkan seulas senyum di bibirku. Senyum yang secara reflek mengembang begitu saja. Membayangkan kalau mereka adalah anak-anakku bagaimana jadinya. Anak-anak kecil yang selalu ada-ada saja tingkahnya.


~Wenny Pangestuti~

April 12, 2014

Peristiwa di Pagi Hari


Pagi-pagi...
ketika sinar mentari keluar dengan malu-malu
kubuka jendela
membiarkan hawa pagi merasuk ke dalam relung-relung rumah
sembari menyeruput secawan kopi
mendengarkan radio
yang berurutan memutar lantunan ayat suci al-Qur’an
lagu-lagu religi
memicu pikiran untuk menuangkan pemikiran melalui goresan pena

Inilah saat-saat manis yang sulit kulupakan
manis dan indah
kian manis dan indah
bila dilengkapi dengan kehadiran bapak di sampingku
menemani minum segelas kopi
ditemani sepotong dua potong kue

Waktu kian bergulir
aku pun kian dewasa
kian mendekati kehidupan baru
jika bukan dengan keluarga baru
maka yang pasti kehidupan setelah kematian

Masa-masa manis yang pernah terjadi dalam hidup kita
hanya akan menjadi kenangan-kenangan belaka
mendorong kita untuk mengukir kenangan-kenangan baru
untuk masa depan



~Wenny Pangestuti~
 

April 08, 2014

My Bicycle


Suatu hari, di hari Selasa aku membawa sepedaku ke bengkel. Tadinya aku merencanakan servis sepeda di hari Kamis sembari pergi silahukhuwah ke Ulfah, kenalanku. Namun, kurombak rencanaku, menyervis sepeda hari Selasa sembari silahukuwah juga ke Ulfah. Ternyata rencana silahukhuwahku tidak terlaksana karena sepedaku tak bisa kutinggal selama di bengkel. Aku meminta pak Satriyo, bapak bengkel yang kumaksud untuk menyervis sebaik-baiknya sepedaku, mulai dari mengganti ban belakang yang terlihat akan robek; memperbaiki rem belakang dan depan; dan melepas tempat kunci sepeda yang sudak tak berfungsi. Alhamdulillah, akhirnya sepedaku telah ‘sehat’ kembali; nyaman untuk dinaiki; dan siap dibawa kemana saja, menemani hari-hariku ke kampus, sharing Islam, ngelesi dan lain-lain, meskipun semua itu harus kubayar dengan biaya yang tidak murah.



Mungkin beberapa orang akan mengatakan bahwa ‘aku bodoh’ atau apalah ketika mereka tahu berapa biaya servis sepedaku. Tapi aku tidak peduli. Biarlah orang mengatakan bahwa ‘aku bodoh’ atau apalah, yang terpenting adalah sepedaku. Karena sepedaku bisa ‘sehat’ itu cukup berarti bagiku. Tanpa sepeda, aku akan sedikit kesulitan pergi kemana-mana. Sepedalah yang menemaniku pergi kemana-mana, tempat yang kuinginkan di sekitar area kampus. Sepeda cukup penting dan menjadi satu-satunya alat transportasiku. Jika aku tetap membiarkannya ‘sakit’, sepedaku akan sering tak kufungsikan; hanya terpajang di kontrakan saja. Atau jika aku tetap memaksakan diri memakainya, aku merasa seperti menyakiti sepedaku. Ban yang tetap kubiarkan kempos akan sedikit ‘kesakitan’ menghantam batu-batu atau kerikil jalanan yang kadangkala runcing; akan sedikit melelahkan pula bagiku dalam mengayuhnya. Lebih penting lagi, sejarah sepedaku mulai dari awal kali membeli hingga saat ini cukup berkesan bagiku.



Masih kukenang bagaimana bapak menemaniku ke Pasar Tanjung Jember sore hari, membeli sepeda tersebut. Saat itu aku memasuki semester dua kuliah. Bapak merelakan diri pergi dari rumah ke Jember hanya demi membelikan sepeda untukku. Karena bapak dan ibu tahu bahwa tempat kontrakanku saat itu dengan kampusku lumayan jauh sehingga aku membutuhkan alat transportasi untuk pergi kuliah. Aku menyesal sampai saat ini karena dulu membiarkan kami membeli sepeda di sore hari.



Semua karena keegoisan dan ketidakdisiplinanku. Tadinya, bapak mengajakku membeli sepeda di pagi hari atau siang hari karena toko-toko banyak yang buka sehingga pilihan sepeda yang akan dibeli lebih beragam. Tetapi saai itu aku sibuk dan terburu-buru harus menyelesaikan tugas salah satu matakuliah. Deadline pengumpulannya keesok harinya, tepatnya pagi hari pukul 05.10 WIB waktu kuliah dimulai. Sebenarnya tugas tersebut sudah diberikan dosenku seminggu sebelumnya. Namun, aku menunda-nunda untuk mengerjakannya segera. Aku menyesal dan sedih jika mengenang itu kembali.



Akhirnya sore itu, kami membeli sepeda tersebut di satu-satunya toko sepeda yang masih buka. Ketika hendak menuju ke kontrakanku, hujan turun. Terpaksa aku dan bapak berteduh di emperan toko yang sudah tutup. Hujan cukup lama tak reda-reda. Sore pun berganti menjelang waktu Maghrib. Aku sedikit membawa rasa kesal. Karena bayanganku meleset. Aku pikir sore itu setelah membeli sepeda, aku bisa langsung kembali ke kontrakan dan segera melanjutkan tugasku yang belum selesai, tetapi justru terjebak hujan. Aku egois sekali. Sore itu aku benar-benar memasang wajah cemberut di hadapan bapakku, hanya karena memikirkan urusanku sendiri. Kembali aku sangat sedih jika mengenangnya.



Setelah kami menunaikan shalat Maghrib di masjid terdekat dan hujan telah reda, kami akhirnya melaju ke kontrakanku dengan menaiki sepeda yang baru kami beli itu. Kayuhan bapak sudah tak selincah dulu ketika memboncengku. Dulu saat masih SMP, bapak sering mengantarku sekolah dengan sepeda inventaris kantor. Sepedanya model lama dan bisa dikatakan sudah tidak bagus lagi. Bapak sangat lincah memboncengku saat itu. Tetapi sekarang berat badanku telah bertambah seiring aku beranjak dewasa. Tentu bapak mungkin keletihan memboncengku dari Pasar Tanjung menyusuri Jalan Gajah Mada, Jalan Bengawan Solo yang naik-turun dan berputar-putar, Jalan jawa hingga Jalan Karimata. Apalagi ketika menyusuri Jalan Bengawan Solo, besi penyangga sadel sepeda yang diduduki bapakku merosot karena kurang rapat bautnya. Bapak sempat panik dan aku juga khawatir. Akhirnya, setelah melewati tanjakkan dengan menuntun sepeda, tidak dinaiki, kami menjumpai bengkel sepeda. Lalu kami meminta bapak bengkel memperbaiki posisi besi penyangga sadelnya agar lebih kencang bautnya. Kembali, aku pilu mengenangnya. Bapak...



Sesampainya di kontrakan, hari telah gelap, menjelang Isya’ dan aku masih kepikiran tugas yang belum selesai dan harus dikumpulkan esok pagi-pagi sekali, aku harus membiarkan bapak segera pulang ke rumah tanpa kupersilakan sejenak singgah di kontarkan. Aku sedih melepas kepergian bapak malam itu. Pulang sendiri, naik lin D, yang semula bapak sempat bertanya harus naik lin apa menuju Terminal Tawang Alun dari Jalan Karimata. Aku tidak tahu apakah malam itu bapak makan malam dulu di warung atau tidak sebelum pulang. Kembali, aku sangat sedih bila mengenangnya...

  
Itulah mengapa aku akan sangat sedih bila membiarkan sepedaku rusak dan tak kufungsikan. Karena cerita yang membersamai adanya sepeda itu menjadi milikku terlalu mahal untuk aku korbankan begitu saja dengan menelantarkan sepeda itu. Sampai sekarang aku tetap merasa bersalah kepada bapakku. Aku tidak bisa melupakan begitu saja apa yang tejadi saat itu. Bapak... . Orang tua memang akan berusaha memberikan yang terbaik untuk anaknya sebagai bukti rasa sayangnya.


Sepedaku dihias saat mengikuti Kampanye Politik Islam 2014


~Wenny Pangestuti~

Di Sekitar Kontrakanku


 Suatu hari di kala siang aku pernah menuliskan ini.
Tebak apa yang baru saja kulakukan? Sebelum kujawab, kujelaskan bahwa hari ini cuaca amat cerah. Mendung tak lagi menyapa seperti hari-hari sebelumnya. Matahari bersinar tanpa malu-malu. Semilir angin terasa menyejukkan. Sawah tampak indah dengan dominasi warna hijau menghampar dan dilatari gunung yang tampak biru keabu-abuan, dihiasi awan putih di atasnya. Sesekali tampak beberapa orang melintas jalan setapak di sawah. Meskipun terik matahari menyapa, namun berjalan di sana nampaknya mengasyikkan. Karena panasnya matahari diimbangi dengan tamparan lembut angin sepoi-sepoi. Suara air irigasi mengalun merdu. Simfoni alam. Itulah kondisi di sekitar kontarakanku. Yang baru saja kulakukan tadi adalah melihat ke luar melalui jendela kamarku, yang langsung menghadap ke pemandangan sawah dilatarbelakangi gunung.

Sudah lama tak kurasakan alam seperti ini. Yang terlintas dalam ingatanku ketika menikmati pemandangan alam ini adalah masa kecilku di Tanggul. Aku dan teman-teman sesekali bermain di sawah. Ketika kecil, pengalaman blusukan ke semak-semak atau sawah memang sangat berharga. Sebab pengalaman yang belum tentu dapat terulang kembali ketika aku beranjak dewasa. Aku merindukan kenangan saat masih sekolah dasar.


~Wenny Pangestuti~

April 01, 2014

Demokrasi MahAL, Mampukah Melahirkan Pemimpin IdeAL ??


Pemilu 2014 menjelang. Masyarakat Indonesia pun dibuat heboh. Mereka akan terlibat dalam dua kali pelaksanaannya, yaitu Pemilu Legislatif pada tanggal 9 April 2014 -memilih para anggota dewan legislatif- dan Pemilu Presiden pada tanggal 9 Juli 2014 -memilih Presiden dan Wakil Presiden-. Berbagai aktivitas mewarnai, mulai aktivitas kampanye hingga komentar-mengomentari para profil caleg, capres atau parpol oleh kalangan tertentu.

Aktivitas kampanye menjadi paling kental kaitannya dengan pemilu. Sebab, inilah sarana bagi para caleg, capres atau parpol mempromosikan diri di hadapan rakyat sebagai pemilih.

Berbicara tentang kampanye, tentu para caleg, capres atau parpol tidak cuma-cuma melakukannya, perlu sejumlah dana yang tidak terbilang sedikit bahkan bisa sangat besar sekali. Lalu seberapa besar dana yang dibutuhkan untuk kampanye? Menurut informasi dari tribunnews.com (21/03/2014), Divisi Pengawasan dan Hukum KPU Kabupaten Bangka, Firman TB Pardede memperkirakan biaya minimal pengeluaran dana kampanye terbuka yang harus dikeluarkan parpol maupun calon DPD Rp 60 juta untuk sekali kampanye. Menurutnya, biaya tersebut meliputi biaya mendatangkan massa, biaya makan, biaya mendatangkan artis lokal, sewa sound system, tenda, kursi hingga lapangan yang digunakan.

Sedangkan menurut penelitian dari Lembaga Policy Research Network (PRN) bersama Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LPEM FE UI) (jabarsyariah.blogspot.com/2014/03), harga satu kursi anggota  Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) antara  Rp 1,18 miliar hingga Rp 4,6 miliar. Biaya tersebut dialokasikan untuk percetakan, tekstil, transportasi dan komunikasi, jasa komunikasi media, serta pengerahan massa. Harga sebesar itu dianggap wajar, karena akan tertutupi dari pemasukan bila sudah menjadi anggota DPR.

Sungguh ironi! Modal besar benar-benar menjadi salah satu syarat menjadi anggota legislatif untuk menduduki tampuk kekuasaan. Semuanya tak lebih terlihat seperti jual beli kekuasaan. Betul begitu? 

Lalu dengan modal yang sangat besar, darimana sumber pendanaan tersebut berasal? Cukupkah bila itu berasal dari kantong pribadi? Bisa jadi. Seperti yang pernah dialami Ahmad Rifky (detik.com, 09/10/2008), satu hektar tanah miliknya di Tambelang, Kabupaten Bekasi dijual Rp 80 juta untuk mengongkosi biaya menjadi caleg di DPRD Kabupaten Bekasi, saat Pemilu 2004. Bukan hanya tanah yang terpaksa ia jual, uang puluhan juta yang ada di tabungannya pun turut ludes. Belum lagi uang sumbangan dari keluarga dan para kolega, semuanya habis terpakai untuk kepentingan kampanye dirinya sebagai caleg. Sayangnya, meski sudah banyak menghabiskan uang dan sibuk ke sana-sini, Ahmad Rifki ternyata tidak lolos juga sebagai anggota dewan di Kabupaten Bekasi. Wajar bila Rifki sempat pusing tujuh keliling. Bukan hanya uang yang terkuras, tenaganya juga ikut terkuras saat itu. Beruntung, kegagalan yang dialami Rifky tidak sampai menghantarkannya pada rumah sakit jiwa alias menjadi gila. Karena bukan rahasia umum, bila banyak caleg yang gagal dalam pemilu mengalami stres yang berujung pada gila. Seperti yang dilansir oleh Kasubag TU Panti Bina Insan Kedoya, Jakarta Barat, Ruminto (indopos.co.id, 03/2014), pasca Pemilu 2009 lalu ada sekitar 30 PMKS (Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial) yang ternyata para caleg gagal. Itu cerita dari perorangan yang mencalonkan diri dalam pemilu legislatif. Lalu bagaimana dengan partai politik itu sendiri? 

Menurut informasi dari salah satu parpol peserta pemilu 2014, sebagian besar dananya berasal dari caleg. Sementara itu, sisanya berasal dari perusahaan, perorangan, dan simpatisan (kompas.com, 02/03/2014). Sedangkan parpol lainnya yang juga peserta pemilu 2014, sumber dana partainya kebanyakan dari para pengusaha (sindonews.com, 28/02/2014). Tentu kita perlu berpikir kritis bahwa sumbangan dana tersebut yang tidak dipungkiri ada dari para pengusaha, berkonsep no free lunch. Semuanya perlu ada timbal balik jasa ketika mereka berhasil terpilih. Ini yang menjadi soal. Sebab dengan demikian keindependenan dalam kepemimpinan akan tergoyahkan dengan beragam kepentingan pihak-pihak yang menginvestasikan dananya selama kampanye. Lalu masihkan ada harapan untuk muncul sosok pemimpin ideal dengan demokrasi yang mahal?