Aku duduk dengan nyaman
di kursi, yang dikhususkan untukku sebagai notulen dalam sebuah acara seminar.
Aku menyimak betul-betul suara-suara dalam ruangan seminar itu, baik dari para
pemateri maupun para peserta yang mengajukan pertanyaan. Aku mencatat poin demi
poin yang penting. Begitulah, untuk beberapa saat selama berlangsungnya
seminar.
Tatkala aku sedang
berelaksasi dari kondisi monotonku, tiba-tiba pandanganku mengarah tak sengaja
pada sosok yang berada di antara kursi peserta. Dia.
“Apa kabar dia?” dalam
hatiku. Lama tak menjumpainya. Namanya bak hilang ditelan bumi. Tak ada yang
mengetahui keberadaannya ketika aku bertanya pada setiap orang yang kujumpai,
yang juga mengenalnya. Padahal ia adalah sosok yang fenomenal dan terkenal pada
masanya. Masa ia berjaya dengan ketokohannya yang kontroversi. Ia adalah sosok
yang vokal menyuarakan aspirasinya di tengah kami, rekan-rekanya. Namun,
kevokalannya tak menjadikan ia sebagai sosok yang dicintai oleh lingkungannya.
Ia banyak ditentang, dihujat dan lambat laun diacuhkan dalam pergaulan.
Begitulah realita seringkali tak berpihak pada keidealisannya sekalipun itu
adalah kebenaran.
Tak berlama-lama menoleh
ke arahnya, aku memainkan kembali peranku sebagai notulen. Begitulah
selanjutnya hingga waktu seminar usai. Kutoleh kembali ke arahnya tadi berada.
Tak ada. Kursinya telah kosong. Dia sudah meninggalkan ruangan terlebih dahulu.
Aku beranjak dari kursiku, setengah berlari menuju ke arah pintu keluar gedung
seminar tersebut. Kulihat ke segala penjuru pelataran gedung tersebut, tak ada.
Dia tak ada.
Tiba-tiba, sebuah tangan
menepuk bahuku dari belakang.
“Ren, ngapain?” Temanku
yang juga turut andil dalam seminar tadi. “Yuk, udah ditunggu sama teman-teman
di dalam. Makan-makan.”
Ku balas dengan senyum kecil, "Duluan saja. Aku nyusul." Kembali kulihat ke arah pelataran gedung yang perlahan kian sepi ditinggal peserta seminar yang berlalu. Tak ada sosoknya. Tak lagi menjumpainya. Entah hari lain.
~Wenny Pangestuti~