November 16, 2015

Menulis Surat Untuk Presiden


Di sekolah selain mengajar mata pelajaran TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi) dan Matematika, aku juga mengajar mata pelajaran Bahasa Indonesia. Hal ini lantaran guru Bahasa Indonesia yang bersangkutan mengundurkan diri sehingga aku diminta sekolah untuk menggantikannya sementara selama semester ganjil ini. Aku sih baik-baik saja dengan tawaran ini. Sebab, aku sendiri suka pelajaran Bahasa Indonesia. Ditambah lagi aku suka membaca dan menulis. Jadi, menurutku mengajar Bahasa Indonesia menjadi hal yang menarik buatku.

Aku mendapat kesempatan mengajar Bahasa Indonesia di dua kelas, yaitu VII C dan VII D. Pada suatu hari materi pelajaran yang kubahas adalah menulis surat pribadi. Seperti biasa, setelah menerangkan atau berdiskusi mengenai materi bersangkutan, aku meminta siswa-siswi mengerjakan tugas yang berkaitan dengannya. Untuk materi menulis surat pribadi, aku pikir bila menulis surat pribadi untuk sahabat atau keluarga sudah biasa dan pernah keluar di soal UTS kemarin. Oleh karenanya, kali ini aku ingin membuat tantangan bagi anak-anak, yaitu menulis surat pribadi untuk Presiden Indonesia, Joko Widodo.

Pada mulanya, anak-anak mengeluh tidak bisa, tetapi mau tidak mau mereka tetap harus membuatnya. Entah tiba-tiba aku menjadi terbesit sesuatu agar tugas ini menjadi lebih menarik. Yaitu, aku mengumumkan kepada anak-anak bahwa surat terbaik dari masing-masing kelas akan aku posting di blog-ku. Respon kelas VII C biasa saja. Namun, di kelas VII D, beberapa anak cukup antusias. Salah satunya, Moh. Adib Maulana. Ia terlihat berharap suratnya yang terpilih untuk di-posting di blog-ku. Bahkan Adib juga sempat menanyakan alamat blogku.

Saat satu per satu surat dikumpulkan dan kubaca, isinya beragam mulai dari pernyataan kekaguman, pujian, motivasi, hingga kritikan kepada pak Joko Widodo. Aku salut kepada anak-anak karena mereka cukup up to date dengan perkembangan berita yang ada. Beberapa mereka ada yang mengulas tentang bencana asap di pulau Sumatra dan Kalimantan, pembunuhan siswa di dalam kardus, kenaikan harga BBM, bencana banjir yang sering menimpa ibukota hingga menyoroti pendidikan Indonesia yang belum memuaskan. Ini membuktikan bahwa mereka ternyata bisa kan membuat surat untuk presiden.  Mereka juga bisa kritis. Bahkan mereka cukup kreatif.

Ya sebenarnya kita bisa melakukan sesuatu yang mungkin tidak pernah kita bayangkan. Intinya adalah adanya keyakinan bahwa kita bisa dan mau mencoba. Aku jadi teringat momen saat aku pernah mengajak anak-anak VII C menyanyikan lagu Coboy Junior yang berjudul Terhebat. Dengan harapan, mereka mengerti bahwa inti keberhasilan adalah kemauan untuk mencoba dan tidak takut gagal.

Hey kawan
Pasti kau dan aku sama, sama-sama punya takut
Takut tuk mencoba dan gagal, tapi...

Hey kawan
Pasti kau dan aku sama, sama-sama punya mimpi
Mimpi tuk menjadi berarti karena...

Harus kita taklukan, bersama lawan rintangan
Tuk jadikan dunia ini lebih indah

Tak perlu tunggu hebat
Untuk berani memulai apa yang kau impikan
Hanya perlu memulai
Untuk menjadi hebat raih yang kau impikan

Seperti singa yang menerjang semua rintangan tanpa rasa takut
Yakini bahwa kamu kamu kamu kamu terhebat

Setelah menilai dan menyeleksi, surat yang akhirnya terpilih untuk di-posting di blog-ku ada 4, yaitu surat milik Hanumatul Hasuna S.B.H. (VII C), Alanda Nuvida Tsuroya (VII D), Fathimah Faza Almuna (VII D) dan Moh. Adib Maulana (VII D). Seperti apa isi dari surat-surat mereka? Simak terus pada posting-an selanjutnya.


~Wenny Pangestuti~

2 comments :

Mugniar said...

Kreatif, Mbak Wen. SUka banget sama idenya. Teruslah jadi guru kreatif dan inspiratif.


Pertanyaan di blog saya jawab di sini yah :)

Kebetulan, nasib saya membawa ke takdir utk di rumah, Mbak.
Saya lulus kuliah pas tahun 1997, tidak ada lowongan pekerjaan di koran2. Pas menjelang kejatuhan Presiden Soeharto. Indonesia krisis. Thn 1998, saya diajak teman kerja di sebuah perusahaan jasa komputer kecil. Di sana ngajar2 kursus. Trus nikah thn 1999. Sempat bbep kali ikut tes pegawai termasuk di perusahaan tempat suami di pulau lain tapi gak keterima. Akhirnya punya anak. Sempat tes lagi waktu masih satu anak dan sudah usia 4 tahun tapi gak diterima lagi. Ya sudah, saya makin mantap menjadi ibu rumah tangga yang di rumah saja. Kebetulan mmang hati saya lebih berat utk menjadi ibu rumahan.

JAdi saya tidak mengkomunikasikan apapun dengan ibu. Tapi ibu terlihat kecewa saya hanya jadi orang rumahan. Suka mengatakan saya "hanya ibu rumah tangga biasa padahal sarjana teknik" di depan orang2 padahal belum ada yang nanya. Habis itu dibahas, deh "kekurangan" saya itu.

Namun pelan2, kegigihan saya belajar menulis dan rahmat Allah yang mengizinkan saya utk "eksis", membuat ibu saya bisa bangga pada pencapaian2 saya. Beliau terlihat senang ketika saya nampang di koran atau muncul di tivi dan menceritakannya kepada keluarga besar kami. Yah, alhamdulillah.
Berkah itu ternyata datang melalui menulis :)

Tiap orang punya kondisinya, Mbak. DIjalani saja apa yang ada di depan mata :)

Wenny Pangestuti said...

@Mugniar: Terima kasih ya, Bu, sharing ceritanya. Benar, untuk skrg sya memag harus tetap menjalani apa yg sudah ada di depan mata. Apa yg menjadi impian saya, tetap saya ikhtiarkan dan doakn. Kelak atas kehendak Allah, insya Allah terkabul.