November 30, 2015

Surat untuk Presiden dari Faza


Banyuwangi, 7 November 2015

Kepada : Bapak Presiden H. Joko Widodo
di Istana Negara


Assalamu’alaikum warrahmatullahi wabarakatuh
Apa kabar, Pak? Semoga semua yang ada di sana baik-baik saja. Maaf, Pak, mengganggu hari Bapak yang lagi sibuk dengan urusan Negara. Saya doakan agar urusan Bapak bisa tuntas dengan baik.
Perkenalkan, Pak, nama saya Fathimah Faza Almuna, pelajar dari MTs Al-Fatah Sragi, Banyuwangi, Jawa Timur. Bolehkah saya mengkritik Bapak? Saya ingin Indonesia ini lebih maju, bukan sekedar teknologinya, tetapi juga keanekaragaman hayatinya. Kemarin-kemarin ini adalah kemarau panjang. Tolong Bapak turun tangan atas musibah ini. Sudah banyak korban di sana. Sudah banyak hutan yang gundul karena pergesekan rumput kering. Mungkin usul saya ini bisa membantu. Tolong hutan-hutan gundul tersebut direboisasi lagi agar flora dan fauna kita lebih terjaga kembali dan tidak punah. Kalau dibiarkan akan jadi apa Indonesia??
Cukup sekian di akhir kata. Mohon maaf atas kesalahan penulisan dan tata bahasa dalam surat ini. Semoga bisa membantu. Selebihnya mohon dimaklumi.
Wassalamu’alaikum warrahmatullahi wabarakatuh


Dari saya,


Fathimah Faza Almuna

November 26, 2015

Surat untuk Presiden dari Nuvi


Banyuwangi, 07 November 2015

Kepada
Bapak Presiden Ir.H. Joko Widodo
di Istana Negara


Assalamu’alaikum
Apa kabar, Pak? Semoga semua yang ada di sana baik-baik saja. Maaf, Pak, mengganggu hari Bapak yang lagi sibuk dengan urusan Negara. Saya doakan agar urusan Bapak dapat diselesaikan dengan bijak.
Perkenalkan, Pak, nama saya Alanda Nuvida Tsuroya, pelajar dari MTs Al-Fatah Banyuwangi, Jawa Timur. Saya kagum atas kebijakan Bapak dalam menghadapi masalah yang ada di Indonesia. Saya juga turut berduka cita atas peristiwa pembunuhan anak di dalam kardus. Saya dan teman-teman saya yang ada di sini ikut trauma atas peristiwa tersebut. Mohon, Pak, anak-anak lebih diperhatikan atas keselamatannya karena anak-anak adalah pewaris dari Negara kita. Jika anak-anak selalu tersakiti, kasihan, Pak. Anak-anak nggak bisa belajar dengan tenang karena trauma dalam peristiwa pembunuhan. Apakah nyawa anak-anak harus terancam..?
Cukup sekian di akhir kata. Mohon maaf atas kesalahan penulisan dan tata bahasa dalam surat ini. Selebihnya mohon dimaklumi.
Wassalamu’alaikum


Dari saya,
  

Alanda Nuvida Tsuroya

November 24, 2015

Surat untuk Presiden dari Hanum


Banyuwangi, 7 November 2015

Kepada Yth
B. Joko Widodo
Di Tempat

Assalamu’alaikum warrahmatullahi wabarakatuh
Pertama-tama saya akan memperkenalkan diri saya. Saya Hanum. Saya adalah siswi kelas 7 MTs Al-Fatah Sragi.
Tujuan saya menulis surat ini adalah saya mau menyampaikan unek-unek saya tentang pendidikan yang selama ini berjalan. Saya merasa tersentuh saat melihat masih banyak anak-anak belia yang terlantar yang mengemis di pinggir jalan. Padahal itu bukan tugas dari seorang anak. Tugas dari seorang anak adalah belajar karena generasi muda adalah penerus bangsa. Bagaimana sebuah Negara bisa maju kalau tidak ada faktor pendorong di dalamnya, salah satunya adalah generasi muda yang berilmu. Saya mohon kepada Bapak Joko Widodo, tolong bantu perkembangan ilmu mereka, dengan cara membangun beberapa sekolah gratis untuk anak yang tidak mampu.
Demikian surat dari saya. Apabila ada kata-kata yang mungkin tidak layak untuk saya ucapkan, saya mohon maaf.
Wassalamu’alaikum warahtaullahi wabarakatuh.


Hormat saya,
  

Hanumatul Hasuna S.B.H.

November 16, 2015

Menulis Surat Untuk Presiden


Di sekolah selain mengajar mata pelajaran TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi) dan Matematika, aku juga mengajar mata pelajaran Bahasa Indonesia. Hal ini lantaran guru Bahasa Indonesia yang bersangkutan mengundurkan diri sehingga aku diminta sekolah untuk menggantikannya sementara selama semester ganjil ini. Aku sih baik-baik saja dengan tawaran ini. Sebab, aku sendiri suka pelajaran Bahasa Indonesia. Ditambah lagi aku suka membaca dan menulis. Jadi, menurutku mengajar Bahasa Indonesia menjadi hal yang menarik buatku.

Aku mendapat kesempatan mengajar Bahasa Indonesia di dua kelas, yaitu VII C dan VII D. Pada suatu hari materi pelajaran yang kubahas adalah menulis surat pribadi. Seperti biasa, setelah menerangkan atau berdiskusi mengenai materi bersangkutan, aku meminta siswa-siswi mengerjakan tugas yang berkaitan dengannya. Untuk materi menulis surat pribadi, aku pikir bila menulis surat pribadi untuk sahabat atau keluarga sudah biasa dan pernah keluar di soal UTS kemarin. Oleh karenanya, kali ini aku ingin membuat tantangan bagi anak-anak, yaitu menulis surat pribadi untuk Presiden Indonesia, Joko Widodo.

Pada mulanya, anak-anak mengeluh tidak bisa, tetapi mau tidak mau mereka tetap harus membuatnya. Entah tiba-tiba aku menjadi terbesit sesuatu agar tugas ini menjadi lebih menarik. Yaitu, aku mengumumkan kepada anak-anak bahwa surat terbaik dari masing-masing kelas akan aku posting di blog-ku. Respon kelas VII C biasa saja. Namun, di kelas VII D, beberapa anak cukup antusias. Salah satunya, Moh. Adib Maulana. Ia terlihat berharap suratnya yang terpilih untuk di-posting di blog-ku. Bahkan Adib juga sempat menanyakan alamat blogku.

Saat satu per satu surat dikumpulkan dan kubaca, isinya beragam mulai dari pernyataan kekaguman, pujian, motivasi, hingga kritikan kepada pak Joko Widodo. Aku salut kepada anak-anak karena mereka cukup up to date dengan perkembangan berita yang ada. Beberapa mereka ada yang mengulas tentang bencana asap di pulau Sumatra dan Kalimantan, pembunuhan siswa di dalam kardus, kenaikan harga BBM, bencana banjir yang sering menimpa ibukota hingga menyoroti pendidikan Indonesia yang belum memuaskan. Ini membuktikan bahwa mereka ternyata bisa kan membuat surat untuk presiden.  Mereka juga bisa kritis. Bahkan mereka cukup kreatif.

Ya sebenarnya kita bisa melakukan sesuatu yang mungkin tidak pernah kita bayangkan. Intinya adalah adanya keyakinan bahwa kita bisa dan mau mencoba. Aku jadi teringat momen saat aku pernah mengajak anak-anak VII C menyanyikan lagu Coboy Junior yang berjudul Terhebat. Dengan harapan, mereka mengerti bahwa inti keberhasilan adalah kemauan untuk mencoba dan tidak takut gagal.

Hey kawan
Pasti kau dan aku sama, sama-sama punya takut
Takut tuk mencoba dan gagal, tapi...

Hey kawan
Pasti kau dan aku sama, sama-sama punya mimpi
Mimpi tuk menjadi berarti karena...

Harus kita taklukan, bersama lawan rintangan
Tuk jadikan dunia ini lebih indah

Tak perlu tunggu hebat
Untuk berani memulai apa yang kau impikan
Hanya perlu memulai
Untuk menjadi hebat raih yang kau impikan

Seperti singa yang menerjang semua rintangan tanpa rasa takut
Yakini bahwa kamu kamu kamu kamu terhebat

Setelah menilai dan menyeleksi, surat yang akhirnya terpilih untuk di-posting di blog-ku ada 4, yaitu surat milik Hanumatul Hasuna S.B.H. (VII C), Alanda Nuvida Tsuroya (VII D), Fathimah Faza Almuna (VII D) dan Moh. Adib Maulana (VII D). Seperti apa isi dari surat-surat mereka? Simak terus pada posting-an selanjutnya.


~Wenny Pangestuti~

November 13, 2015

Hujan Telah Kembali


Hujan. Akhirnya hujan turun. Setelah sekian hari hujan menjadi bahan pembicaraan di tengah kemarau yang melanda. Indahnya, hujan pertama turun di kala mendekati senja sehingga aroma tanah yang basah oleh air hujan diiringi hawa teduh senja menjadi suasana yang syahdu nan nikmat.

Suasana yang mengingatkanku saat aku tengah berbaring santai di kamar rumah Tanggul dengan banyak jendela, sambil menikmati rasa setelah melalui hari bersama teman di sekolah.

Suasana yang telah lama tidak kurasakan lagi. Suasana yang menyadarkanku bahwa ternyata aku merindukan suasana seperti ini.

Hujan menjadi anugerah dari Allah subhanallahu ta’ala untuk makhluk di Bumi. Warga bersyukur karena akhirnya tanaman pertanian mereka terbasahi oleh air hujan. Hujan disambut dengan rasa haru, gembira, rindu nan syukur. Hujan menjadi kabar gembira bagi penduduk Bumi setelah mereka diterpa panas tak berkesudahan.

Hujan kembali menghiasi aspal dengan basahnya. Hujan kembali mewarnai rona hidup pelajar di sekolah menuntut ilmu; membasahi paving halaman sekolah; menjadi background atmosfir di balik kaca jendela kelas.
Hujan telah kembali.


~Wenny Pangestuti~

November 01, 2015

Ada

Angin sepoi-sepoi membelai lembut bulir-bulir padi di sawah itu. Di sebuah gubuk di tengah hamparan sawah, terduduklah seorang gadis sambil mengoreskan penanya pada sebuah buku yang identik dengan warna coklat muda. Tinggal beberapa kalimat lagi, maka semuanya akan selesai, buku itu siap beralih tangan.
Di sudut lain, satu per satu orang di halaman rumah tersebut disalami oleh pria itu. Yang laki-laki dewasa disalami lalu dipeluknya hangat. Yang perempuan dewasa, cukup disalami. Lalu yang anak-anak, disalami sambil dikoyak-koyak lembut rambutnya, atau mengusap lembut kerudungnya. Ini saatnya perpisahan dengan keluarga besar itu setelah sekian hari ia menghabiskan waktu tinggal di sana. Semua telah tersalami, tetapi ada satu yang belum. Entah kemana, sosok yang dimaksud tak ada di tempat. Semua menanyakan keberadaannya. Padahal ia tahu ini hari pria itu berpamitan pulang ke tempat asalnya.
“Titip salam saya untuk Wenny”, ucapnya  tanpa meninggalkan senyum identiknya. Usai mengucapkannya, ia perlahan menuju mobil yang akan membawanya pergi menuju stasiun.
Tak berapa lama ia melangkahkan kaki, terdengar derap langkah seseorang berlari. Wenny. Ia menyusul. Tepat beberapa meter di hadapan pria itu, gadis itu berhenti diiringi hembusan nafas yang beritme cepat.
Pria itu tersenyum, “Aku pamit.”
Setelah ritme nafasnya cukup stabil untuk berkata, Wenny hanya tersenyum sederhana dan memandang dengan sudut pandang ke bawah. Ia tak pernah berani melihat langsung ke arah lawan bicaranya. Tiba-tiba kedua tangannya menyodorkan sebuah buku bersampul coklat muda. Pria itu mengernyitkan  alisnya, tak mengerti. “Apa ini?”
Lama tak menjawab, Wenny perlahan mengangkat kepalanya, lalu mulai berkata, “Semua...semua yang pernah kamu ceritakan. Lengkap di sini. Aku menuliskannya semua di sini. Cerita-cerita yang luar biasa. Cerita-cerita yang belum pernah kudengar sebelumnya. Cerita yang tidak boleh kamu lewatkan pada setiap orang yang kamu jumpai.”
Pria itu sedikit terkejut dan perlahan meraih buku coklat muda itu. Lalu ia kembali tersenyum identik, “Great! Terima kasih.”
Seperti teringat pada sesuatu, pria itu berbalik arah, berjalan menuju mobil lalu mengambil sesuatu dari dalam tasnya.
“Ini!” Ia menyodorkan sebuah benda elektronik. Berganti, kini Wenny yang mengernyit tak mengerti. Pria itu menjelaskan, “ Cerita-cerita yang belum aku tuturkan...”
Wenny meraih benda tersebut, yang tak lain adalah perekam suara. Wenny mengamatinya agak lama, lalu melihat ke arah pria itu sambil tersenyum sederhana,” Terima kasih.”
Pria itu pun kembali berpamitan pada setiap orang di sana. Ketika hampir memasuki mobil, ia berbalik arah kembali. Telunjuk tangan kanannya menunjuk ke arah Wenny lalu berkata, “Menulis-Bertutur,” bergantian, telunjuknya menunjuk ke arah dirinya.
Wenny tersenyum sederhana lalu menirukan lengkap dengan gerakannya, “Bertutur-Menulis”.
“Senang berkenalan denganmu.”
So do I.

Tangan yang biasa yang menggenggam
mata yang terus menatapku
bibir yang selalu tersenyum
kau selalu disini

peluk yang tak ingin lepas
jari yang belai keningku
pundak tempatku bersandar
kau selalu disini

kini kita harus berpisah
jarak waktu mempermainkan kita
ku disini dan kau disana
tapi ku tak sendiri

suara kau dihati
terbawa di mimpi
walau kau disana
aku tak sendiri

ada kau dihati
ada kau dihati
aku tak sendiri
kau selalu bersama aku

kekuatanmu buatku tangguh
percayamu buatku yakin
kemana pun dimana pun ada kau di hati

kini kita harus berpisah
jarak waktu mempermainkan kita
ku disini dan kau disana
tapi ku tak sendiri

suara kau dihati
terbawa di mimpi
walau kau disana
aku tak sendiri

ada kau dihati
ada kau dihati
aku tak sendiri
ku simpan disini
kau selalu bersama aku

[Dikutip dari lirik lagu Sherina Munaf yang berjudul “Ada”]

  
~Wenny Pangestuti~