May 24, 2014

Dilema Muda-Mudi


Teringat pada apa yang pernah terlisankan dari ucapan seseorang. Perempuan. Tatkala ia mengatakan, “Kalau begini, rasanya pengen cepat menikah saja. Hidup menyendiri susah. Ingin mencari sang pencari nafkah sehingga kita nggak susah-susah mikirin cari uang sendiri.”

Ya..begitulah. Hidup di alam sekulerisme-kapitalis. Kesempitan hidup kian terasa. Semuanya berhubungan dengan uang. Uang seratus ribu rupiah pun menjadi tak bernilai untuk mencukupi hidup saat ini. Dalam satu hari pun bisa terkuras nyaris habis. Beli apa saja ya? Apa kita yang terlalu boros atau memang biaya hidup sekarang mahal? Apalagi untuk kantong seorang mahasiswa, uang segitu tak akan berumur lama di dompet. Oleh karenanya, selain tak pintar-pintar memanajemen keuangan, kurang gesit, kreatif atau berdaya juang tinggi tahan banting mencari sumber-sumber penghasilan, hidup akan kian melilit, tercekik tuntutan kehidupan yang tidak gratis. Siapa pun itu. Tanpa pandang bulu, baik laki-laki maupun perempuan.

Barangkali kalau ngomongin kerja bagi ukuran seorang laki-laki itu sudah biasa. Memang secara kodratnya nanti dalam keluarga, laki-laki memiliki tanggung jawab menafkahi keluarga, salah satunya dengan bekerja. Namun bagi perempuan, bekerja itu sifatnya boleh-boleh saja dalam sudut pandang Islam selama itu tidak mengabaikan kewajibannya nanti sebagai istri dan ibu rumah tangga, juga terjaga kehormatannya.

Namun, yang menjadi soal adalah tatkala bekerja seolah menjadi sesuatu tuntutan yang tak terelakan bagi seorang perempuan. Perempuan tidak bekerja, identik jauh dari kemandirian. Perempuan tidak bekerja, seolah menyia-nyiakan gelar yang telah tersemat dari hasil studi pendidikan tingginya. Atau perempuan tidak bekerja, mau dibawa kemana nasib anak-anaknya karena mengandalkan gaji suami rasa-rasanya tak mencukupi. Bagi perempuan single yang baru lulus kuliah, rasa-rasanya kalo nggak kerja dulu tidak afdal, apalagi langsung minta dinikahkan, mana balas budinya ke orang tua! #Jendreng! Padahal yang bersangkutan sudah ingin atau punya harapan segera menikah, eh terhalang tuntutan tersebut. Ya..akhirnya perempuan mau tidak mau digiring menjadi pekerja. Tenyata bekerja atau mencari kerja pun juga tak semudah yang dibayangkan. Seringkali harus mempertaruhkan kehormatan atau keamanan diri.

Sebenarnya ketika diberi pilihan, tentu kami para kawula muda memilih menikah muda. Tapi apalah daya, keadaan seringkali tak mendukung. Sebenarnya kalau mau disurvei satu persatu, para perempuan menunggu (pinangan seorang lelaki). Di sisi lain, para lelaki minder untuk melangkah maju, lantaran kemapanan yang belum terjamin. Walaupun sebenarnya menikah tak harus menunggu mapan dulu, kemapanan seolah menjadi tolak ukur seseorang dikatakan siap menikah atau tidak. Kalau belum mapan, jangan berharap besar, ‘mau dikasih makan apa anak saya!’ Sungguh nian. Alam sekulerisme-kapitalis menilai uang sebagai segala-galanya, akhirnya membelenggu muda-mudi merealisasikan fitrahnya, menunaikan ibadahnya: berkasih-sayang, membangun kerja sama yang solid bernafaskan ketaatan dalam ikatan suci pernikahan.



~Wenny Pangestuti~

May 17, 2014

Bapak, Ibuku...


Bapak, Ibuku...
Kutatap wajahmu berdua
Kini kian hari kian senja
Sejujurnya aku takut jika aku harus kehilangan  kalian berdua dalam hidupku
Namun, hidup ini hanyalah sesaat
dan masing-masing diri kita hanyalah milik Allah

Bapak, Ibuku...
Kukenang masa bersamamu dari kecil hingga aku beranjak dewasa sekarang
Seringkali sesal yang kurasa
karena menyia-nyiakan waktu tanpa banyak memberi kebanggaan kepadamu
masih menyisakan kekhawatiran dalam diri kalian terhadapku

Bapak, Ibuku...
Waktu pun berbicara
Engkau semakin tua
dan aku semakin dekat dengan perpisahan denganmu
Kelak ketika nyawa ini masih melekat
Tibalah masa Bapak menikahkan aku
Menyerahkan kewaliannya pada lelaki asing calon pendamping hidupku
Tibalah masa aku juga akan mengalami peran seperti Ibu

Bapak, Ibuku...
Semakin hari semakin kupikir
Benarlah bahwa hidup ini hanyalah sementara
Tak abadi
Hanyalah di akhirat kelaklah kesejatian hidup terlaksana
Dan aku berharap..
Bahwa aku dan engkau berdua tetap dapat menyatu di Surga nanti
Ridhailah jalan hidupku ini
Menjadi penebar risalah islam yang suci ini
Menjadi pengemban dakwah
Agar Allah menyematkan kelayakan padaku sebagai golongan penghuni surga
Pun demikian denganmu, Bapak, Ibuku...
Ku berharap sebelum ajal menjemput di antara kita
Dapat kurangkul engkau dengan tali Islam Kaaffah

Bapak, Ibuku, sungguh aku menyayangimu berdua karena Allah



~Wenny Pangestuti~

May 10, 2014

"I Have A Dream"


Suatu hari guru saya pernah bertanya, “Bagaimana kabarnya?” Lalu saya menjawab,” Alhamdulillah baik, Pak!” Kebetulan guru saya yang bertanya adalah laki-laki. Lalu saya melanjutkan, “Jatuh bangun mengejar mimpi.” Beliau membalas, “Mimpi kok dikejar. Mimpi itu diraih.” Saya pun berdalih, “ Iya, Pak.. Maksudnya mengejar dalam rangka meraih..”

Mimpi. Setiap orang mungkin pernah bermimpi, berangan tentang apa pun yang menjadi impian atau harapannya. Hal yang wajar terjadi pada manusia. Karena setiap manusia dikaruniai naluri eksistensi diri atau gharizah baqa’. Dengan mimpi itulah ia ingin dapat mempertahankan eksistensinya di dunia, di hadapan banyak orang.

Mimpi menjadi sebuah alasan manusia untuk bertahan hidup. Tanpa mimpi, manusia ibarat hidup segan, mati tak mau. Mimpi menjadi sebuah motivasi internal dalam diri manusia. Walaupun dalam hal ini bisa jadi setiap dari kita punya jenis mimpi yang berbeda. Ada yang memiliki mimpi setinggi langit. Ada pula yang memiliki mimpi yang sederhana, tapi bagi sebagian orang bermakna. Tapi di antara beragam macam mimpi yang mengantung dalam kotak imajinasi setiap orang di dunia ini, mimpi tertinggi yang seharusnya dimiliki seorang muslim adalah SURGA.

Harus senantiasa kita recharge dalam memori ingatan kita bahwa sekalipun dunia ini menawarkan banyak gemerlap kesenangan yang menggiurkan, kehidupan dunia ini adalah fana. Tak abadi. Sementara. Kehidupan sejati umat manusia adalah kehidupan setelah kematian. Sehingga harus diberi underline yag tebal bahkan diblok dengan warna yang terang untuk menetapkan mimpi dan rencana jangka panjang kita berorientasi akhirat, berorientasi meraih ridla Allah subhanallahu ta’ala, berorientasi meraih SURGA.

Namun, benarlah apa yang disampaikan guru saya bahwa tidaklah cukup bermimpi. Bermimpi saja hanya menjadikan kita sebagai pemimpi alias pengkhayal, menempatkan mimpi hanya pada kotak imajinasi. Mimpi juga tidak cukup dikejar. Karena mengejar mimpi belum memiliki indikator yang jelas. Tapi mimpi itu untuk diraih. Kalau diraih kan menjadi jelas indikatornya, seperti tangan kita hendak memegang erat mimpi kita yang masih mengantung di atas.

Tak lupa bahwa bermimpi tak lengkap kiranya bila hanya diendapkan dalam angan, dalam kotak imajinasi. Mimpi perlu kita kita ‘prasastikan’ agar senantiasa dapat kita lihat setiap saat sebagai reminder, misalnya kita tuliskan dalam buku khusus atau kertas yang bisa kita tempel di tempat strategis, yang kita bisa lihat seseringmungkin. Sebab, tak bisa dipungkiri kapasitas mengingat otak kita terbatas sehingga bisa saja mimpi dan harapan kita terlupakan karena diterjang informasi-informasi baru yang kita serap, baik itu positif maupun negatif. Jadi, dengan kita ‘memprasastikannya’ akan membantu kinerja otak kita untuk mengingat dan fokus meraihnya. :)

Sebagai penutup, saya ingin berbagi sedikit inspirasi. Berbicara tentang mimpi, saya pernah menuliskan sesuatu di buku yang bersampulkan tulisan The Adventure.

My life, kata-kata yang menarik buatku untuk melukis cerita hidupku dalam kertas demi kertas. My life jugalah yang menjadi salah satu judul album dan lagu milik Sherina.

Banyak hal memang yang kuharapkan hingga aku sendiri sulit untuk merunutnya satu per satu. Aku ingin kecenderunganku menulis menjadi berarti di dunia ini. Ingin ada buku yang berhasil kutulis. Ingin aku mencetuskan sesuatu bernama Secangkir Kopi Pemikiran. Entah apakah itu blog atau lembaga kepenulisan. Membina insan-insan penerus untuk melahirkan karya-karya tulis baru bagi peradaban. Aku ingin perhatianku pada dunia pendidikan, utamanya mengenai pendidikan anak dan remaja serta peran wanita dalam pendidikan berwujud nyata dalam kehidupan. Entah hanya melalui blog atau lembaga pendidikan WELL (Wei_Ni’s Education Literatury Land). Membina penuntut ilmu dengan ilmu yang disuasanakan dengan keimanan.

Namun, di antara harapan yang entah tahu akan terwujud atau tidak, harapan yang paling kudamba dan itu juga merupakan bagian dari ibadah kepada Allah adalah menjadi ummun wa rabbatul bait (ibu dan pengatur rumah tangga). Ibu yang dengan amanah merawat dan mendidik putra-putrinya, menyiapkannya menjadi generasi unggul bagi peradaban. Ibu yang dengan tanggung jawab mengelola rumah tangga dengan baik, menjadikan rumah menjadi tempat yang nyaman untuk rekreasi setelah bergelut di dunia luar; dan kondusif untuk belajar ilmu kehidupan antarsesama anggota keluarga.

Dan di antara semua harapan itu pulalah ada kewajiban yang tak terabaikan pula, yaitu menjadi ibu generasi, yang membina umat dengan Islam, beramar ma’ruf nahi munkar, yang memiliki kesadaran politik bahwa kehidupannya dan keluarganya tak lepas dari pengaruh kontrol masyarakat dan peran negara sehingga peran ibu generasi tak lepas sebagai ‘muhasabator’ penguasa untuk tetap menjalankan kehidupan bermasyarakat, bernegara, senantiasa dalam koridor hukum syara’.

Maka, inilah harapan-harapan yang menari-nari dalam kotak imajinasiku. Berharap itu tak sekadar tersimpan saja, melainkan mampu membumbung tinggi, mewujud nyata.

Bismillahi tawakaltu. Senantiasa move on! 


~Wenny Pangestuti~