August 23, 2016

Setia Membersamai


Ada beberapa profil pasangan suami istri (pasutri) yang kutemui di kehidupan nyata yang sudah cukup lama membina rumah tangga. Namun, ada satu hal yang kurang. Mereka belum dikaruniai buah hati. Padahal sebenarnya mereka juga tidak menunda-nunda program punya anak. Mereka juga berharap diberi buah hati.

Awalnya, melihat fakta ini aku kasihan. Kelihatannya sepele. Tetapi ketika aku mencoba berempati, menempatkan diri bila ada dalam posisi demikian, sungguh hal itu tak bisa dianggap mudah. Tak bisa dipungkiri rasa gelisah ada mungkin, walaupun bentuk perwujudan setiap orang berbeda. Ada yang menyikapi dengan sikap yang kelihatan kecewa. Ada yang tetap bersikap tenang.

Salutnya aku adalah ketika melihat pasutri yang tetap harmonis dan setia membersamai menghadapi ujian tersebut. Mereka tetap memilih tetap bersatu, tetap bersama, dan saling setia ketika pernikahan mereka dihadapkan pada masalah belum dikaruniai buah hati. Mereka tetap memilih bersabar menghadapi komentar-komentar miring dari masyarakat kok belum hamil-hamil, kok belum punya anak, apa mandul, kasihan ya.

Ada kisah nyata, seorang dosen –perempuan- kenalan kakak tingkat kuliah saya, yang pernah telah bertahun-tahun menikah belum dikaruniai anak. Namun, akhirnya usaha dan penantian lama itu berbuah hasil, beliau dan suaminya dikaruniai anak laki-laki. Saat saya diajak bersila-ukhuwah ke rumahnya, kelihatannya ibu tersebut sudah tidaklah muda. Anaknya masuk usia balita. Aku salut dengan kesetiaan masing-masing keduanya, ya ibunya, ya suaminya. Saya lihat suaminya masih kelihatan gagah. Bisa saja lho beliau –suami- kalo mau nikah lagi demi mendapatkan buah hati. Tetapi, beliau memilih tetap setia, tetap saling membersamai, mendukung, dan menguatkan dalam menghadapi ujian tersebut bersama. Hingga akhirnya, kesabaran mereka berbuah hasil dengan hadirnya putra laki-laki yang tampan.

Ada juga, pasutri yang masih saudara dekat dengan saya. Mereka sudah menikah saat saya mungkin usia sekolah dasar. Namun, hingga sekarang belum dikaruniai buah hati. Alhamdulillah sampai sekarang pernikahan mereka masih tetap utuh. Mereka tetap memilih bersama, walaupun pernah saya dengar kondisi keluarga mereka dilanda masalah lain, lebih tepatnya istrinya. Alhamdulillah, suaminya tetap memilih setia membersamai dan mendampingi istrinya menyelesaikan masalah yang dihadapi. Padahal sang suami masih kelihatan ganteng dan gagah, bisa saja lho dia kalo mau cari wanita lain demi memperoleh keturunan. Tetapi ia memilih tetap setia.

Sungguh, pasutri yang dihadapkan ujian belum diberi buah hati ketika pernikahan mereka telah berusia lama, bahkan mereka sudah berusaha banyak hal untuk meraihnya, tetapi belum membuahkan hasil dan mereka tetap memilih setia membersamai, saya sungguh salut. Karena ujian seperti itu bukan hal yang mudah dan setiap orang bisa melaluinya dengan sabar dan tetap positive thinking. Apalagi bila ujian tersebut ditambahi dengan komentar-komentar kurang mengenakan dari mulut orang lain, baik secara langsung maupun tidak langsung, baik yang maksudnya tidak menyinggung hingga yang beneran menyindir. Sungguh, saya bisa merasakan bahwa hal semacam itu bukanlah hal yang mudah dilalui oleh setiap orang meskipun saya sekarang ini masih single. Bisa ngerasain.

Tapi, saya mengingat-ngingat kembali teladan yang pernah ada dalam sejarah Islam mengenai masalah ini. Bukankah masalah seperti ini juga pernah menerpa sosok Nabi Ibrahim alaihissalam? Bukankah juga masalah ini pernah dihadapi oleh Nabi Zakariyyaa alaihissalam? Benar begitu? Dan, apa yang terjadi? Nabi Ibrahim dan ibu Sarah tetap saling setia membersamai dalam kesabaran dan positive thinking terhadap Allah. Usia kian menua. Secara logika sepertinya sudah tidak mungkin lagi punya anak. Tapi, Maha Besar Allah, ketika Allah telah bekehendak kun faya kun, segalanya bisa terjadi walaupun logika manusia sulit menalarnya. Nabi Ibrahim dan ibu Sarah akhirnya dikarunia anak walaupun usia mereka sudah tua.


69. Dan sesungguhnya utusan-utusan Kami (malaikat-malaikat) telah datang kepada lbrahim dengan membawa kabar gembira, mereka mengucapkan: "Selamat." Ibrahim menjawab: "Selamatlah," maka tidak lama kemudian Ibrahim menyuguhkan daging anak sapi yang dipanggang.

70. Maka tatkala dilihatnya tangan mereka tidak menjamahnya, Ibrahim memandang aneh perbuatan mereka, dan merasa takut kepada mereka. Malaikat itu berkata: "Jangan kamu takut, sesungguhnya kami adalah (malaikat-ma]aikat) yang diutus kepada kaum Luth."

71. Dan isterinya berdiri (dibalik tirai) lalu dia tersenyum, maka Kami sampaikan kepadanya berita gembira tentang (kelahiran) Ishak dan dari Ishak (akan lahir puteranya) Ya'qub.

72. Isterinya berkata: "Sungguh mengherankan, apakah aku akan melahirkan anak padahal aku adalah seorang perempuan tua, dan ini suamikupun dalam keadaan yang sudah tua pula? Sesungguhnya ini benar-benar suatu yang sangat aneh."

73. Para malaikat itu berkata: "Apakah kamu merasa heran tentang ketetapan Allah? (Itu adalah) rahmat Allah dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, hai ahlulbait! Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah."

(Terjemahan Qur’an Surah Huud [11]:69-73)
 

Begitu pula halnya kisah yang dihadapi Nabi Zakariyyaa. Sama.


2. (Yang dibacakan ini adalah) penjelasan tentang rahmat Tuhan kamu kepada hamba-Nya, Zakariyyaa,

3. yaitu tatkala ia berdoa kepada Tuhannya dengan suara yang lembut.

4. Ia berkata "Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Engkau, ya Tuhanku.

5. Dan sesungguhnya aku khawatir terhadap mawaliku sepeninggalku, sedang isteriku adalah seorang yang mandul, maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putera,

6. yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebahagian keluarga Ya'qub; dan jadikanlah ia, ya Tuhanku, seorang yang diridhai."

7. Hai Zakariyyaa, sesungguhnya Kami memberi kabar gembira kepadamu akan (beroleh) seorang anak yang namanya Yahya, yang sebelumnya Kami belum pernah menciptakan orang yang serupa dengan dia.

8. Zakariyyaa berkata: "Ya Tuhanku, bagaimana akan ada anak bagiku, padahal isteriku adalah seorang yang mandul dan aku (sendiri) sesungguhnya sudah mencapai umur yang sangat tua."

9. Tuhan berfirman: "Demikianlah." Tuhan berfirman: "Hal itu adalah mudah bagi-Ku; dan sesunguhnya telah Aku ciptakan kamu sebelum itu, padahal kamu (di waktu itu) belum ada sama sekali."

(Terjemahan Qur’an Surah Maryam [19]: 2-9)


Jadi, sebesar apapun ujian yang menerpa, jika manusia tetap memilih berusaha menghadapi masalah dengan sabar dan positive thinking kepada Allah, insyaAllah segalanya dapat dilalui dengan mudah, ringan, tanpa beban. Pertolongan Allah selalu ada bagi hamba-hamba-Nya. 

Terakhir dari tulisan saya, semoga kita dikarunia pasangan (suami/istri) yang berjiwa besar, setia membersamai dalam kesabaran dan ketaqwaan. Dan semoga kita bisa menjadi sosok yang juga berjiwa besar, setia membersamai dalam kesabaran dan ketaqwaan bagi pasangan kita masing-masing. Aamiin.


~Wenny Pangestuti~


Sumber Foto : google.com

August 21, 2016

Mau? Bisa!


Alhamdulillah. Bila ada kemauan, insyaAllah mampu. Ketakutan dan keluhan tanpa berusaha hanya akan menciptakan kelemahan berjuang, memandang masalah sebagai beban, bukan tantangan yang harus diselesaikan.

Hari ini aku mencoba membuktikannya pada diriku sendiri. Sebelumnya, aku merasa beban saja diminta mengajar di madrasah aliyah. Pasalnya, aku udah terbiasa mengajar di madrasah tsanawiyah yang siswa-siswinya masih cenderung unyu-unyu dan menggemaskan. Sedangkan madrasah aliyah yang setingkat dengan sma, aku akan menghadapi anak-anak yang lebih dewasa, sudah tidak bisa disebut anak-anak lagi. Mampukah aku, batinku bertanya.

Hari-hari setiap masuk kantor aliyah sering ku-isi dengan keluhan-keluhan kepada pak Fadli selaku wakil kepala bagian kurikulum. Kenapa saya diberi tugas ini. Saya gak siap. Saya harus ngomong apa. Begitulah kata-kata yang sering keluar dari lisan saya.

Dipikir-pikir kok kayaknya gak baik ya saya bersikap seperti itu. Gak baik buat pak Fadli yang masa' harus sering menerima keluhan-keluhan saya yang tak pernah usai. Melihat beliau juga banyak urusan, banyak hal yang harus dipikrirkan dan ditangani. Setidaknya kalo mau mengeluh, mbok ya dengan mencari atau menawarkan solusi. Selain itu, gak baik buat saya juga. Apa untungnya berkeluh terus tanpa solusi. Yang ada, masalah gak tersolusi, malah semakin membebani. Mengajar pun menjadi tidak bergairah. Padahal anak-anak menanti, merindukan sosok-sosok guru yang inspiratif. Kalo guru-nya loyo tak kreatif, apa jadinya nasib pendidikan negeri ini. Betul gak?

Mau gak mau, bisa gak bisa, saya harus mencoba melakukan yang terbaik yang saya bisa, seperti kutipan khusus saya :

"I just wanna do the best I can for this life."

~Wenny Pangestuti~




Saya coba mempelajari materinya, merangkum, mengangankan apa dan bagaimana cara saya menyampaikan. Sip. Bismillah. InsyaAllah saya bisa.

Pada hari-H, alhamdulillah ketakutan yang pernah saya rasakan terpental begitu saya. Saya bisa. Semua terasa lancar, mudah, bahkan tak terasa sudah terlalui begitu saja. Tuh kan ternyata saya bisa. Allah tak membebani hambanya di luar batas kemampuannya. Benar. Persepsi kita lah yang sering menilai kita tak bisa, lemah. Namun, sebenarnya bila ada kemauan, niat, insyaAllah mampu.

Coba saja!


Saturday, August 20, 2016
6:11 PM


~Wenny Pangestuti~


Sumber Foto : wix.com

August 20, 2016

Jangan Sampai


Segala puji bagi Allah. Dengan adanya smartphone setidaknya komunikasi dan sila-ukhuwah dengan teman-teman bisa lebih lancar dan baik. Senang saja bisa bertemu dengan orang-orang yang cukup lama tak kutemui. Ada kerinduan di sana.

Hanya saja, aku harus berhati-hati. Agar keberadaan smartphone tak melalaikan dari banyak hal yang lebih urgen, salah satunya mengingat Allah. Jangan sampai gara-gara smartphone mengabaikan ibadah kepada Allah. Na’udzubillahi min dzalik!

Aku takut apa yang manusia pandang baik ternyata tidak baik di hadapan Allah. Aku takut kalau aku terlena pada sesuatu yang aku anggap baik, tetapi tidak baik di hadapan Allah. Jangan sampai kita mati dalam kesia-sia-an atau banyak mengantongi amal yang sia-sia. Na’udzubillahi min dzalik!

Ingat mati. Hidup di dunia ini hanyalah sementara. Kita tidak tahu kapan kita mati, kapan ajal menjemput. Bisa jadi kan sebentar lagi. Dan kita tidak tahu. Bagaimana bila tahu-tahu kita udah mati dan ternyata itu saat melakukan amal yang sia-sia. Na’udzubillahi min dzalik!

Hidup ini adalah amanah. Bagaimana kita menjaga dan menjalankannya sebaik-baiknya. Jangan sampai sesal yang begitu sesal datang menghampiri ketika kita sudah tak mampu lagi untuk merubah atau mengusahakannya.

Semoga kita dikaruniai usia yang berkah.

Semoga kita dimatikan dalam keadaan khusnul khotimah. Aamiin.


~Wenny Pangestuti~


Sumber Foto : Google

August 11, 2016

Deep Inside of My Heart


Jika ditanya apakah aku bahagia dengan profesiku sekarang? Ya, aku jawab bahagia. Aku bersyukur punya pekerjaan, punya penghasilan sendiri. Namun, tak dipungkiri bahwa adakalanya aku mengeluh. Keletihan bekerja membuatku berpikir, aku masih single seperti ini merasa payah menjadi wanita bekerja di luar rumah, lalu bagaimana jika kelak aku sudah berumah tangga?

Jujur-jujur saja, dari dulu –sma- aku pengennya jadi ibu rumah tangga tulen alias ibu rumah tangga saja tanpa bekerja di luar rumah. Aku tahu bahwa pilihan ini mungkin akan berat mengingat aku kuliah, lalu mau diapakan pendidikan tingginya kalo hanya jadi ibu rumahan saja? Sebenarnya tidak ada rugi-ruginya, toh ilmu dan pengalaman yang kudapatkan selama jadi anak kuliah tetap akan ada manfaatnya nanti saat aku menjadi ibu. Contoh, aku bisa jadi guru les buat anakku sendiri. Ya kan?

Sebenarnya jadi ibu rumahan saja gak rendah-rendah amat. Justru aku senang-senang aja punya tugas mencuci, membersihkan rumah, memasak, mengurus anak dan suami, mendidik anak, dan tugas rumahan lain. Bagiku, tugas ibu yang kelihatannya remeh temeh, berat juga lho alias gak mudah. Jadi, aku bayangin apa jadinya bila tugas tersebut dibagi waktu, tenaga, dan pikiran dengan tugas bekerja di luar rumah. Jujur, aku tak begitu multi-tasking,  walaupun ada banyak ibu di luar sana yang mampu membuktikan bahwa mereka bisa melakukannya dengan baik. Tapi, ini pilihanku di balik pertimbangan-pertimbangan pribadiku.

Sebenarnya maksudku tidak membela ibu rumahan di atas ibu berkarir di luar rumah. Karena menurutku, semuanya itu tergantung pilihan masing-masing individu dengan pertimbangannya masing-masing. Jadi, tidak ada maksud men-judge siapapun di sini. Yang berhak menentukan kita sendiri mana pilihan yang terbaik untuk diri kita sendiri. Dan aku cenderung memilih ingin menjadi ibu rumahan.

Lalu, bagaimana dengan profesi guru sekarang ini? Jujur, aku senang sekali mengajar. Senang. Apalagi bertemu dan mengenal anak-anak. Aku senang. Satu-satunya alasan terberat untuk melepas pekerjaan ini nantinya adalah anak-anak. Ya, anak-anak. Aku senang mengenal mereka, berusaha memahami mereka, mengamati keunikan mereka, bercanda dan dicandai dengan mereka. Senang.

Aku juga tertantang mengenalkan, mengajarkan, dan memahamkan anak-anak pada matematika dengan mudah dan menyenangkan. Karena selama ini, mayoritas anak jika ditanya suka tidaknya, sulit tidaknya dengan pelajaran matematika, mereka menjawab tidak suka dan sulit. Ini terkesan sebagai PR buatku sebagai guru matematika.

Banyak hal yang kutemui. Salah satunya, ada sebenarnya anak itu punya kecerdasan matematika, tetapi terjebak dalam suasana belajar mengajar yang tidak nyaman. Ada yang memang kecerdasan matematikanya tidak begitu menonjol, tapi berusaha untuk menyukai. Ada juga yang bikin terheran-heran sekaligus senang pada mereka yang suka dan antusias jika pelajaran matematika. Yang semua itu membutuhkan penyikapan, penanganan, dan pendekatan yang berbeda. Itulah mengapa, kadang aku juga terbesit sesuatu yang sebenarnya itu juga menjadi impianku, tetapi tidak masuk prioritas utama. Bahwa aku masih punya keinginan dan harapan untuk kuliah lagi, untuk belajar lagi di universitas impianku, yaitu Universitas Gadja Mada (UGM) Yogyakarta dengan jurusan Magister Psikologi Pendidikan. Aku ingin lebih memahami korelasi ilmu psikologi dengan pendidikan, khususnya dalam mendukung pembelajaran matematika. Aku benar-benar ingin punya kesempatan tinggal di Yogyakarta.

Entahlah!

Kata ibuku, jangan terlalu mikirin ke depannya bagaimana. Sekarang ya sekarang, dijalani saja dulu. Nanti ya nanti. Benar juga sih. Mungkin aku terlalu gelisah dengan masa depan dan kurang menikamati esensi masa sekarang. Tetapi, inilah ungkapan dari lubuk hatiku yang paling dalam.


~Wenny Pangestuti~


Sumber foto : wp.com