April 08, 2014

My Bicycle


Suatu hari, di hari Selasa aku membawa sepedaku ke bengkel. Tadinya aku merencanakan servis sepeda di hari Kamis sembari pergi silahukhuwah ke Ulfah, kenalanku. Namun, kurombak rencanaku, menyervis sepeda hari Selasa sembari silahukuwah juga ke Ulfah. Ternyata rencana silahukhuwahku tidak terlaksana karena sepedaku tak bisa kutinggal selama di bengkel. Aku meminta pak Satriyo, bapak bengkel yang kumaksud untuk menyervis sebaik-baiknya sepedaku, mulai dari mengganti ban belakang yang terlihat akan robek; memperbaiki rem belakang dan depan; dan melepas tempat kunci sepeda yang sudak tak berfungsi. Alhamdulillah, akhirnya sepedaku telah ‘sehat’ kembali; nyaman untuk dinaiki; dan siap dibawa kemana saja, menemani hari-hariku ke kampus, sharing Islam, ngelesi dan lain-lain, meskipun semua itu harus kubayar dengan biaya yang tidak murah.



Mungkin beberapa orang akan mengatakan bahwa ‘aku bodoh’ atau apalah ketika mereka tahu berapa biaya servis sepedaku. Tapi aku tidak peduli. Biarlah orang mengatakan bahwa ‘aku bodoh’ atau apalah, yang terpenting adalah sepedaku. Karena sepedaku bisa ‘sehat’ itu cukup berarti bagiku. Tanpa sepeda, aku akan sedikit kesulitan pergi kemana-mana. Sepedalah yang menemaniku pergi kemana-mana, tempat yang kuinginkan di sekitar area kampus. Sepeda cukup penting dan menjadi satu-satunya alat transportasiku. Jika aku tetap membiarkannya ‘sakit’, sepedaku akan sering tak kufungsikan; hanya terpajang di kontrakan saja. Atau jika aku tetap memaksakan diri memakainya, aku merasa seperti menyakiti sepedaku. Ban yang tetap kubiarkan kempos akan sedikit ‘kesakitan’ menghantam batu-batu atau kerikil jalanan yang kadangkala runcing; akan sedikit melelahkan pula bagiku dalam mengayuhnya. Lebih penting lagi, sejarah sepedaku mulai dari awal kali membeli hingga saat ini cukup berkesan bagiku.



Masih kukenang bagaimana bapak menemaniku ke Pasar Tanjung Jember sore hari, membeli sepeda tersebut. Saat itu aku memasuki semester dua kuliah. Bapak merelakan diri pergi dari rumah ke Jember hanya demi membelikan sepeda untukku. Karena bapak dan ibu tahu bahwa tempat kontrakanku saat itu dengan kampusku lumayan jauh sehingga aku membutuhkan alat transportasi untuk pergi kuliah. Aku menyesal sampai saat ini karena dulu membiarkan kami membeli sepeda di sore hari.



Semua karena keegoisan dan ketidakdisiplinanku. Tadinya, bapak mengajakku membeli sepeda di pagi hari atau siang hari karena toko-toko banyak yang buka sehingga pilihan sepeda yang akan dibeli lebih beragam. Tetapi saai itu aku sibuk dan terburu-buru harus menyelesaikan tugas salah satu matakuliah. Deadline pengumpulannya keesok harinya, tepatnya pagi hari pukul 05.10 WIB waktu kuliah dimulai. Sebenarnya tugas tersebut sudah diberikan dosenku seminggu sebelumnya. Namun, aku menunda-nunda untuk mengerjakannya segera. Aku menyesal dan sedih jika mengenang itu kembali.



Akhirnya sore itu, kami membeli sepeda tersebut di satu-satunya toko sepeda yang masih buka. Ketika hendak menuju ke kontrakanku, hujan turun. Terpaksa aku dan bapak berteduh di emperan toko yang sudah tutup. Hujan cukup lama tak reda-reda. Sore pun berganti menjelang waktu Maghrib. Aku sedikit membawa rasa kesal. Karena bayanganku meleset. Aku pikir sore itu setelah membeli sepeda, aku bisa langsung kembali ke kontrakan dan segera melanjutkan tugasku yang belum selesai, tetapi justru terjebak hujan. Aku egois sekali. Sore itu aku benar-benar memasang wajah cemberut di hadapan bapakku, hanya karena memikirkan urusanku sendiri. Kembali aku sangat sedih jika mengenangnya.



Setelah kami menunaikan shalat Maghrib di masjid terdekat dan hujan telah reda, kami akhirnya melaju ke kontrakanku dengan menaiki sepeda yang baru kami beli itu. Kayuhan bapak sudah tak selincah dulu ketika memboncengku. Dulu saat masih SMP, bapak sering mengantarku sekolah dengan sepeda inventaris kantor. Sepedanya model lama dan bisa dikatakan sudah tidak bagus lagi. Bapak sangat lincah memboncengku saat itu. Tetapi sekarang berat badanku telah bertambah seiring aku beranjak dewasa. Tentu bapak mungkin keletihan memboncengku dari Pasar Tanjung menyusuri Jalan Gajah Mada, Jalan Bengawan Solo yang naik-turun dan berputar-putar, Jalan jawa hingga Jalan Karimata. Apalagi ketika menyusuri Jalan Bengawan Solo, besi penyangga sadel sepeda yang diduduki bapakku merosot karena kurang rapat bautnya. Bapak sempat panik dan aku juga khawatir. Akhirnya, setelah melewati tanjakkan dengan menuntun sepeda, tidak dinaiki, kami menjumpai bengkel sepeda. Lalu kami meminta bapak bengkel memperbaiki posisi besi penyangga sadelnya agar lebih kencang bautnya. Kembali, aku pilu mengenangnya. Bapak...



Sesampainya di kontrakan, hari telah gelap, menjelang Isya’ dan aku masih kepikiran tugas yang belum selesai dan harus dikumpulkan esok pagi-pagi sekali, aku harus membiarkan bapak segera pulang ke rumah tanpa kupersilakan sejenak singgah di kontarkan. Aku sedih melepas kepergian bapak malam itu. Pulang sendiri, naik lin D, yang semula bapak sempat bertanya harus naik lin apa menuju Terminal Tawang Alun dari Jalan Karimata. Aku tidak tahu apakah malam itu bapak makan malam dulu di warung atau tidak sebelum pulang. Kembali, aku sangat sedih bila mengenangnya...

  
Itulah mengapa aku akan sangat sedih bila membiarkan sepedaku rusak dan tak kufungsikan. Karena cerita yang membersamai adanya sepeda itu menjadi milikku terlalu mahal untuk aku korbankan begitu saja dengan menelantarkan sepeda itu. Sampai sekarang aku tetap merasa bersalah kepada bapakku. Aku tidak bisa melupakan begitu saja apa yang tejadi saat itu. Bapak... . Orang tua memang akan berusaha memberikan yang terbaik untuk anaknya sebagai bukti rasa sayangnya.


Sepedaku dihias saat mengikuti Kampanye Politik Islam 2014


~Wenny Pangestuti~

No comments :