Sudah
kedua kalinya, aku mempunyai tetangga kecil saat aku bertempat tinggal di kota
perantauanku menuntut ilmu. Pertama, saat aku tinggal di kontrakan an-Nahdhah,
aku mengenal dua kakak-beradik, David dan Octa. Kedua, saat sekarang ini aku
tinggal di kontrakan Mumtaz, aku mengenal dua saudara sepupu, Roy dan Reza.
Senang
bisa mengamati mereka diam-diam. Saat aku mengamati diam-diam David dan Octa,
misalnya. Sebelumnya, kuperkenalkan dulu siapa David dan siapa Octa. David dan
Octa, anak-anak dari sepasang suami-isteri yang masih muda. Mbak Yayuk, sapaan
akrab ibu David dan Octa, berusia lebih muda dari-ku. David sebagai kakak, sudah
bersekolah dasar sekitar kelas dua atau tiga. Sedangkan Octa sebagai adik,
masih balita.
Dalam
suatu momen, saya pernah menjumpai David yang dimintai ibunya untuk menemani
Octa bermain. Saat itu Octa bermain sepeda roda tiga dan David dengan setia mendorong
sepedanya dari belakang.
Momen
lain, saat Octa menikmati es lilin di tangannya. David hanya menelan ludah
melihatnya. Sedangkan Octa dengan polosnya tidak menyadari ‘mupeng’ (muka
pengen) sang kakak. Saya senang melihat sosok David sebagai kakak yang baik
bagi Octa, yang melindungi dan menjaga perasaan adiknya.
Lalu
saat aku mengamati diam-diam Roy dan Reza. Roy dan Reza adalah dua saudara
sepupu. Roy berusia lebih tua dari Reza. Roy bersekolah TK kelas nol besar.
Sedangkan Reza masih balita.
Sapaan
keduanya terhadap masing-masing adalah kakak dan adik. Sebuah sapaan yang mesra
menurutku, yang jarang kujumpai di sekitar lingkunganku berada selama ini.
Pada
momen tertentu, seringkali terlihat Roy dan Reza bertengkar, atau keduanya
membandel. Kalau sudah membandel, Roy-lah yang paling menakutkan untuk
didekati. Selain akan melakukan perlawanan fisik dengan tinju-tinju kecilnya,
ia juga seringkali mengucapkan kata-kata yang kasar. Aku pun bertanya-tanya, “Darimana
Roy bisa mengucapkan kata-kata sekasar itu?” Sebab kulihat mbak Dila, ibu Roy
tak pernah mencontohkannya demikian. Begitupun bapak, kakek dan neneknya, tak
ada yang mencontohkan kata-kata kasar seperti itu. Mungkinkah dari pergaulan
dengan teman-temannya di sekolah, Roy meniru itu semua? Sedangkan Reza seringkali
bersikap merengek manja pada ibunya, mbak Sri, bila keinginannya tidak
dituruti, misalnya minta jajan ini dan itu.
Roy
dan Reza bertengkar biasanya karena dipicu ulah usil Roy terlebih dahulu.
Misalnya, saya pernah menjumpai Roy memyembunyikan sandal Reza. Setelah ia
menyembunyikannya, ia akan menggoda Reza, “Dek, sandalnya mana?” Reza pun
merengek dibuatnya.
Atau
saat Roy mungkin merasa sebal dengan Reza, ia akan memukul Reza. Setelah
memukul Reza, Roy akan larit terbirit-birit, menjauh dari jangkauan ibunya dan
ibu Reza yang mulai mengomel akibat ulahnya. Lagi-lagi, Reza pun hanya bisa merengek.
Tetapi,
tidak jarang pula aku menjumpai Roy dan Reza dalam keadaan ‘mesra-mesranya’.
Misalnya, saat mereka bermain bersama-sama. Permainan yang sering dimainkan
oleh mereka, antara lain bermain mengantarkan jenazah, atau bermain sepeda.
Saat
bermain mengantarkan jenazah, mereka akan mengucapkan berkali-kali kalimat
syahadat. Lalu, mereka memperagakan shalat jenazah. Yang paling tahu tentang
hal ini adalah Roy. Mungkin ia mendapatkan ilmunya dari sekolah, atau mengaji
di mushala yayasan samping rumah kami. Saya pun berkomentar kepada teman-teman
satu kontrakan, “Sepertinya mereka memahami kalimat syahadat cuma buat
mengantar jenazah saja dech.” Sebab aku pernah mendengar mbak Sri mengingatkan Reza, "Jangan ngomong begitu. Ibu belum mati." Entahlah...
Dalam
hal bersepeda, Roy jagonya. Sedangkan Reza masih hanya bisa menggunakan sepeda
roda tiga. Belakangan hari, Roy dibelikan sepeda baru yang ukurannya lebih
besar dari ukuran semula. Sepeda sebelumnya hendak di’waris’kan kepada Reza
supaya Reza bisa belajar sepeda roda dua. Namun, sampai sekarang Reza belum bisa
mengendarai sepeda roda dua, masih sampai tahap berani duduk di sadelnya. Melihat
hal itu, Roy memotivasi Reza, “Ayo dek jalan.” Saat itu Reza ditemani sang
nenek yang menuntunnya dari belakang. Melihat Reza yang tidak bersemangat
karena baru bangun tidur, Roy berkata dengan perhatian, ”Adik lemes habis
bangun tidur.”
Sebenarnya
selain Roy dan Reza, ada satu sosok bocah lagi di antara mereka. Alfan, cucu
dari pemilik yayasan pendidikan islam di sebelah rumah kami. Alfan seusia
dengan Roy. Mereka bersekolah di TK yang sama. Bisa dikatakan Roy dan Alfan ini
bersahabat. Sama-sama suka bermain sepeda.
Melihat
semuanya, baik David dan Octa, Roy dan Reza, juga Alfan, meninggalkan seulas
senyum di bibirku. Senyum yang secara reflek mengembang begitu saja.
Membayangkan kalau mereka adalah anak-anakku bagaimana jadinya. Anak-anak kecil
yang selalu ada-ada saja tingkahnya.
~Wenny Pangestuti~
No comments :
Post a Comment