Suatu hari, di hari Selasa aku
membawa sepedaku ke bengkel. Tadinya aku merencanakan servis sepeda di hari
Kamis sembari pergi silahukhuwah ke Ulfah, kenalanku. Namun, kurombak
rencanaku, menyervis sepeda hari Selasa sembari silahukuwah juga ke Ulfah.
Ternyata rencana silahukhuwahku tidak terlaksana karena sepedaku tak bisa
kutinggal selama di bengkel. Aku meminta pak Satriyo, bapak bengkel yang
kumaksud untuk menyervis sebaik-baiknya sepedaku, mulai dari mengganti ban
belakang yang terlihat akan robek; memperbaiki rem belakang dan depan; dan
melepas tempat kunci sepeda yang sudak tak berfungsi. Alhamdulillah, akhirnya
sepedaku telah ‘sehat’ kembali; nyaman untuk dinaiki; dan siap dibawa kemana
saja, menemani hari-hariku ke kampus, sharing
Islam, ngelesi dan lain-lain, meskipun semua itu harus kubayar dengan biaya
yang tidak murah.
Mungkin beberapa orang akan
mengatakan bahwa ‘aku bodoh’ atau apalah ketika mereka tahu berapa biaya servis
sepedaku. Tapi aku tidak peduli. Biarlah orang mengatakan bahwa ‘aku bodoh’
atau apalah, yang terpenting adalah sepedaku. Karena sepedaku bisa ‘sehat’ itu
cukup berarti bagiku. Tanpa sepeda, aku akan sedikit kesulitan pergi
kemana-mana. Sepedalah yang menemaniku pergi kemana-mana, tempat yang
kuinginkan di sekitar area kampus. Sepeda cukup penting dan menjadi satu-satunya
alat transportasiku. Jika aku tetap membiarkannya ‘sakit’, sepedaku akan sering
tak kufungsikan; hanya terpajang di kontrakan saja. Atau jika aku tetap
memaksakan diri memakainya, aku merasa seperti menyakiti sepedaku. Ban yang
tetap kubiarkan kempos akan sedikit ‘kesakitan’ menghantam batu-batu atau
kerikil jalanan yang kadangkala runcing; akan sedikit melelahkan pula bagiku
dalam mengayuhnya. Lebih penting lagi, sejarah sepedaku mulai dari awal kali membeli
hingga saat ini cukup berkesan bagiku.
Masih kukenang bagaimana bapak
menemaniku ke Pasar Tanjung Jember sore hari, membeli sepeda tersebut. Saat itu
aku memasuki semester dua kuliah. Bapak merelakan diri pergi dari rumah ke
Jember hanya demi membelikan sepeda untukku. Karena bapak dan ibu tahu bahwa
tempat kontrakanku saat itu dengan kampusku lumayan jauh sehingga aku
membutuhkan alat transportasi untuk pergi kuliah. Aku menyesal sampai saat ini
karena dulu membiarkan kami membeli sepeda di sore hari.
Semua karena keegoisan dan
ketidakdisiplinanku. Tadinya, bapak mengajakku membeli sepeda di pagi hari atau
siang hari karena toko-toko banyak yang buka sehingga pilihan sepeda yang akan
dibeli lebih beragam. Tetapi saai itu aku sibuk dan terburu-buru harus
menyelesaikan tugas salah satu matakuliah. Deadline
pengumpulannya keesok harinya, tepatnya pagi hari pukul 05.10 WIB waktu kuliah
dimulai. Sebenarnya tugas tersebut sudah diberikan dosenku seminggu sebelumnya.
Namun, aku menunda-nunda untuk mengerjakannya segera. Aku menyesal dan sedih
jika mengenang itu kembali.
Akhirnya sore itu, kami membeli
sepeda tersebut di satu-satunya toko sepeda yang masih buka. Ketika hendak
menuju ke kontrakanku, hujan turun. Terpaksa aku dan bapak berteduh di emperan
toko yang sudah tutup. Hujan cukup lama tak reda-reda. Sore pun berganti
menjelang waktu Maghrib. Aku sedikit membawa rasa kesal. Karena bayanganku
meleset. Aku pikir sore itu setelah membeli sepeda, aku bisa langsung kembali
ke kontrakan dan segera melanjutkan tugasku yang belum selesai, tetapi justru
terjebak hujan. Aku egois sekali. Sore itu aku benar-benar memasang wajah
cemberut di hadapan bapakku, hanya karena memikirkan urusanku sendiri. Kembali
aku sangat sedih jika mengenangnya.
Setelah kami menunaikan shalat
Maghrib di masjid terdekat dan hujan telah reda, kami akhirnya melaju ke
kontrakanku dengan menaiki sepeda yang baru kami beli itu. Kayuhan bapak sudah
tak selincah dulu ketika memboncengku. Dulu saat masih SMP, bapak sering
mengantarku sekolah dengan sepeda inventaris kantor. Sepedanya model lama dan
bisa dikatakan sudah tidak bagus lagi. Bapak sangat lincah memboncengku saat
itu. Tetapi sekarang berat badanku telah bertambah seiring aku beranjak dewasa.
Tentu bapak mungkin keletihan memboncengku dari Pasar Tanjung menyusuri Jalan
Gajah Mada, Jalan Bengawan Solo yang naik-turun dan berputar-putar, Jalan jawa
hingga Jalan Karimata. Apalagi ketika menyusuri Jalan Bengawan Solo, besi
penyangga sadel sepeda yang diduduki bapakku merosot karena kurang rapat
bautnya. Bapak sempat panik dan aku juga khawatir. Akhirnya, setelah melewati
tanjakkan dengan menuntun sepeda, tidak dinaiki, kami menjumpai bengkel sepeda.
Lalu kami meminta bapak bengkel memperbaiki posisi besi penyangga sadelnya agar
lebih kencang bautnya. Kembali, aku pilu mengenangnya. Bapak...
Sesampainya di kontrakan, hari
telah gelap, menjelang Isya’ dan aku masih kepikiran tugas yang belum selesai
dan harus dikumpulkan esok pagi-pagi sekali, aku harus membiarkan bapak segera
pulang ke rumah tanpa kupersilakan sejenak singgah di kontarkan. Aku sedih
melepas kepergian bapak malam itu. Pulang sendiri, naik lin D, yang semula
bapak sempat bertanya harus naik lin apa menuju Terminal Tawang Alun dari Jalan
Karimata. Aku tidak tahu apakah malam itu bapak makan malam dulu di warung atau
tidak sebelum pulang. Kembali, aku sangat sedih bila mengenangnya...
Itulah
mengapa aku akan sangat sedih bila membiarkan sepedaku rusak dan tak
kufungsikan. Karena cerita yang membersamai adanya sepeda itu menjadi milikku
terlalu mahal untuk aku korbankan begitu saja dengan menelantarkan sepeda itu.
Sampai sekarang aku tetap merasa bersalah kepada bapakku. Aku tidak bisa
melupakan begitu saja apa yang tejadi saat itu. Bapak... . Orang tua memang
akan berusaha memberikan yang terbaik untuk anaknya sebagai bukti rasa
sayangnya.
Sepedaku dihias saat mengikuti Kampanye Politik Islam 2014
~Wenny Pangestuti~
No comments :
Post a Comment