December 26, 2014

Wherever I Stay, I Say “Alhamdulillah!” (Part 3 ~Final~)


Aku tidak ingat berapa hari, tapi yang pasti tak membutuhkan waktu seminggu untuk menunggu dan bersabar ‘datangnya cahaya dalam kegelapan’. Sejak hari pertama tinggal di kos baru dengan keadaan listrik mati dan melalui malam dalam kamar dengan bergelap-gelapan, akhirnya tak sampai seminggu, listrik kos tepatnya di lantai atas telah selesai diperbaiki. Akhirnya, saat itu aku merasakan cahaya terang benderang di malam hari dalam kamarku.

Sebenarnya sabar itu hanya meminta kita dengan sebentar saja. Tapi seringkali ego, hawa nafsu kita yang membuat satu hari bagaikan satu tahun lamanya. Allah hanya memintaku saat itu bersabar tak sampai seminggu saja dengan kondisi gelapku. Memintaku tak sampai seminggu untuk tak berkeluh kesah karena ego.

Ketika aku mencoba melihat tidak hanya dengan mata, tetapi juga dengan empati, menurutku pemilik kos tempatku tinggal, mbak Pipi dan ibunya, sebenarnya sudah baik dan mengayomi kami, para penghuni kos. Kalaupun kami acapkali mendapati mbak Pipi dan ibu mengomel lantaran boros menggunakan air, tidak mematikan lampu saat pagi menjelang, menyuruh menaruh sampah dapur di luar, menutup kembali pintu belakang, menurutku itu hal yang wajar dilakukan oleh pemilik kos. Bukankah di rumah, ibuku atau mungkin ibu kita juga sering bersikap cerewet demikian. Namun, tujuannya sebenarnya baik, bukan? Ingin menempatkan sesuatu pada tempatnya dan mereka mengingatkan kita. Tidak terimanya penghuni kos mungkin seringkali karena yang memperlakukan mereka demikian adalah orang lain, orang yang baru dalam hidup mereka. Tapi, bila kita mau merenung kembali barangkali kita yang seringkali tidak menempatkan posisi sebagai orang yang memahami terlebih dahulu sebelum merespon dan menilai.

Apapun yang terjadi, menyenangkan atau tidak menyenangkan; apapun yang kudapati di sini, baik itu kelebihan maupun kekurangan, aku bersyukur tinggal di tempat kosku sekarang, Jl Jawa VI-A No.3. Aku bersyukur. Terima kasih, Allah. Alhamdulillah.


~Wenny Pangestuti~

14/12/2014
16.07 WIB
Kamar kos Jl. Jawa VI-A No. 3

December 24, 2014

Wherever I Stay, I say “Alhamdulillah!” (Part 2)


Malam pertama di tempat kos yang baru kulalui dengan bergelap-gelapan di lantai atas tempat kamarku berada. Aku bersyukur karena di tempat kos baruku telah ada dua orang yang pernah kukenal sebelumnya, Ayu dan Aini, mahasiswa baru 2014 Pendidikan Fisika Universitas Jember (Unej). Perantara perkenalan kami adalah teman sekamarku di tempat kos yang lama, yang juga sama-sama mahasiswa baru Pendidikan Fisika Unej. Kuhabiskan malam pertamaku dengan menumpang di lantai bawah, kamar Aini.

Namun, keadaan ini berlangsung hanya di hari pertama. Selanjutnya aku mengatur strategi agar keterbatasan yang ada tidak menjadi kendala berarti. Life must go on. Karena tingkat kebutuhanku pada listrik cukup tinggi untuk menghidupkan laptop, dan laptop kugunakan untuk mengerjakan skripsi, aku mengatur waktu kapan aku bisa mengerjakan skripsi. Aku masih ada harapan akan keberadaan listrik. Aku masih bisa ke kampus untuk mendapatkan listrik. Ini tak menjadi masalah. Hanya membutuhkan pengorbanan tenaga untuk berangkat ke sana, entah jalan kaki atau naik sepeda.

Dari sini, aku belajar tentang keterbatasan yang disikapi dengan sikap dan pikiran positif. Meskipun aku belum bisa menikmati layanan listrik di tempat kos baruku, aku mencoba mengambil sikap sabar, syukur, dan postive thinking.

Sabar, karena ini hanya masalah kecil dari sekian banyak masalah besar. Aku belajar melalui ini tanpa berkeluh kesah. Barangkali ada banyak pelajaran yang bisa kuperoleh dari kondisi ini. Barangkali ini adalah pelajaran berupa pengalaman berharga yang dapat kupetik. Aku tak pernah tahu apa yang akan terjadi nanti. Bisa jadi ketika aku mengalami kondisi seperti ini lagi atau lebih parah dari ini, aku tidak lagi kaget karena telah teruji dari pengalaman yang sudah-sudah.

Syukur, karena seperti apa pun keterbatasan yang aku alami tak ada bandingnya dengan orang-orang yang jauh lebih susah di bawahku. Toh ternyata aku tetap masih bisa menikmati listrik di kampus. Syukur, karena aku diberi kesempatan menerima keadaan seperti ini, dimana tak banyak orang yang mengalami atau kuat mengalami keadaan seperti ini. Ini adalah modal imateriilku untuk untuk menjadi orang dengan kualitas pribadi yang teruji. Nikmati setiap anugerah bumbu-bumbu kehidupan ini, insyaallah Allah mempunyai rahasia di balik rencananya yang indah dan baik untuk kita.

Positive thinking, artinya berpikiran positif pada dua pihak. Pertama, kepada Allah. Mengutip lirik lagu Bunga Citra Lestari dalam judul Kuasa-Mu.

“Tuhan kupercaya
Engkau pasti telah merencanakan yang terbaik
untuk diriku
agar ku tak jatuh
dan selalu ada di jalan-Mu.”

Aku berusaha sedapat mungkin tidak mengeluh dan menjalani keadaan ini dengan tenang tanpa masalah. Seperti tulisan sebelumnya, aku percaya ada pelajaran besar di balik keadaanku sekarang. Aku memang tidak tahu apakah keadaanku ini adalah ujian atau hukuman dari Allah. Apapun itu, bagaimanapun juga aku seharusnya menyikapi semua ini dengan berprasangka baik kepada Allah. Pasti ada nilai tambah yang hendak Allah berikan padaku dengan jalan ini. Allah memberikan apa yang kita butuhkan, bukan yang kita inginkan. Mungkin ini jawaban doa-doaku ketika aku pernah memanjatkan doa mengharapkan kesabaran dalam menjalani kehidupan ini. Kalau saja manusia mengetahui rencana Allah, kita akan tahu betapa cinta dan sayangnya Allah pada kita. Manusia saja seringkali tak sabar melalui prosesnya.

Positive thingking kedua adalah kepada pemilik kos. Aku berusaha sedapat mungkin untuk tidak berkeluh kesah terhadap pemilik kosku yang tidak kunjung terlihat mau membenarkan listrik di lantai atas. Aku berusaha berprasangka baik. Barangkali sebenarnya mereka sudah kepikiran dengan kondisi penghuni atas yang harus bergelap-gelapan setiap malam. Dan aku tahu betul keadaanku dan penghuni lantai atas yang krisis listrik bersamaan dengan keadaan mereka –pemilik kos- yang menyiapkan pernikahan anggota keluarga mereka. Tentu pikiran mereka banyak terbuang ke sana dan di sisi lain mereka pun mungkin juga tidak enak melihat kondisi kami. Aku bisa memahami dan berempati bila dalam kondisi mereka.

Ini adalah pengalaman baru dalam perjalananku pindah-pindah tempat kos. Nikmati saja setiap keadaan yang ada dengan sikap sabar, syukur, dan postive thinking. We never know what will happen next. But, Allah always be there.


~Wenny Pangestuti~

29/10/2014
15:19 WIB
Kamar depan rumah BWI

December 20, 2014

Don't Give Up!


Banyak alasan yang bisa membuatku
'menyerah', 'putus asa', 'berhenti', dan
kata-kata negatif lainnya.
Tapi,
aku tetap bertahan dan memilih untuk
terus melangkah. Aku tidak bisa menyerah
begitu saja. Selagi masih ada waktu,
selagi itu pula masih ada harapan, kesempatan.
Terus terang,
sampai detik ini aku tidak bisa
menangis atau mengeluarkan air
mata, bahkan untuk terus merengek
atau menyalahkan diriku lagi. Tidak.
Aku tidak bisa meskipun banyak alasan
membuatku pantas dan wajar untuk
menangis sedih.
Aku merasa lebih tegar dan tenang, serta
tidak takut. Aku merasa lebih berprasangka
baik bahwa apa pun yang terjadi itu
telah menjadi kehendak Allah dan pasti
ada hikmah di balik itu semua.
Tidak pantas
rasanya menganggap bahwa hidup kita
berakhir, tamat atau yang sejenisnya
karena melihat kebelum-berhasilan
sebuah usaha yang kita lakukan.
Hidup kita tidak ditentukan oleh
satu usaha. Banyak usaha lain
yang mempunyai peluang yang
sama atau bahkan lebih besar
menjadi jalan sukses kita, jalan
terbaik kita.
Jangan pernah terkalahkan oleh
keadaan. Karena kita yang harus
bisa mengendalikan keadaan.
Hidup cukup bergantung pada
Pemilik Alam Jagat Raya ini,
Allah Subhanallah ta'ala.
Believe it!


~Wenny Pangestuti~

December 18, 2014

Belajar dan Mengajar


Belajar saja belum cukup tanpa mengajarkan apa yang diajarkan
Mengajar pun tidak sempurna jika tanpa belajar terlebih dahulu apa yang akan diajarkan

Ketika aku mengajar murid-muridku di kelas VIII-F, aku berpikir keras bagaimana cara membuat anak-anak paham dengan apa yang kuajarkan. Seringkali kudapati mereka salah menangkap maksud yang kuharapkan. Padahal niatku tulus benar-benar ingin dapat memotivasi anak-anak dalam belajar. Namun, mereka tak segera jua menyadari akan maksudku ini...
Lalu akan berbeda halnya ketika aku belajar dan aku baru menyadari akan hal ini, sore tadi tepatnya... Selama ini aku lebih meninggikan egoku dan berprasangka buruk pada niat tulus dosenku, guruku... Keadaanku sebagai mahasiswa, sebagai murid tak lebih baik dari murid-muridku. Tidak disiplin, jarang belajar, dan lain sebagainya. Hal yang wajar jika pada akhirnya dosenku marah dan kecewa dengan sikap mahasiswa yang demikian. Apalagi tidak hanya satu dua orang mahasiswa yang melakukan.
Lalu, aku mencoba memahami pikiranku bahwa mengapa aku bisa bersikap demikian sebagai seorang mahasiswa, sebagai seorang murid..sehingga hal yang sama juga terjadi pada murid-muridku. Mengapa...
Ya...aku ingat dengan apa yang telah aku ucapkan tadi kepada murid-muridku. Kesuksesan menggapai hasil yang dicita-citakan..yang diharapkan terletak bagaimana proses kita meraihnya, bagaimana jatuh-bangun kita menggapainya. Lalu dari jatuh demi jatuh yang kita alami, kita mampu BANGKIT. Kesabaran kita-lah untuk menjalani proses itu -proses mendidik murid-murid-. Karena ini hanya masalah waktu. Cepat atau lambat waktu jualah yang akan membuktikan hasil akhirnya akan bagaimana. Hanya masalah waktu, kita bersabar mengamati perubahan setiap perubahan murid kita hingga mereka benar-benar memahami maksud kita sebagai guru. Pasti ada satu dua atau beberapa anak yang akan belajar menyadari niat tulus sang gurunya. Seperti yang terjadi padaku dan dosenku. Aku mulai memahami keinginan tulus sang dosen terhadapku dan teman-temanku.

Selamat Belajar dan Mengajar!


~Shafiyah Hafshah~

15/04/2013
18.55 WIB
Kamar depan an-Nahdhah

December 16, 2014

Wherever I Stay, I Say “Alhamdulillah!” (Part 1)


11 Oktober 2014 bertepatan dengan hari Sabtu, aku pindah kos dengan masih membawa rasa yang agak terusir dari kos-an lama. Belum pernah kumengalami ini sebelumnya. Ingin menangis, namun sedapat mungkin kutahan. Tak tahu harus mencurahkan isi hati pada siapa selain hanya pada Allah. Allah Yang Maha Mengetahui apa yang tersimpan di balik isi hatiku.

Aku pindah membawa tanda tanya bagaimanakah kehidupanku kelak di kos-an baru. Sesampainya di sana, aku sudah disambut keresahan dengan fasilitas yang ada. Listrik kamarku yang belum berfungsi sehingga aku tidak bisa membayangkan apa jadinya malam itu aku tanpa dukungan listrik. Lalu kondisi kamar mandi yang kurang bersih sehingga aku pun membayangkan ketahanan batin yang bagaimanakah aku harus jalani selama tinggal di sini. Ditambah informasi mengenai kondisi air yang sempat mengalami gangguan dengan kapasitas keberadaannya.

Aku pun bertanya pada diriku sendiri, terlalu cepatkah aku mengambil keputusan untuk kos di sini. Hal ini bersamaan dengan sms adik angkatan yang memberikan informasi yang terlanjur terlambat, bahwa di tempat kosnya sebenarnya masih ada kamar kosong. Mungkin di sana jauh lebih baik. Harga mungkin lebih murah. Listrik, kamar mandi, dan air mungkin tak seperti di sini dan lebih baik. Namun, nasi telah menjadi bubur, tak dapat diubah lagi menjadi beras alias terlambat sudah.

Kutepis pikiran sesal telah mengambil keputusan kos di sini. Ini sudah pilihanku. Ini juga masih hari pertama. Jangan terlalu cepat mengeluh. Jalani dulu. Aku tak kan pernah tahu apa yang akan terjadi esok-esok. Syukuri dulu apa yang ada.


~Wenny Pangestuti~

15/10/2014
02.44 WIB
Kamar kos, Jl. Jawa VI

December 08, 2014

Senyum Pengertian


Usia suaminya kini di jelang empat puluh, dan Khadijah menangkap kegelisahan yang berjebah di wajah itu. Dia tak bertanya. Tetapi dia dapatkan jawab dari mata Muhammad yang senantiasa basah melihat ketidakadilan. Dia tidak bertanya, tapi dia membaca wajah yang menunduk tiap kali keberhalaan membunuh dan memperkosa kemanusiaan. Dia memahaminya dari wajah yang jerih tiap kali menyaksikan pertikaian tanpa makna dan kebejatan yang tertebar kian jamak.

Tetapi hari inilah puncaknya. Hari ini dia menyaksikan Muhammad pulang dari tahannuts di Gua Hira bukan dengan wajah segar terlepas dari beban seperti biasanya. Dia melihat lelaki terkasihnya itu menggigil ketakutan. Keringat dingin mengalir di sekujur tubuhnya, Muhammad basah kuyup. Wajahnya pucat, mimiknya pias, dan napasnya tersengal-sengal. Denyut jantungnya memburu, sementara tatapan matanya tercekam seakan dikejar sesuatu yang amat mengerikan. Begitu pintu terbuka, Muhammad bergegas menuju kamarnya dan luruh di pembaringan.

Zammilunnii, selimuti aku! Selimuti aku!” teriaknya masih dengan wajah pasi dan sinar mata ketakutan.

Khadijah tak kalah cemas. Dia begitu ketakutan. Hatinya meneriakkan tanya, “Ada apa sebenarnya?” Tentu ini sebuah kejadian yang sangat besar dan mengguncang. Tentu ini perkara yang sangat serius. Tapi dia surut, lisannya dibungkam kuat-kuat. Ditahannya keinginan untuk tahu. Yang dibutuhkan suaminya kini bukan menceritakan apa yang dia alami. Yang diperlukannya adalah menenangkan diri dari sebuah hantaman kejiwaan yang Khadijah tak tahu entah apa. Maka Khadijah tak bertanya.

Sepertinya sikap Khadijah yang tak bertanya ini hanya soal kecil. Tetapi mari bayangkan apa jadinya riwayat kenabian dan dakwah andai Khadijah adalah istri yang tak mampu memahami apa yang dihajatkan suami pada saat dilanda panik? Apa jadinya jika di saat Muhammad mendapatkan wahyu pertama yang seakan menimbunkan beban seberat isi dunia ke pundaknya itu Khadijah menampilkan diri sebagai wanita yang tak rela kehilangan berita di momen pertama? Bertubinya kalimat “Ada apa? Ada apa?” yang diluncurkan Khadijah pasti membuat keterguncangan Muhammad ba’da kejatuhan wahyu makin menghempaskan.

Di sinilah Khadijah mengajari kita sebuah kaidah penting. Bahwa kita harus punya kepekaan jiwa untuk mengenal kebutuhan jiwa orang yang kita cintai. Bahwa kita mesti memiliki kelembutan nurani untuk memberi kesempatan ruh saudara yang tertekan melepaskan bebannya.

Dalam dekapan ukhuwah, kepeduliaan yang terlembut bukanlah sekadar rasa ingin tahu. Kepeduliaan yang terlembut kadang tampil dalam bentuk kesadaran bahwa mungkin kita belum perlu tahu sampai tibanya suatu waktu. Maka kesabaran akan menuntun kita untuk tahu, di saat yang paling tepat, dengan cara yang paling indah. Begitulah kita belajar kepada Khadijah, belajar untuk mengerti dengan kelembutan nurani.


Salim A. Fillah
Penulis buku-buku best seller, dan motivator ruhiyah di berbagai acara keislaman

Dikutip dari:
Majalah Ummi, Edisi XXVI November 2014

December 07, 2014

Filosofi Kopi-ku



"Kopi. Selalu ada saja cerita tentangnya. Kopi memiliki ruang cerita sendiri dalam kotak hidupku: Lebih dari semacam minuman penghilang kantuk, tetapi menjadi semacam filosofi dalam hidup."


Bapakku semula karyawan PTPN XII yang salah satu hasil perkebunan yang ditangani adalah kopi dan teh. Secara berkala bapak dan para karyawan lainnya biasanya memperoleh jatah beberapa bungkus bubuk kopi dan beberapa kotak teh celup. Otomatis keberadaan kopi dalam dalam keluargaku cukup familiar. Tak perlu membeli kopi merk apa pun yang dijajakan lewat iklan karena cukup dengan bubuk kopi yang dijatah tersebut sudah bisa menyeduh kopi di rumah.
Minum kopi setiap pagi menjadi kebiasaan dalam keluargaku. Biasanya entah bapak atau ibu akan membuat satu gelas besar kopi untuk diminum bertiga secara bergantian, yaitu bapak, aku dan ibu. Sedangkan adikku tak begitu fanatik pada kopi. Biasanya kami meminum kopi dilengkapi dengan kue, entah itu berupa roti atau jajanan pasar.
Saat keluarga kami masih tinggal di Tanggul, salah satu kecamatan di Jember, mudik menjadi aktivitas rutin tahunan bagi kami menjelang Idul Fitri. Kami mudik ke Banyuwangi, rumah mbah-mbahku berada, baik dari pihak ibu maupun bapak. Kalau sudah di rumah mbah, baik itu dari pihak ibu maupun bapak, seperti telah menjadi kebiasaan para wanita akan membuatkan kopi untuk para lelaki, seperti suami atau ayah mereka. Meskipun aku bukan laki-laki, tetapi aku seringkali dibuatkan satu gelas kopi ukuran sedang secara khusus. Ya karena aku suka minum kopi. Sampai ada yang menyeletuk, “Wedok-wedok kok seneng kopi. Koyo’ wong tuwek wae[1]. Tentu saja kopi yang dibuat selama ini adalah kopi hitam yang berampas.
Kebiasaan minum kopi ini tetap kubawa sampai aku memasuki masa kuliah sebagai mahasiswa. Awal-awal semester aku masih dibawakan 1 bungkus plastik 1/4an berisi kopi dan satu lagi berisi gula. Lalu pada semester-semester berikutnya, aku mulai menjajal kopi-kopi sachet yang banyak diiklankan di televisi dan dijual di banyak toko dan supermarket, mulai dari kopi hitam berampas hingga kopi campuran dengan susu atau creamer, yang tak berampas. Semakin hari dengan melakukan perbandingan rasa, aku lebih menyukai kopi campuran. Selain rasanya lebih enak (tidak terasa pahitnya), juga lebih bersahabat dengan lambung menurutku.
Teman-teman yang satu kontrakan denganku sering menyebutku sebagai ratunya kopi karena kegilaanku pada kopi dan seringnya intensitasku meminumnya. Aku lebih suka minum kopi di pagi hari setelah waktu subuh. Kopi yang hangat atau suam-suam kuku terasa nikmat diseruput di kala hawa pagi dingin yang menyegarkan. Selain pagi, minum kopi di kala senja juga tak kalah nikmat. Udara waktu senja menjelang Maghrib memang terasa lebih dingin dan lembab sehingga minum kopi akan membuat tubuh terasa hangat dan nyaman.
Sampai-sampai untuk urusan kopi, aku membawa cangkir lengkap dengan lepeknya secara khusus. Aku senang sekali melihat kopi disajikan dalam cangkir lengkap dengan lepeknya.
Minum kopi menjadi semacam perekat hubunganku dengan keluarga, khususnya bapak. Bapak sepertinya memahami benar kesukaanku pada kopi. Biasanya kalau di rumah Tanggul selepas shalat Shubuh dan membaca Qur’an, aku mendengarkan acara radio favoritku, Voice of Islam. Kalau sudah begitu, aku tidak beranjak keluar dari kamar. Bapak acapkali memanggilku, “Kopi, Wen. Selak adem, lho![2] Bapak kadang sampai ke luar rumah menuju warung untuk membeli roti atau kue bila di rumah tidak ada persediaan kue. Biasanya kami meminum kopi di ruang makan. Namun, tak jarang kami juga minum kopi di depan televisi di ruang tamu. Kalau sudah demikian, biasanya bapak mengajak ngobrol masalah-masalah dari berita di televisi hingga merembet pada petuah-petuah bijak dan aku tak perlu diragukan lagi menjadi pendengar setia yang baik dalam hal ini.
Setelah bapak pensiun, keluarga kami pindah ke Banyuwangi, tempat kelahiran bapak. Dengan statusku yang masih belum lulus kuliah, aku beberapa kali pulang kampung dari Jember ke Banyuwangi. Awal-awal pulang kampung, kulihat aktivitas minum kopi di pagi hari tetap berjalan. Tetapi, kopi yang digunakan adalah kopi hitam sachet yang dibeli di warung. Kulihat sepertinya pengonsumsiannya lebih irit. Mungkin mereka memperhatikan keuangan yang sudah tak lagi sama kala bapak masih bekerja tetap sebagai karyawan. Pada kesempatan pulang kampung selanjutnya, kali ini bapak dan ibu mempunyai 1 kaleng bubuk kopi. Kudengar cerita dari ibu bahwa itu hasil menumbuk sendiri. Memang soal cita rasa beda jauh dari kopi dari tempat bapak bekerja dulu atau kopi sachet ber-merk. Tapi, kalau minum kopinya tetap bersama begini tetap nikmat menurutku. Ini adalah sweet memory-ku di rumah.
Bagi sebagian orang, minum kopi cukup riskan. Biasanya, masalah di lambung, entah itu perih atau gemetar. Hal tersebut biasanya terjadi pada orang yang tidak terbiasa meminum kopi. Sebenarnya minum kopi tetap bisa dirasai dengan nikmat, tanpa menimbulkan efek samping lambung perih atau gemetar, asalkan memperhatikan waktu, jenis, kuantitas, dan cara meminumnya.
Soal waktu, seperti yang saya ungkapkan sebelumnya minum kopi terasa nikmat saat pagi hari sebelum sarapan atau di kala senja. Kalau tujuannya untuk menahan kantuk karena ingin begadang di malam hari, usahakan hindari minum kopi terlalu malam, seperti di atas pukul 21.00. Selain membuat kita sulit tidur hingga larut malam, juga akan membuat badan terasa tidak enak saat bangun tidur keesok paginya, seperti masuk angin atau perut kembung.
Soal jenis, kita sesuaikan dengan selera. Kalau kita tidak terbiasa minum kopi atau rentan bermasalah dengan lambung, lebih baik baik pilih kopi campuran dengan susu atau creamer. Kopi jenis ini menurut saya lebih bersahabat. Sudah banyak merk-merk kopi yang menawarkan kopi jenis ini dan menggoda selera. Merk favorit saya adalah Good Day.
Soal kuantitas, hindari minum kopi dalam satu hari lebih dari dua cangkir karena dikhawatirkan membuat perut kita kembung. Juga harus diseimbangkan, jangan sampai minum kopi, tapi tidak makan. Jelas hal tersebut mengganggu kesehatan tubuh, khususnya masalah pencernaan.
Sedangkan soal cara, alangkah baiknya minum kopi disertai sandingan. Bukan sandingan sesajen lho maksudnya :). Maksudnya, sandingan berupa kue, entah itu roti, jajanan pasar, atau biskuit sesuai selera masing-masing. Ini supaya lambung yang mungkin masih kosong tidak kaget menerima kopi begitu saja karena belum sarapan atau belum makan. Jadi, ada pengganjal berupa makanan ringan untuk menghindari rasa perih pada lambung sesudah meminumnya.
Ya itu sedikit tips dari pengalaman pribadi saya meminum kopi dan semuanya tanpa pertimbangan ilmiah yang akurat. Jadi, untuk lebih detail korelasi kopi dengan kesehatan, bisa digali lebih dalam informasinya. Sebagai tambahan,

“Sesuka-sukanya kita minum kopi, tetap harus menjaga pola makan dengan teratur ya.”



~Wenny Pangestuti~




[1]  “Perempuan-perempuan kok suka kopi. Seperti orang tua saja.”
[2] “ Kopi, Wen. Keburu dingin, lho!”

December 06, 2014

Inspirational Share for Nabila


Dalam perjalanan sebagai mahasiswa, menjadi guru les privat adalah salah satu aktivitas yang pernah saya lakoni. Sudah silih berganti anak yang saya dampingi belajar, salah satunya Nabila. Cerita bagaimana saya bisa menjadi guru les privatnya menarik karena sebelum-sebelumnya saya menjadi guru les privat melalui informasi mulut ke mulut, atau lembaga. Namun, suatu ketika saya sepi anak-anak yang mau diles-privati dan saya juga sudah berhenti lewat lembaga, saya berinisiatif membuat brosur les privat. Supaya lebih menarik, saya tetap mencetaknya berwarna. Saya tebar pertama kali di depan sebuah sekolah menengah pertama (SMP) yang kata orang sekolah tersebut SMP favorit di kota Jember. Sebenarnya saya maju mundur menyebarkan brosur seorang diri, tapi akhirnya mau gak mau harus ditebar. Sayang banget sudah nyetak ngeluarkan ongkos, masa’ gak jadi ditebar. Akhirnya, saya tebar. Satu.. dua.. tiga.. perlahan satu demi satu brosur beralih tangan kepada siswa-siswa yang hendak masuk melalui gerbang sekolah. Tinggal sedikit lagi, maka habislah brosur itu dari genggaman tangan saya.
Di tengan aktivitas tebar yang saya lakukan, berhentilah sebuah sepeda motor di sekitar depan gerbang, yang dikendarai oleh seorang ibu mengantarkan putrinya sekolah. Saya berikan beliau brosur juga. Ibu tersebut membaca brosur tersebut lalu menoleh ke arah saya. Saya balas dengan senyum. Ibu tersebut juga tersenyum lalu beranjak meninggalkan tempat tersebut. Selang beberapa waktu brosur dalam genggaman saya pun habis. Saya pun pulang menuju kontrakan kembali.
Minggu demi minggu berlalu. Dinanti-nanti, tak ada panggilan yang menunjukkan ketertarikan pada penawaran brosur saya. Tapi, ternyata setelah saya hampir lupa dengan brosur tersebut, ada panggilan yang intinya saya diminta ngelesi salah satu siswi SMP tersebut. Hanya satu siswa. Alhamdulillah meskipun masih satu siswa.
Sekitar satu bulan berlalu. Saya pindah kontrakan di Mumtaz. Ketika saya sedang di dalam warnet, ada panggilan dari HP saya. Ternyata, seorang wali murid yang meminta saya membimbing putrinya belajar untuk persiapan ujian semester. Awalnya saya hampir menolak karena rumahnya terlalu jauh untuk saya tempuh dengan hanya naik sepeda, tetapi akhirnya saya mengiyakan. Ternyata setelah saya sampai di rumah tersebut, ibu yang menelpon saya itu adalah ibu yang menerima brosur saya dulu. Lebih ternyata lagi ibu tersebut bernama sama dengan saya, Weny. Menariknya, ibu tersebut ramah sehingga acapkali saya sering disuguhi minuman manis sesuai dengan permintaan saya, mau yang dingin apa yang hangat. Selain minuman, saya juga sering diajak makan bersama. Makan soto, bakso mercon, ikan bandeng, sayur asem kangkung semua pernah saya jajal. Kebetulan ibu Weny dengan suaminya memilki usaha soto dan bakso mercon. Nah, putri ibu Weny inilah yang bernama Nabila.
Nabila siswa SMP kelas 2 saat itu. Sebenarnya Nabila pintar, dan mudah menangkap materi pelajaran. Tetapi, biasanya ia kurang teliti mengerjakan soal matematika selama les. Saya sih maklum karena mungkin saja Nabila letih setelah setengah hari belajar di sekolah. Selain itu, Nabila siswa yang aktif mengikuti kegiatan ekstra-kurikuler, seperti karate, dance, dan jurnalistik. Mungkin delima saya ketika membimbing Nabila belajar adalah soal matematika yang paling sering dikerjakan pilihan ganda sehingga yang dibutuhkan soal cukup jawaban akhir yang benar. Nabila biasanya menghitung saja di kertas coret-coretan. Menghitungnya cepat sampai saya tidak bisa mengikuti proses hitungnya. Mungkin ini ya kalo anak pintar, ngitungnya cepet. Sebenarnya tidak masalah. Tapi lama-lama pikiran saya melesat jauh pada realita pendidikan di negeri ini.
Pendidikan kita sering mengarahkan siswa pada mendapatkan jawaban akhir dengan benar karena memang pada akhirnya siswa akan dihadapkan pada ujian akhir nasional (UAN) yang bentuk soalnya pilihan ganda sehingga cukup membutuhkan jawaban akhir yang benar. Sedangkan proses berpikir dan kerja siswa bisa menjawab soal dengan benar sepertinya luput dari pemantauan yang mendalam. Bisa saja siswa menjawab jawaban akhir dengan benar, tetapi apakah konsep dan cara hitungnya sudah dalam jalur yang benar, atau jangan-jangan cara asal-asalan, coba-coba (he ini pembahasannya kayaknya nyerempet ke topik skripsi saya). Lebih dari itu, pembelajaran seperti ini menurut saya juga akan mempengaruhi kepribadian siswa. Siswa menjadi terdidik dengan personal bermental instan, tidak menghayati proses. Siswa cenderung berorientasi hasil akhir, tapi tidak menangkap hakikat bersabar dalam menjalani proses ikhtiar.
Karena itulah, saya berpikir gimana caranya supaya aktivitas les saya dengan Nabila tidak sekedar Nabila menjawab soal dengan hasil akhir yang benar saja. Saya membuat perangkat yang saya buat secara manual. Saya menuliskan soal pada kertas warna, lalu saya tempel di kertas HVS. Saya juga sediakan kolom untuk menjawab. Sayangnya, waktu itu saya tidak sempat men-scan-nya untuk dokumentasi pribadi saya. Soalnya, membuatnya lumayan berjam-jam. Di akhir perangkat itu, saya memberikan lembar tambahan, lembar inspirasi. Isinya saya kutip dari tulisan di blog seseorang. Beberapa kata-katanya saya edit. Nah bagaimana isi lembar inspirasi itu? Beginilah rupanya.


Inspirational Share


Bekerja keras itu menghasilkan, bekerja cerdas itu melipatgandakan, dan bekerja ikhlas itu menenteramkan.
(Jamil Azzaini)


Kerja keras mengandalkan satu potensi dari diri kita, yaitu tenaga (ability) dan biasanya lebih bersifat hard skill. Kerja cerdas adalah kolaborasi antara tenaga (hard skill) dan pikiran (soft Skill). Hasil dari kerja cerdas adalah sebuah sikap kerja yang “out of the box”, inovatif, dan imajinatif. Sang pekerja cerdas tidak hanya memikirkan bagaimana caranya segera menyelesaikan sebuah pekerjaan, tetapi juga memikirkan, memahami dan menghayati bagaimana proses kerja tersebut. Orang yang hanya mengandalkan kerja keras akan lebih cepat mengalami kejenuhan dan kelelahan. Tetapi bagi seorang pekerja cerdas, ia akan terus mendapatkan nilai tambah bagi kualitas pekerjaannya sehingga ia pun akan terus meningkatkan kemampuannya, wawasannya, dan pemahamannya. Dalam berusaha, baik kerja keras maupun kerja cerdas pada dasarnya harus dibarengi dengan sikap ikhlas. Ikhlas menerima apapun nantinya hasil kerja yang telah diusahakan dengan maksimal. Jadi, agar kerja keras dan kerja cerdas kita lebih mengasyikkan dan menyenangkan, sertakanlah selalu keikhlasan. Karena dengan ikhlas kita akan lebih tentram.





~Wenny Pangestuti~