Suatu
hari guru saya pernah bertanya, “Bagaimana kabarnya?” Lalu saya menjawab,”
Alhamdulillah baik, Pak!” Kebetulan guru saya yang bertanya adalah laki-laki.
Lalu saya melanjutkan, “Jatuh bangun mengejar mimpi.” Beliau membalas, “Mimpi
kok dikejar. Mimpi itu diraih.” Saya pun berdalih, “ Iya, Pak.. Maksudnya
mengejar dalam rangka meraih..”
Mimpi.
Setiap orang mungkin pernah bermimpi, berangan tentang apa pun yang menjadi impian
atau harapannya. Hal yang wajar terjadi pada manusia. Karena setiap manusia
dikaruniai naluri eksistensi diri atau gharizah
baqa’. Dengan mimpi itulah ia ingin dapat mempertahankan eksistensinya di
dunia, di hadapan banyak orang.
Mimpi
menjadi sebuah alasan manusia untuk bertahan hidup. Tanpa mimpi, manusia ibarat
hidup segan, mati tak mau. Mimpi
menjadi sebuah motivasi internal dalam diri manusia. Walaupun dalam hal ini
bisa jadi setiap dari kita punya jenis mimpi yang berbeda. Ada yang memiliki
mimpi setinggi langit. Ada pula yang memiliki mimpi yang sederhana, tapi bagi
sebagian orang bermakna. Tapi di antara beragam macam mimpi yang mengantung
dalam kotak imajinasi setiap orang di dunia ini, mimpi tertinggi yang
seharusnya dimiliki seorang muslim adalah SURGA.
Harus senantiasa kita recharge dalam memori
ingatan kita bahwa sekalipun dunia ini menawarkan banyak gemerlap kesenangan
yang menggiurkan, kehidupan dunia ini adalah fana. Tak abadi. Sementara.
Kehidupan sejati umat manusia adalah kehidupan setelah kematian. Sehingga harus
diberi underline yag tebal bahkan
diblok dengan warna yang terang untuk menetapkan mimpi dan rencana jangka
panjang kita berorientasi akhirat, berorientasi meraih ridla Allah subhanallahu
ta’ala, berorientasi meraih SURGA.
Namun,
benarlah apa yang disampaikan guru saya bahwa tidaklah cukup bermimpi. Bermimpi
saja hanya menjadikan kita sebagai pemimpi alias pengkhayal, menempatkan mimpi
hanya pada kotak imajinasi. Mimpi juga tidak cukup dikejar. Karena mengejar
mimpi belum memiliki indikator yang jelas. Tapi mimpi itu untuk diraih. Kalau
diraih kan menjadi jelas indikatornya, seperti tangan kita hendak memegang erat
mimpi kita yang masih mengantung di atas.
Tak
lupa bahwa bermimpi tak lengkap kiranya bila hanya diendapkan dalam angan,
dalam kotak imajinasi. Mimpi perlu kita kita ‘prasastikan’ agar senantiasa
dapat kita lihat setiap saat sebagai reminder,
misalnya kita tuliskan dalam buku khusus atau kertas yang bisa kita tempel di
tempat strategis, yang kita bisa lihat seseringmungkin. Sebab, tak bisa dipungkiri kapasitas
mengingat otak kita terbatas sehingga bisa saja mimpi dan harapan kita
terlupakan karena diterjang informasi-informasi baru yang kita serap, baik itu
positif maupun negatif. Jadi, dengan kita ‘memprasastikannya’ akan membantu
kinerja otak kita untuk mengingat dan fokus meraihnya. :)
Sebagai
penutup, saya ingin berbagi sedikit inspirasi. Berbicara tentang mimpi, saya
pernah menuliskan sesuatu di buku yang bersampulkan tulisan The Adventure.
My life, kata-kata yang menarik buatku untuk
melukis cerita hidupku dalam kertas demi kertas. My life jugalah yang
menjadi salah satu judul album dan lagu milik Sherina.
Banyak hal memang yang kuharapkan hingga aku
sendiri sulit untuk merunutnya satu per satu. Aku ingin kecenderunganku menulis
menjadi berarti di dunia ini. Ingin ada buku yang berhasil kutulis. Ingin aku
mencetuskan sesuatu bernama Secangkir Kopi Pemikiran. Entah
apakah itu blog atau lembaga kepenulisan. Membina insan-insan penerus untuk
melahirkan karya-karya tulis baru bagi peradaban. Aku ingin perhatianku pada
dunia pendidikan, utamanya mengenai pendidikan anak dan remaja serta peran
wanita dalam pendidikan berwujud nyata dalam kehidupan. Entah hanya melalui
blog atau lembaga pendidikan WELL (Wei_Ni’s Education Literatury
Land). Membina penuntut ilmu dengan ilmu yang disuasanakan dengan
keimanan.
Namun, di antara harapan yang entah tahu akan
terwujud atau tidak, harapan yang paling kudamba dan itu juga merupakan bagian
dari ibadah kepada Allah adalah menjadi ummun wa rabbatul bait (ibu dan pengatur
rumah tangga). Ibu yang dengan amanah merawat dan mendidik
putra-putrinya, menyiapkannya menjadi generasi unggul bagi peradaban. Ibu yang
dengan tanggung jawab mengelola rumah tangga dengan baik, menjadikan rumah
menjadi tempat yang nyaman untuk rekreasi setelah bergelut di dunia luar; dan
kondusif untuk belajar ilmu kehidupan antarsesama anggota keluarga.
Dan di antara semua harapan itu pulalah ada
kewajiban yang tak terabaikan pula, yaitu menjadi ibu generasi, yang
membina umat dengan Islam, beramar ma’ruf nahi munkar, yang memiliki kesadaran
politik bahwa kehidupannya dan keluarganya tak lepas dari pengaruh kontrol
masyarakat dan peran negara sehingga peran ibu generasi tak lepas sebagai
‘muhasabator’ penguasa untuk tetap menjalankan kehidupan bermasyarakat,
bernegara, senantiasa dalam koridor hukum syara’.
Maka, inilah harapan-harapan yang menari-nari
dalam kotak imajinasiku. Berharap itu tak sekadar tersimpan saja, melainkan
mampu membumbung tinggi, mewujud nyata.
Bismillahi tawakaltu. Senantiasa move
on!
~Wenny Pangestuti~