Teringat pada apa yang pernah
terlisankan dari ucapan seseorang. Perempuan. Tatkala ia mengatakan, “Kalau
begini, rasanya pengen cepat menikah saja. Hidup menyendiri susah. Ingin
mencari sang pencari nafkah sehingga kita nggak susah-susah mikirin cari uang
sendiri.”
Ya..begitulah. Hidup di alam
sekulerisme-kapitalis. Kesempitan hidup kian terasa. Semuanya berhubungan
dengan uang. Uang seratus ribu rupiah pun menjadi tak bernilai untuk mencukupi
hidup saat ini. Dalam satu hari pun bisa terkuras nyaris habis. Beli apa saja
ya? Apa kita yang terlalu boros atau memang biaya hidup sekarang mahal?
Apalagi untuk kantong seorang mahasiswa, uang segitu tak akan berumur lama di
dompet. Oleh karenanya, selain tak pintar-pintar memanajemen keuangan, kurang
gesit, kreatif atau berdaya juang tinggi tahan banting mencari sumber-sumber
penghasilan, hidup akan kian melilit, tercekik tuntutan kehidupan yang tidak
gratis. Siapa pun itu. Tanpa pandang bulu, baik laki-laki maupun perempuan.
Barangkali kalau ngomongin kerja
bagi ukuran seorang laki-laki itu sudah biasa. Memang secara kodratnya nanti
dalam keluarga, laki-laki memiliki tanggung jawab menafkahi keluarga, salah
satunya dengan bekerja. Namun bagi perempuan, bekerja itu sifatnya boleh-boleh
saja dalam sudut pandang Islam selama itu tidak mengabaikan kewajibannya nanti
sebagai istri dan ibu rumah tangga, juga terjaga kehormatannya.
Namun, yang menjadi soal adalah
tatkala bekerja seolah menjadi sesuatu tuntutan yang tak terelakan bagi seorang perempuan.
Perempuan tidak bekerja, identik jauh dari kemandirian. Perempuan tidak bekerja,
seolah menyia-nyiakan gelar yang telah tersemat dari hasil studi pendidikan
tingginya. Atau perempuan tidak bekerja, mau dibawa kemana nasib anak-anaknya
karena mengandalkan gaji suami rasa-rasanya tak mencukupi. Bagi perempuan single yang baru lulus kuliah,
rasa-rasanya kalo nggak kerja dulu tidak afdal,
apalagi langsung minta dinikahkan, mana balas budinya ke orang tua! #Jendreng!
Padahal yang bersangkutan sudah ingin atau punya harapan segera menikah, eh
terhalang tuntutan tersebut. Ya..akhirnya perempuan mau tidak mau digiring menjadi
pekerja. Tenyata bekerja atau mencari kerja pun juga tak semudah yang dibayangkan.
Seringkali harus mempertaruhkan kehormatan atau keamanan diri.
Sebenarnya ketika diberi pilihan,
tentu kami para kawula muda memilih menikah muda. Tapi apalah daya, keadaan
seringkali tak mendukung. Sebenarnya kalau mau disurvei satu persatu, para
perempuan menunggu (pinangan seorang lelaki). Di sisi lain, para lelaki minder
untuk melangkah maju, lantaran kemapanan yang belum terjamin. Walaupun
sebenarnya menikah tak harus menunggu mapan dulu, kemapanan seolah
menjadi tolak ukur seseorang dikatakan siap menikah atau tidak. Kalau belum
mapan, jangan berharap besar, ‘mau dikasih makan apa anak saya!’ Sungguh nian. Alam
sekulerisme-kapitalis menilai uang sebagai segala-galanya, akhirnya membelenggu
muda-mudi merealisasikan fitrahnya, menunaikan ibadahnya: berkasih-sayang, membangun kerja sama yang solid bernafaskan ketaatan dalam
ikatan suci pernikahan.
~Wenny Pangestuti~