Pemilu
2014 menjelang. Masyarakat Indonesia pun dibuat heboh. Mereka akan terlibat
dalam dua kali pelaksanaannya, yaitu Pemilu Legislatif pada tanggal 9 April
2014 -memilih para anggota dewan
legislatif- dan Pemilu Presiden pada tanggal 9 Juli 2014 -memilih Presiden dan Wakil Presiden-.
Berbagai aktivitas mewarnai, mulai aktivitas kampanye hingga komentar-mengomentari
para profil caleg, capres atau parpol oleh kalangan tertentu.
Aktivitas
kampanye menjadi paling kental kaitannya dengan pemilu. Sebab, inilah sarana
bagi para caleg, capres atau parpol mempromosikan diri di hadapan rakyat sebagai
pemilih.
Berbicara
tentang kampanye, tentu para caleg, capres atau parpol tidak cuma-cuma
melakukannya, perlu sejumlah dana yang tidak terbilang sedikit bahkan bisa
sangat besar sekali. Lalu seberapa besar dana yang dibutuhkan untuk kampanye?
Menurut informasi dari tribunnews.com (21/03/2014), Divisi Pengawasan dan Hukum
KPU Kabupaten Bangka, Firman TB Pardede memperkirakan biaya minimal pengeluaran
dana kampanye terbuka yang harus dikeluarkan parpol maupun calon DPD Rp 60 juta
untuk sekali kampanye. Menurutnya, biaya tersebut meliputi biaya mendatangkan
massa, biaya makan, biaya mendatangkan artis lokal, sewa sound system, tenda, kursi hingga lapangan yang digunakan.
Sedangkan
menurut penelitian dari Lembaga Policy Research Network (PRN) bersama Lembaga
Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LPEM FE UI) (jabarsyariah.blogspot.com/2014/03), harga satu kursi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) antara Rp 1,18 miliar hingga Rp 4,6 miliar. Biaya tersebut dialokasikan
untuk percetakan, tekstil, transportasi dan komunikasi, jasa komunikasi media,
serta pengerahan massa. Harga sebesar itu dianggap wajar, karena akan tertutupi
dari pemasukan bila sudah menjadi anggota DPR.
Sungguh ironi!
Modal besar benar-benar menjadi salah satu syarat menjadi anggota legislatif untuk
menduduki tampuk kekuasaan. Semuanya tak lebih terlihat seperti jual beli
kekuasaan. Betul begitu?
Lalu dengan
modal yang sangat besar, darimana sumber pendanaan tersebut berasal? Cukupkah
bila itu berasal dari kantong pribadi? Bisa jadi. Seperti yang pernah dialami Ahmad
Rifky (detik.com, 09/10/2008), satu
hektar tanah miliknya di Tambelang, Kabupaten Bekasi dijual Rp 80 juta untuk
mengongkosi biaya menjadi caleg di DPRD Kabupaten Bekasi, saat Pemilu 2004. Bukan
hanya tanah yang terpaksa ia jual, uang puluhan juta yang ada di tabungannya
pun turut ludes. Belum lagi uang sumbangan dari keluarga dan para kolega, semuanya
habis terpakai untuk kepentingan kampanye dirinya sebagai caleg. Sayangnya,
meski sudah banyak menghabiskan uang dan sibuk ke sana-sini, Ahmad Rifki
ternyata tidak lolos juga sebagai anggota dewan di Kabupaten Bekasi. Wajar bila
Rifki sempat pusing tujuh keliling. Bukan hanya uang yang terkuras, tenaganya
juga ikut terkuras saat itu. Beruntung, kegagalan yang dialami Rifky tidak
sampai menghantarkannya pada rumah sakit jiwa alias menjadi gila. Karena bukan
rahasia umum, bila banyak caleg yang gagal dalam pemilu mengalami stres yang
berujung pada gila. Seperti yang dilansir oleh Kasubag TU Panti Bina Insan
Kedoya, Jakarta Barat, Ruminto (indopos.co.id, 03/2014), pasca Pemilu 2009 lalu
ada sekitar 30 PMKS (Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial) yang ternyata
para caleg gagal. Itu cerita dari perorangan yang mencalonkan diri dalam pemilu
legislatif. Lalu bagaimana dengan partai politik itu sendiri?
Menurut
informasi dari salah satu parpol peserta pemilu 2014, sebagian besar dananya berasal
dari caleg. Sementara itu, sisanya berasal dari perusahaan, perorangan,
dan simpatisan (kompas.com, 02/03/2014). Sedangkan parpol lainnya yang juga
peserta pemilu 2014, sumber dana partainya kebanyakan dari para pengusaha
(sindonews.com, 28/02/2014). Tentu kita perlu berpikir kritis bahwa sumbangan
dana tersebut yang tidak dipungkiri ada dari para pengusaha, berkonsep no
free lunch. Semuanya perlu ada timbal balik jasa ketika mereka berhasil
terpilih. Ini yang menjadi soal. Sebab dengan demikian keindependenan dalam kepemimpinan
akan tergoyahkan dengan beragam kepentingan pihak-pihak yang menginvestasikan
dananya selama kampanye. Lalu masihkan ada harapan untuk muncul sosok pemimpin
ideal dengan demokrasi yang mahal?
No comments :
Post a Comment