November 01, 2015

Ada

Angin sepoi-sepoi membelai lembut bulir-bulir padi di sawah itu. Di sebuah gubuk di tengah hamparan sawah, terduduklah seorang gadis sambil mengoreskan penanya pada sebuah buku yang identik dengan warna coklat muda. Tinggal beberapa kalimat lagi, maka semuanya akan selesai, buku itu siap beralih tangan.
Di sudut lain, satu per satu orang di halaman rumah tersebut disalami oleh pria itu. Yang laki-laki dewasa disalami lalu dipeluknya hangat. Yang perempuan dewasa, cukup disalami. Lalu yang anak-anak, disalami sambil dikoyak-koyak lembut rambutnya, atau mengusap lembut kerudungnya. Ini saatnya perpisahan dengan keluarga besar itu setelah sekian hari ia menghabiskan waktu tinggal di sana. Semua telah tersalami, tetapi ada satu yang belum. Entah kemana, sosok yang dimaksud tak ada di tempat. Semua menanyakan keberadaannya. Padahal ia tahu ini hari pria itu berpamitan pulang ke tempat asalnya.
“Titip salam saya untuk Wenny”, ucapnya  tanpa meninggalkan senyum identiknya. Usai mengucapkannya, ia perlahan menuju mobil yang akan membawanya pergi menuju stasiun.
Tak berapa lama ia melangkahkan kaki, terdengar derap langkah seseorang berlari. Wenny. Ia menyusul. Tepat beberapa meter di hadapan pria itu, gadis itu berhenti diiringi hembusan nafas yang beritme cepat.
Pria itu tersenyum, “Aku pamit.”
Setelah ritme nafasnya cukup stabil untuk berkata, Wenny hanya tersenyum sederhana dan memandang dengan sudut pandang ke bawah. Ia tak pernah berani melihat langsung ke arah lawan bicaranya. Tiba-tiba kedua tangannya menyodorkan sebuah buku bersampul coklat muda. Pria itu mengernyitkan  alisnya, tak mengerti. “Apa ini?”
Lama tak menjawab, Wenny perlahan mengangkat kepalanya, lalu mulai berkata, “Semua...semua yang pernah kamu ceritakan. Lengkap di sini. Aku menuliskannya semua di sini. Cerita-cerita yang luar biasa. Cerita-cerita yang belum pernah kudengar sebelumnya. Cerita yang tidak boleh kamu lewatkan pada setiap orang yang kamu jumpai.”
Pria itu sedikit terkejut dan perlahan meraih buku coklat muda itu. Lalu ia kembali tersenyum identik, “Great! Terima kasih.”
Seperti teringat pada sesuatu, pria itu berbalik arah, berjalan menuju mobil lalu mengambil sesuatu dari dalam tasnya.
“Ini!” Ia menyodorkan sebuah benda elektronik. Berganti, kini Wenny yang mengernyit tak mengerti. Pria itu menjelaskan, “ Cerita-cerita yang belum aku tuturkan...”
Wenny meraih benda tersebut, yang tak lain adalah perekam suara. Wenny mengamatinya agak lama, lalu melihat ke arah pria itu sambil tersenyum sederhana,” Terima kasih.”
Pria itu pun kembali berpamitan pada setiap orang di sana. Ketika hampir memasuki mobil, ia berbalik arah kembali. Telunjuk tangan kanannya menunjuk ke arah Wenny lalu berkata, “Menulis-Bertutur,” bergantian, telunjuknya menunjuk ke arah dirinya.
Wenny tersenyum sederhana lalu menirukan lengkap dengan gerakannya, “Bertutur-Menulis”.
“Senang berkenalan denganmu.”
So do I.

Tangan yang biasa yang menggenggam
mata yang terus menatapku
bibir yang selalu tersenyum
kau selalu disini

peluk yang tak ingin lepas
jari yang belai keningku
pundak tempatku bersandar
kau selalu disini

kini kita harus berpisah
jarak waktu mempermainkan kita
ku disini dan kau disana
tapi ku tak sendiri

suara kau dihati
terbawa di mimpi
walau kau disana
aku tak sendiri

ada kau dihati
ada kau dihati
aku tak sendiri
kau selalu bersama aku

kekuatanmu buatku tangguh
percayamu buatku yakin
kemana pun dimana pun ada kau di hati

kini kita harus berpisah
jarak waktu mempermainkan kita
ku disini dan kau disana
tapi ku tak sendiri

suara kau dihati
terbawa di mimpi
walau kau disana
aku tak sendiri

ada kau dihati
ada kau dihati
aku tak sendiri
ku simpan disini
kau selalu bersama aku

[Dikutip dari lirik lagu Sherina Munaf yang berjudul “Ada”]

  
~Wenny Pangestuti~

No comments :