May 02, 2014

Tamu di Siang Hari


Hidup di hawa sekulerisme-kapitalis seringkali menebarkan aroma syak-wasangka. Misalnya dalam hal ini, ada peminta-minta seringkali merancukan rasa percaya kita apakah ini benar-benar orang yang tidak mampu; atau orang yang berkedok hanya ingin mendapat senilai harta dengan cara malas; atau orang yang berniat jahat dengan penipuan. Semua menjadi rancu. Membuat orang menjadi mudah berprasangka. Membuat orang menjadi tipis nurani untuk bersedekah.

Pada suatu hari di kontrakanku yang bernama an-Nahdhah bertamulah seorang ibu setengah baya. Kebetulan akulah yang menjadi satu-satunya penghuni yang siap-siaga untuk menyambut kehadiran ibu tersebut. Setelah mempersilakan masuk, ibu itu mulai menyuarakan maksudnya. Beliau menawarkan jasa pijat. Melihat keadaan tidak memungkinkan karena saat itu siang hari, sebagian penghuni keluar dan sebagian lagi tidur siang, maka kutampik tawaran si ibu. Tidak menyerah, si ibu beralur menceritakan latar belakang mengapa ia melakukan ini. Ternyata suaminya sedang sakit sehingga tak ada yang mencari nafkah selain terpaksa dirinya, dengan menjadi tukang pijat keliling. Tapi aneh, karena aku baru menjumpai ibu tersebut sekali ini. Ketika mendengar dimana rumahnya, kian membuatku bertanya-tanya. Rumahnya di Situbondo atau Bondowoso, aku lupa. Mengapa ibu itu bisa sejauh ini mencari uang dengan mejadi tukang pijat keliling. Akhirnya, tetap kutampik tawaran sang ibu.

Ternyata belum usai. Ibu tersebut meminta uang. Uang pun akhirnya kuberikan. Masih belum selesai. Ibu itu berlanjut meminta beberapa pakaian bekas yang mungkin sudah tidak terpakai. Akhirnya, kuberikan jilbab (gamis) hitamku. Barulah sang ibu berpamitan. Sebelum pergi, ibu itu kuberi ‘oleh-oleh’ tambahan, berupa buletin dakwah Islam sembari kujelaskan dengan singkat mengenai kondisi kesempitan hidup saat ini akibat umat islam tidak menjalankan aturan Allah secara kaffah. Lalu aku meminta doa dan dukungan ibu tersebut terhadap perjuangan syariah dan khilafah. [Ngawur ga ya aku?]

Astaghfirullah, apa yang sempat terbesit dalam hatiku. Berkhusnudhan saja bahwa ibu itu tidak berbohong, dengan mencoba berempati pada keadaan ibu itu. Di zaman sekulerisme-kapitalis kondisi seperti ibu itu bukan hal yang mustahil ada di sekitar kita. Wajar akhirnya bila harus mencoba berbagai cara demi bertahan hidup. Ini sekaligus pelajaran dan ada hikmah di balik peristiwa yang kualami itu.

Pertama, bahwa harus kusyukuri akan nikmat Allah subhanallahu ta’ala hingga saat ini. Aku yang sering merasa seolah sengsara dan memilki cobaan berat dengan masalah finansial, masih jauh lebih beruntung dan tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan kondisi orang-orang di bawahku, seperti halnya ibu tersebut. Selain itu, aku masih mempunyai orang tua yang lengkap dan sehat. Mereka pun masih diberi rezeki yang cukup oleh Allah subhanaalahu ta’ala. Sedangkan orang-orang di bawah kami belum tentu demikian, termasuk ibu tersebut.

Kedua, kejadian di atas merupakan satu dari sekian banyak problematika umat di era sekulerisme-kapitalis. Inilah kekejaman sistem sekulerisme-kapitalis, memaksa kaum wanita harus berdaya upaya, mengganti posisi suami mencari nafkah. Ya Allah..sungguh menyayat hati. Seharusnya seorang ibu bisa berkonsentrasi mendidik anak-anaknya, mengatur rumah tangga, bahkan mampu memperjuangkan Islam di tengah-tengah masyarakat, tetapi semua peran itu dijauhkan menjadi mesin kapitalis. Masya Allah!

Ketiga, kenapa saat itu aku tidak membesarkan khusnudzanku pada ibu tersebut dan totalitas memberi. Kita tak pernah tahu, bisa saja beliau adalah malaikat yang diutus untuk menguji keikhlasan dan kemurahan (kedermawanan)-ku. Bisa saja doa yang tulus dari beliau apalagi jika beliau terkategori orang-orang yang terdzalimi, diijabah oleh Allah subhanallahu ta’ala. Ibu tersebut sempat mendoakanku. Doa yang mengena dengan kondisiku. Semoga aku cepat lulus. Semoga rezekiku lancar.

Ini pelajaran berharga, memperluas jangkauan pandangan terhadap kehidupan lebih arif dan bijaksana.



~Wenny Pangestuti~