April 19, 2014

Tetangga Kecil


Sudah kedua kalinya, aku mempunyai tetangga kecil saat aku bertempat tinggal di kota perantauanku menuntut ilmu. Pertama, saat aku tinggal di kontrakan an-Nahdhah, aku mengenal dua kakak-beradik, David dan Octa. Kedua, saat sekarang ini aku tinggal di kontrakan Mumtaz, aku mengenal dua saudara sepupu, Roy dan Reza.

Senang bisa mengamati mereka diam-diam. Saat aku mengamati diam-diam David dan Octa, misalnya. Sebelumnya, kuperkenalkan dulu siapa David dan siapa Octa. David dan Octa, anak-anak dari sepasang suami-isteri yang masih muda. Mbak Yayuk, sapaan akrab ibu David dan Octa, berusia lebih muda dari-ku. David sebagai kakak, sudah bersekolah dasar sekitar kelas dua atau tiga. Sedangkan Octa sebagai adik, masih balita.

Dalam suatu momen, saya pernah menjumpai David yang dimintai ibunya untuk menemani Octa bermain. Saat itu Octa bermain sepeda roda tiga dan David dengan setia mendorong sepedanya dari belakang.

Momen lain, saat Octa menikmati es lilin di tangannya. David hanya menelan ludah melihatnya. Sedangkan Octa dengan polosnya tidak menyadari ‘mupeng’ (muka pengen) sang kakak. Saya senang melihat sosok David sebagai kakak yang baik bagi Octa, yang melindungi dan menjaga perasaan adiknya.

Lalu saat aku mengamati diam-diam Roy dan Reza. Roy dan Reza adalah dua saudara sepupu. Roy berusia lebih tua dari Reza. Roy bersekolah TK kelas nol besar. Sedangkan Reza masih balita.

Sapaan keduanya terhadap masing-masing adalah kakak dan adik. Sebuah sapaan yang mesra menurutku, yang jarang kujumpai di sekitar lingkunganku berada selama ini.

Pada momen tertentu, seringkali terlihat Roy dan Reza bertengkar, atau keduanya membandel. Kalau sudah membandel, Roy-lah yang paling menakutkan untuk didekati. Selain akan melakukan perlawanan fisik dengan tinju-tinju kecilnya, ia juga seringkali mengucapkan kata-kata yang kasar. Aku pun bertanya-tanya, “Darimana Roy bisa mengucapkan kata-kata sekasar itu?” Sebab kulihat mbak Dila, ibu Roy tak pernah mencontohkannya demikian. Begitupun bapak, kakek dan neneknya, tak ada yang mencontohkan kata-kata kasar seperti itu. Mungkinkah dari pergaulan dengan teman-temannya di sekolah, Roy meniru itu semua? Sedangkan Reza seringkali bersikap merengek manja pada ibunya, mbak Sri, bila keinginannya tidak dituruti, misalnya minta jajan ini dan itu. 

Roy dan Reza bertengkar biasanya karena dipicu ulah usil Roy terlebih dahulu. Misalnya, saya pernah menjumpai Roy memyembunyikan sandal Reza. Setelah ia menyembunyikannya, ia akan menggoda Reza, “Dek, sandalnya mana?” Reza pun merengek dibuatnya.

Atau saat Roy mungkin merasa sebal dengan Reza, ia akan memukul Reza. Setelah memukul Reza, Roy akan larit terbirit-birit, menjauh dari jangkauan ibunya dan ibu Reza yang mulai mengomel akibat ulahnya. Lagi-lagi, Reza pun hanya bisa merengek.

Tetapi, tidak jarang pula aku menjumpai Roy dan Reza dalam keadaan ‘mesra-mesranya’. Misalnya, saat mereka bermain bersama-sama. Permainan yang sering dimainkan oleh mereka, antara lain bermain mengantarkan jenazah, atau bermain sepeda.

Saat bermain mengantarkan jenazah, mereka akan mengucapkan berkali-kali kalimat syahadat. Lalu, mereka memperagakan shalat jenazah. Yang paling tahu tentang hal ini adalah Roy. Mungkin ia mendapatkan ilmunya dari sekolah, atau mengaji di mushala yayasan samping rumah kami. Saya pun berkomentar kepada teman-teman satu kontrakan, “Sepertinya mereka memahami kalimat syahadat cuma buat mengantar jenazah saja dech.” Sebab aku pernah mendengar mbak Sri mengingatkan Reza, "Jangan ngomong begitu. Ibu belum mati." Entahlah...

Dalam hal bersepeda, Roy jagonya. Sedangkan Reza masih hanya bisa menggunakan sepeda roda tiga. Belakangan hari, Roy dibelikan sepeda baru yang ukurannya lebih besar dari ukuran semula. Sepeda sebelumnya hendak di’waris’kan kepada Reza supaya Reza bisa belajar sepeda roda dua. Namun, sampai sekarang Reza belum bisa mengendarai sepeda roda dua, masih sampai tahap berani duduk di sadelnya. Melihat hal itu, Roy memotivasi Reza, “Ayo dek jalan.” Saat itu Reza ditemani sang nenek yang menuntunnya dari belakang. Melihat Reza yang tidak bersemangat karena baru bangun tidur, Roy berkata dengan perhatian, ”Adik lemes habis bangun tidur.”

            Sebenarnya selain Roy dan Reza, ada satu sosok bocah lagi di antara mereka. Alfan, cucu dari pemilik yayasan pendidikan islam di sebelah rumah kami. Alfan seusia dengan Roy. Mereka bersekolah di TK yang sama. Bisa dikatakan Roy dan Alfan ini bersahabat. Sama-sama suka bermain sepeda.

Melihat semuanya, baik David dan Octa, Roy dan Reza, juga Alfan, meninggalkan seulas senyum di bibirku. Senyum yang secara reflek mengembang begitu saja. Membayangkan kalau mereka adalah anak-anakku bagaimana jadinya. Anak-anak kecil yang selalu ada-ada saja tingkahnya.


~Wenny Pangestuti~

No comments :