February 27, 2016

Senyum Dari dan Untuk Sahabat


Judul Buku: Senyum Sahabat
Penulis: Eidelweis Almira
Penerbit: Euthenia, Jakarta
Tahun Terbit: 2015, Cetakan I
Tebal: 156 hlmn + iv, 13 x 19 cm

Persahabatan tidak sebatas antar mereka yang berusia muda. Persahabatan juga tidak sebatas berada pada dinding sekolah atau kuliah. Begitulah ini cerita dari buku ini. Saya kira ini adalah novel. Ternyata buku ini adalah kumpulan cerpen Eidelweis Almira yang bertemakan tentang sahabat, khususnya senyum sahabat. Senyum dari dan untuk sahabat walaupun pernah melalui masa-masa sulit, masa-masa kesalahpahaman, dan masa-masa hampir mementingkan keegoan masing-masing. Semua perselisihan dan kesalahpahaman pada akhirnya mampu terselesaikan dan bermuara pada senyum pengertian antar-sahabat.

Awal membaca buku ini saya cukup terkesan. Saya suka dengan gaya bahasa penulisannya. Sederhana, ringan, dan mengalir. Penulisnya tidak terlalu menggunakan bahasa yang puitis. Benar-benar denotatif dan nyaman dibaca. Selain itu, tampilan jenis dan ukuran huruf yang digunakan rapi, membuat pembaca terasa nyaman melihat dan membacanya.

Dari segi ide cerita, saya juga suka. Ide ceritanya sederhana, nyaman dan menghibur pembaca. Ada bagian-bagian dari cerita yang memicu rasa penasaran pembacanya.

Ada empat cerpen di dalamnya. Dari keempat cerpen tersebut, saya suka tiga cerpennya, yaitu ‘Terpeleset Sahabat’; ‘Dua Anak Dua Ibu’; dan ‘Kepingan Dua Hati’. Tema sahabat yang diusung dikemas dengan gaya cerita yang tidak klise seperti cerita bertema sahabat yang pernah ada. Benar-benar alami. Dialog antar tokoh juga sepeti dialog dalam kehidupan nyata. Pemilihan setting tempat dan keadaan, serta karakter tokoh pada setiap cerita berbeda dan menarik. Cerpen ‘Terpeleset Sahabat’ mengambil setting tempat di lingkungan kerja bagian HRD dan marketing klub Golf. Sedangkan cerpen ‘Dua Anak Dua Ibu’ menceritakan tentang kehidupan dua anak yang baru masuk SMP dan mempunyai ibu yang berbeda karakternya masing-masing, tetapi justru pernah saling mengenal di masa lalu. Cerpen ‘Kepingan Dua Hati’ menceritakan dunia kerja redaktur majalah Pariwisata yang dibumbui aroma cinta antar-partner kerja. Semuanya memberi wawasan baru buat saya secara pribadi, khususnya mengenai gambaran dunia kerja seorang marketer dan redaktur pelaksana sebuah majalah. Hal yang memang sebenarnya saya penasaran tentangnya dan hanya lebih sering mendengar nama profesinya.

Dari ketiga cerpen yang saya suka tersebut, menurut saya ‘Terpeleset Sahabat’ dan ‘Kepingan Dua Hati’ layak untuk dikembangkan menjadi novel. Sebab kalau hanya berhenti di cerpen, rasanya masalah yang muncul dalam cerita terlalu singkat dan terlalu cepat penyelesaiannya. Padahal ide ceritanya menarik.

Sedangkan cerpen keempat ‘The Hang Ten’, sebenarnya layak juga dikembangkan menjadi novel, tetapi saya kurang suka dengan ide ceritanya serta karakter tokoh-tokohnya. Cerpen ini menceritakan persahabatan pada umumnya, yang berorientasi di lingkungan kuliah. Saya kurang suka dengan karakter anak kuliah yang pikirannya cuma seru-seruan dan seperti itulah inti ceritanya.

Kekurangan dari novel ini adalah masih adanya salah ketik di sana-sini sehingga membuat beberapa makna cerita atau dialog menjadi ambigu. Pada halamana 28 yang seharusnya,

“Kok kamu tahu kalau Pak Robert punya tato, Yos?”

Tetapi justru,

“Kok kamu tahu kalau Pak Robert punya tato, Nit?"

Pada halaman 55 yang seharusnya,

Dino mendekat lagi ke arah Romi …

Tetapi justru,

Dino mendekat lagi ke arah Dino …

Sedangkan pada halaman 67 makna ceritanya terkesan ganjil. 
Romi hanya tersenyum melirik Dino yang manyun sambil melirik Syeila yang tersenyum, senang melihat anaknya mulai bisa menerima persahabatan dengan Dino.

Sebagai penutup buku ini cukup menarik untuk dijadikan bacaan ringan dan menghibur di kala senggang. Membacanya tak perlu mengerutkan kening. Setidaknya kita bisa belajar mengenai arti dari persahabatan yang tak selalu diwarnai canda dan tawa saja, tetapi adakalanya diwarnai permasalahan yang menguji ketulusan hati antar-sahabat. Jadi, saya ucapkan, “Selamat membaca!”


~Wenny Pangestuti~

February 02, 2016

Cause Life is Never Flat


Kalau mau hidup tanpa masalah, rasanya itu tidak mungkin. Kalau hidup mau enak-enak saja tanpa beban, tanpa kesulitan, tanpa pengorbanan, ya itu juga tidak mungkin. Kalau memang mau hidup yang demikian, ujung-ujungnya hidup menjadi biasa-biasa saja, tak berarti, tak bermakna, alias hanya ‘nyumpek-nyumpeki’ isi Bumi.

Dimana-mana kalau mau mencapai sukses atau meraih yang kita inginkan, harus melalu jalan yang berliku; ada hal yang harus kita perjuangkan, kita korbankan; dan harus ada stress yang dirasakan, hingga jatuh bangun dalam usaha meraihnya. Gak bisa jalannya mulus-mulus saja. Pasti ada masa kita merasa gelisah dan letih, seolah-olah kapan perjalanan ini, perjuangan ini, pengorbanan ini akan berakhir. Mau berhenti atau mencari jalan lain, rasanya sama saja. Semua alternatif jalan atau cara akan memberikan tawaran tantangan, kesulitan, dan keletihannya masing-masing.

Pernah ada saat saya merasa berat menghadapi masa, seperti masa kuliah ketika saya akhirnya menempuh mata kuliah KKPPL (Kuliah Kerja Praktek Pengalaman Langsung), yaitu melakukan praktek mengajar langsung di sekolah sesuai penempatan dari kampus. Terus terang saya sering betanya-tanya apa saya salah jurusan ya memilih ilmu pendidikan. Sebab, saya sebenarnya tipe introvert. Bagi saya tak mudah untuk berinteraksi dengan banyak orang. Bagi saya, butuh kekuatan besar dalam diri saya untuk sekedar membagun interaksi dengan orang lain. Yang mungkin bagi sebagian besar orang itu mudah-mudah saja, tapi bagi saya hal itu luar biasa tantangan. Makanya, saya was-was melalui masa KKPPL karena saya akan tampil di hadapan banyak anak di kelas. Apalagi saya ditempatkan di smp, yang usia anak-anaknya adalah ABG. Tentu mereka bukan tipe anak yang manut-manut aja, tapi sudah mulai kritis.

Namun ketakutan tersebut, keengganan tersebut mau gak mau harus dilalui, harus dihadapi. Saya berusaha mengerahkan energi, melawan kekhawatiran saya semampu yang saya bisa. Hasilnya, sambil berjalannya waktu saya menjalani KKPPL, tidak terasa bahwa sebenarnya saya mampu melalui kekhawatiran saya. Bahkan saya menemukan banyak nilai dari pengalaman baru saya itu, seperti nilai pelajaran dari perkenalan saya dengan guru pamong yang inspiratif dan unik; nilai cinta dan kasih sayang dengan para siswa kelas 8F, kelas saya mengajar; nilai pengalaman hidup yang berharga. Terus terang selama menjalani masa KKPPL, saya sering bergumam, “Kapan masa sulit akan berakhir. Aku sungguh payah!” Namun, aku pun membatin, “Sabar, sabar, sabar semua ini akan selesai. Setelah kesulitan, ada kemudahan.” Dan, ternyata benar. Tanpa terasa, KKPPL pun berakhir. Benar-benar tidak terasa dan tidak menyangka bahwa sebenarnya waktu 3 bulan itu sebentar. Hanya butuh waktu 3 bulan untuk melawan kekhawatiran ini. Bahkan, hasilnya menimbulkan kesan kelegaan, syukur, bangga, dan bahagia bahwa aku bisa melalui hal tersebut. Tentu Anda bisa merasakan, kan, kelegaan yang luar biasa dalam diri Anda saat berhasil menghadapi masa sulit yang Anda takutkan dengan keberanian yang dikerahkan dan mau gak mau dipaksakan? Rasanya, tuh, plong-nya di sini!

Percayalah, setiap kita akan melalui berlapis-lapis kesulitan, kekhawatiran, ketakutan, kepayahan. Setelah tantangan satu berlalu, nantinya akan datang lagi tantangan baru. Begitulah hidup. Adakalanya memberi jeda kita dengan takut dan payah, adakalanya memberi jeda kelegaan dan kebahagiaan. Yang kalo kita renungkan bahwah hal ini memberi nilai tambah pada kualitas pribadi kita.

Begitulah cara saya selalu me-refresh pikiran saya, menghibur diri saya di kala saya melalui masa-masa sulit, masa-masa penuh kekhawatiran, masa-masa penuh kepayahan, seperti masa saya menyelesaikan skrispi dengan status mahasiswa kadaluarsa (karena gak lulus tepat waktu); seperti sekarang saya melalui masa diserang pertanyaan memojokkan, “Kapan nikah?”,””Kalo gak pacaran, gimana ketemu jodoh?”,”Cepat nikah, keburu tua, gak laku2.”; dan seperti masa sekarang saya mengalami kepayahan menjadi seorang guru: menyiapkan bahan ajar di kelas, membuat perangkat pembelajaran, menghadapi anak-anak yang seringkali sulit dikendalikan, mengikuti program-program sekolah, dll. Setiap kali saya merasa tertekan, saya ingat-ingat kembali bahwa saya sudah pernah melalui masa payah dan sulit. Saya yakin kelak ada masa saya merasakan kelegaan, buah usahan saya mengahadapi masa sulit tersebut. I believe it!



~Wenny Pangestuti~