June 14, 2014

Menyalakan Lentera Mimpi

Bapak...
Adik...
Maafkanlah aku..
Bukanlah karena aku tak peduli
pada jerih payahmu..
Tapi kulakukan ini karena penuh
makna yang berarti dalam hidupku

Ini juga bukanlah wujud keegoisanku
semata
Ini tentang kita bersama
Menjadi aku yang baik untuk
bersama
Agar tak ada benalu atau belenggu
dalam ruang pikir bersama

Ini tentang masa depan
Masa depan yang ingin kujemput
dengan yakin, benar, dan bahagia



~Wenny Pangestuti~

June 07, 2014

Menciptakan Pagi


 Menciptakan pagiku
Dengan membangunkan diri lebih awal
mendahului sang fajar

Menerjang keengganan
dengan mengguyurkannya pada badan
kedinginan air malam

Membangun romantisme
dalam mihrab cintai ilahi

Meneguk ketenangan
dengan ayat-ayat cinta
yang terlisankan dengan terbata-bata

Memeluk kedamaian
dengan dekapan hangat
secangkir kopi
yang menyembulkan asap-asap transparannya
ditemani sepotong kue
yang menggugah selera

Lalu menorehkan tinta
untuk sekedar merancang alur
yang ‘kan dilalui hari ini
Atau menumpahkan riak-riak di hati
yang tak terlukiskan oleh lisan

Begitulah pagi
yang berusaha dan selalu
aku ciptakan ...



~Wenny Pangestuti~

June 04, 2014

Posible or Imposible?



Ia semakin tidak memahami perasaannya. Setiap kali lagu itu ia putar, maka semuanya akan identik dengan orang itu. Seolah lagu itu telah menjadi soundtrack kisahnya dengan orang itu. Kisah yang tak pernah ada sebenarnya. Kisah yang hanya bersarang dalam kotak imajinasinya belaka sebenarnya.

Kesamaannya dengan orang itu adalah orang itu duplikatnya masa silam. Masa dimana ia identik dengan keperfeksionisan; scheduler, nekad-er, percaya diri-der. Sejak masuk dalam kamar orang itu tanpa ia sengaja, ia membaca mimpi-mimpi orang itu seperti bercermin pada kaca dan ada ia di sana. Orang itu bagaikan ia. Ia bagaikan orang itu.

Tapi ia tidak dapat berharap lebih. Sebab satu, karena keluarga. Keluarganya dan keluarga orang itu sudah cukup dekat dan sudah cukup menjadi saudara tanpa harus ada pertalian yang baru. Hanya akan menjadi badai tersembunyi yang lambat laun menjadi jembatan penyekat bahkan pemisah antara dua keluarga tersebut ketika harapan baru nekad disuarakan. Hal yang tak akan diduga sebelumnya oleh semuanya mungkin, kenapa hal ini bisa terjadi, meskipun sah-sah saja terjadi. Dua, karena perbedaan pandangan hidup, walaupun ada satu hal yang membuatnya sebenarnya bisa menolerir. Orang itu masih mewarisi kereligiusan yang berarti walau tak sinergi. Tiga, karena hanya ia lakon tunggal sebenarnya dalam hal ini. Bagi orang itu mungkin ia tak ada dalam kotak cerita hidup orang itu. Tapi baginya, orang itu ada dalam narasi masa depannya. Alasan ketigalah ini yang pantas menyematkannya sebagai pemimpi ulung. Bagai punguk merindukan bulan.

Biarlah waktu yang berbicara. Semuanya masih ada kemungkinan karena bukan yang terlarang, tetapi tersekat kekolotan pemikiran dan adat istiadat warisan. Kita kembalikan pada Yang Maha Pengatur.



~Wenny Pangestuti~

Di Stasiun



Menjelang siang kukayuh sepeda menuju stasiun di kota tempatku berada, untuk membeli tiket perjalanan pulang nanti sore. Dengan sistem pelayanan kereta api yang baru, aku menjadi bingung, tak tahu-menahu cara melakukan pemesanan tiket kereta. Ternyata untuk membeli tiket harus mengisi formulir pemesanan dulu. Itu informasi yang kuperoleh setelah bertanya pada salah seorang perempuan, yang juga akan membeli tiket.
“Permisi, Mbak! Itu apa ya? Apa harus mengambil itu dulu ya?” tanyaku ambil menunjuk ke arah lembar formulir yang dipegang oleh perempuan tersebut tatkala mengantri di depan loket.
“Oh iya, Mbak, ngisi ini dulu,” jawab perempuan tersebut sambil mengarahkan ke arah tempat lembar formulir itu bisa diambil.
Ketika aku mulai mengisi formulir, ada beberapa hal yang membuatku bingung, bagaimana cara mengisi beberapa kolom di dalamnya. Aku menoleh kesana kemari. Tak ada petugas yang membimbing dan tak ada contoh pengisiannya. Namun, ternyata contoh pengisiannya telah tersedia di meja penulisan formulir. Hanya saja saat itu tertutupi oleh orang yang juga tengah mengisi formulir di meja tersebut.
Lalu kucoba beranikan diri lagi bertanya pada seorang lelaki di sampingku, “Mas, ini bagaimana maksudnya?” Lelaki itu pun menjelaskan dengan singkat. Aku bertanya dan mendengar penjelasan singkatnya tanpa menoleh sedikit pun pada wajahnya. Setelah beberapa saat, baru kusadari bahwa lelaki itu adalah...teman satu kelasku di salah satu perkuliahan yang aku ikuti, Si Ketua Kelas. Ia melenggang pergi dengan tak acuh meninggalkanku menuju antrian loket. Baginya aku ini siapa, yang perlu diingat. Tapi bagiku dan teman-teman yang lain bagaimana mungkin tidak mengingatnya. Bahkan mungkin memilki nomor handphone-nya perlu agar tak ketinggalan informasi penting mengenai perkuliahan yang kami ikuti.
Aku masih dengan formulir itu. Karena sedikit heboh sendiri melakukan pemesanan tiket, aku nyaris kehilangan handphone. Aku meletakkanya di meja pengisian formulir lalu berlalu ke arah jadwal waktu keberangkatan kereta tanpa teringat sedikit pun pada handphone tersebut. Ketika merogoh isi tas, baru kusadari handphone-ku tak ada. Lalu berlalu lalanglah aku kesana kemari, mencari keberadaan handphone tersebut. Di meja formulir tak ada. Akhirnya, kuputuskan meminta tolong pada petugas security setempat. Alhamdulillah, ternyata ada seorang wanita yang telah menyelamatkan handphone-ku, dengan menyerahkannya ada petugas security di sana. Fiuh, alhamdulillah. Dalam hati, terima kasih kutujukan kepada mbak yang pertama kali memberi tahu prosedur pemesanan tiket tadi, pak ketua kelas dan mbak penemu handphone-ku karena hari ini telah membantuku di stasiun. :)


~Wenny Pangestuti~

June 01, 2014

Apa Kabar Dia?


Aku duduk dengan nyaman di kursi, yang dikhususkan untukku sebagai notulen dalam sebuah acara seminar. Aku menyimak betul-betul suara-suara dalam ruangan seminar itu, baik dari para pemateri maupun para peserta yang mengajukan pertanyaan. Aku mencatat poin demi poin yang penting. Begitulah, untuk beberapa saat selama berlangsungnya seminar.

Tatkala aku sedang berelaksasi dari kondisi monotonku, tiba-tiba pandanganku mengarah tak sengaja pada sosok yang berada di antara kursi peserta. Dia.

“Apa kabar dia?” dalam hatiku. Lama tak menjumpainya. Namanya bak hilang ditelan bumi. Tak ada yang mengetahui keberadaannya ketika aku bertanya pada setiap orang yang kujumpai, yang juga mengenalnya. Padahal ia adalah sosok yang fenomenal dan terkenal pada masanya. Masa ia berjaya dengan ketokohannya yang kontroversi. Ia adalah sosok yang vokal menyuarakan aspirasinya di tengah kami, rekan-rekanya. Namun, kevokalannya tak menjadikan ia sebagai sosok yang dicintai oleh lingkungannya. Ia banyak ditentang, dihujat dan lambat laun diacuhkan dalam pergaulan. Begitulah realita seringkali tak berpihak pada keidealisannya sekalipun itu adalah kebenaran.

Tak berlama-lama menoleh ke arahnya, aku memainkan kembali peranku sebagai notulen. Begitulah selanjutnya hingga waktu seminar usai. Kutoleh kembali ke arahnya tadi berada. Tak ada. Kursinya telah kosong. Dia sudah meninggalkan ruangan terlebih dahulu. Aku beranjak dari kursiku, setengah berlari menuju ke arah pintu keluar gedung seminar tersebut. Kulihat ke segala penjuru pelataran gedung tersebut, tak ada. Dia tak ada.

Tiba-tiba, sebuah tangan menepuk bahuku dari belakang.
“Ren, ngapain?” Temanku yang juga turut andil dalam seminar tadi. “Yuk, udah ditunggu sama teman-teman di dalam. Makan-makan.”

Ku balas dengan senyum kecil, "Duluan saja. Aku nyusul." Kembali kulihat ke arah pelataran gedung yang perlahan kian sepi ditinggal peserta seminar yang berlalu. Tak ada sosoknya. Tak lagi menjumpainya. Entah hari lain.


~Wenny Pangestuti~