Hidup di hawa sekulerisme-kapitalis
seringkali menebarkan aroma syak-wasangka. Misalnya dalam hal ini, ada
peminta-minta seringkali merancukan rasa percaya kita apakah ini benar-benar
orang yang tidak mampu; atau orang yang berkedok hanya ingin mendapat senilai
harta dengan cara malas; atau orang yang berniat jahat dengan penipuan. Semua
menjadi rancu. Membuat orang menjadi mudah berprasangka. Membuat orang menjadi
tipis nurani untuk bersedekah.
Pada suatu hari di kontrakanku yang
bernama an-Nahdhah bertamulah seorang ibu setengah baya. Kebetulan akulah yang
menjadi satu-satunya penghuni yang siap-siaga untuk menyambut kehadiran ibu
tersebut. Setelah mempersilakan masuk, ibu itu mulai menyuarakan maksudnya.
Beliau menawarkan jasa pijat. Melihat keadaan tidak memungkinkan karena saat
itu siang hari, sebagian penghuni keluar dan sebagian lagi tidur siang, maka
kutampik tawaran si ibu. Tidak menyerah, si ibu beralur menceritakan latar
belakang mengapa ia melakukan ini. Ternyata suaminya sedang sakit sehingga tak
ada yang mencari nafkah selain terpaksa dirinya, dengan menjadi tukang pijat
keliling. Tapi aneh, karena aku baru menjumpai ibu tersebut sekali ini. Ketika mendengar
dimana rumahnya, kian membuatku bertanya-tanya. Rumahnya di Situbondo atau
Bondowoso, aku lupa. Mengapa ibu itu bisa sejauh ini mencari uang dengan mejadi
tukang pijat keliling. Akhirnya, tetap kutampik tawaran sang ibu.
Ternyata belum usai. Ibu tersebut
meminta uang. Uang pun akhirnya kuberikan. Masih belum selesai. Ibu itu
berlanjut meminta beberapa pakaian bekas
yang mungkin sudah tidak terpakai. Akhirnya, kuberikan jilbab (gamis) hitamku.
Barulah sang ibu berpamitan. Sebelum pergi, ibu itu kuberi ‘oleh-oleh’ tambahan,
berupa buletin dakwah Islam sembari kujelaskan dengan singkat mengenai kondisi
kesempitan hidup saat ini akibat umat islam tidak menjalankan aturan Allah
secara kaffah. Lalu aku meminta doa dan dukungan ibu tersebut terhadap
perjuangan syariah dan khilafah. [Ngawur ga ya aku?]
Astaghfirullah, apa yang sempat
terbesit dalam hatiku. Berkhusnudhan saja bahwa ibu itu tidak berbohong, dengan
mencoba berempati pada keadaan ibu itu. Di zaman sekulerisme-kapitalis kondisi
seperti ibu itu bukan hal yang mustahil ada di sekitar kita. Wajar akhirnya
bila harus mencoba berbagai cara demi bertahan hidup. Ini sekaligus pelajaran
dan ada hikmah di balik peristiwa yang kualami itu.
Pertama, bahwa harus kusyukuri akan
nikmat Allah subhanallahu ta’ala hingga saat ini. Aku yang sering merasa seolah
sengsara dan memilki cobaan berat dengan masalah finansial, masih jauh lebih
beruntung dan tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan kondisi orang-orang di
bawahku, seperti halnya ibu tersebut. Selain itu, aku masih mempunyai orang tua
yang lengkap dan sehat. Mereka pun masih diberi rezeki yang cukup oleh Allah
subhanaalahu ta’ala. Sedangkan orang-orang di bawah kami belum tentu demikian,
termasuk ibu tersebut.
Kedua, kejadian di atas merupakan
satu dari sekian banyak problematika umat di era sekulerisme-kapitalis. Inilah
kekejaman sistem sekulerisme-kapitalis, memaksa kaum wanita harus berdaya
upaya, mengganti posisi suami mencari nafkah. Ya Allah..sungguh menyayat hati.
Seharusnya seorang ibu bisa berkonsentrasi mendidik anak-anaknya, mengatur
rumah tangga, bahkan mampu memperjuangkan Islam di tengah-tengah masyarakat,
tetapi semua peran itu dijauhkan menjadi mesin kapitalis. Masya Allah!
Ketiga, kenapa saat itu aku tidak
membesarkan khusnudzanku pada ibu tersebut dan totalitas memberi. Kita tak
pernah tahu, bisa saja beliau adalah malaikat yang diutus untuk menguji
keikhlasan dan kemurahan (kedermawanan)-ku. Bisa saja doa yang tulus dari
beliau apalagi jika beliau terkategori orang-orang yang terdzalimi, diijabah oleh
Allah subhanallahu ta’ala. Ibu tersebut sempat mendoakanku. Doa yang mengena
dengan kondisiku. Semoga aku cepat lulus. Semoga rezekiku lancar.
Ini pelajaran berharga, memperluas
jangkauan pandangan terhadap kehidupan lebih arif dan bijaksana.
~Wenny Pangestuti~