Ia semakin tidak memahami
perasaannya. Setiap kali lagu itu ia putar, maka semuanya akan identik dengan orang
itu. Seolah lagu itu telah menjadi soundtrack
kisahnya dengan orang itu. Kisah yang tak pernah ada sebenarnya. Kisah yang hanya
bersarang dalam kotak imajinasinya belaka sebenarnya.
Kesamaannya dengan orang itu adalah
orang itu duplikatnya masa silam. Masa dimana ia identik dengan keperfeksionisan;
scheduler, nekad-er, percaya diri-der.
Sejak masuk dalam kamar orang itu tanpa ia sengaja, ia membaca mimpi-mimpi
orang itu seperti bercermin pada kaca dan ada ia di sana. Orang itu bagaikan ia.
Ia bagaikan orang itu.
Tapi ia tidak dapat berharap lebih.
Sebab satu, karena keluarga. Keluarganya dan keluarga orang itu sudah cukup
dekat dan sudah cukup menjadi saudara tanpa harus ada pertalian yang baru.
Hanya akan menjadi badai tersembunyi yang lambat laun menjadi jembatan penyekat
bahkan pemisah antara dua keluarga tersebut ketika harapan baru nekad
disuarakan. Hal yang tak akan diduga sebelumnya oleh semuanya mungkin, kenapa
hal ini bisa terjadi, meskipun sah-sah saja terjadi. Dua, karena perbedaan
pandangan hidup, walaupun ada satu hal yang membuatnya sebenarnya bisa
menolerir. Orang itu masih mewarisi kereligiusan yang berarti walau tak
sinergi. Tiga, karena hanya ia lakon tunggal sebenarnya dalam hal ini. Bagi
orang itu mungkin ia tak ada dalam kotak cerita hidup orang itu. Tapi baginya, orang
itu ada dalam narasi masa depannya. Alasan ketigalah ini yang pantas
menyematkannya sebagai pemimpi ulung. Bagai punguk merindukan bulan.
Biarlah waktu yang berbicara. Semuanya masih ada kemungkinan karena bukan yang terlarang, tetapi tersekat kekolotan pemikiran dan adat istiadat warisan. Kita kembalikan pada Yang Maha Pengatur.
~Wenny Pangestuti~