May 01, 2015

Mengejar Matahari

Source: http://cutehdwall.com

Aku tidak ingat kapan pertama kali melihat bunga matahari. Yang kuingat, aku pernah berkali-kali melihat bunga matahari sekitar 12 tahun lebih yang lalu. Bunga matahari tersebut tumbuh di halaman kantor, tempat bapak bekerja. Di luar waktu kerja aku sering bermain-main di sana karena jarak rumah dengan kantor bapak cukup dekat. Entah di sana aku belajar naik sepeda; mencari bekicot; melihat beraneka tumbuhan; atau masuk ke dalam gudang yang menyimpan berkarung-karung kopi. Di sana-lah aku tidak asing dengan namanya bunga matahari.

Namun, semenjak kantor dan gudang tersebut tidak lagi difungsikan, serta bapak dan rekan-rekannya menempati kantor yang lain, semenjak itulah aku tidak lagi melihat bunga matahari. Bunga matahari memang jarang terlihat di sembarang tempat.

Kini, setelah 12 tahun lebih berlalu, aku bertemu kembali dengan bunga matahari. Pagi itu, Minggu, 29 Maret 2015 aku dan empat bocah SD yang adalah adik-adik tetanggaku (Aril, Dani, Duwi, dan Irma) melakukan jalan-jalan pagi. Kami memulai perjalanan selepas shalat Shubuh. Di tengah perjalanan barulah kusadari ada tumbuhan bunga matahari di halaman salah satu rumah warga yang kami lewati. Padahal sebelumnya aku cukup sering bolak-balik melewati rumah itu, tetapi baru kusadari ternyata ada bunga matahari di sana. Lalu aku mengajak anak-anak berfoto di bawah bunga matahari tersebut.

Dari kiri: Aril, Dani, Irma, dan Duwi

Pada hari yang lain, Jum'at, 03 April 2015, bertepatan dengan tanggal merah di kalender, anak-anak libur sekolah. Kami pun merencanakan jalan-jalan pagi kembali selepas shalat Shubuh. Kali ini ada penambahan personil, yaitu Bela dan Yopi. Jalan yang kami telusuri juga lebih jauh dari sebelumnya. Saat kami melintasi sebuah rumah dengan bunga matahari-nya tersebut, langit masih kelabu. Kami meneruskan perjalanan. Sekembalinya kami untuk pulang, langit pun berangsur cerah. Aku mengajak anak-anak kembali berfoto di bawah bunga matahari.
"Ayo, kita berfoto di bawah bunga matahari!" ajakku.
"Ayo!!!" seru mereka sambil berlari menuju rumah yang ada bunga matahari-nya tersebut.

Melihat kembali foto mereka di rumah, aku tersenyum. Mereka, anak-anak yang kadangkala lucu dan menggemaskan, kadangpula menjengkelkan dan menguji kesabaran. Mereka mempunyai keunikan masing-masing. Aril yang pemikir, akurat, rapi, tetapi cukup sensitif bercita-cita menjadi seorang pegawai bank. Dani yang memiliki suara serak-serak basah bila berbicara dengan orang lain, tetapi sekali berteriak, suaranya sangat melengking bercita-cita menjadi seorang tentara. Irma yang hiperaktif bercita-cita menjadi seorang chef. Bela dan Yopi dua sahabat yang sama-sama bercita-cita menjadi guru. Sedangkan Duwi, anak yang sangat cerewet, aku belum mengetahui dengan jelas apa sebenarnya cita-cita Duwi.

Berpose di pinggir jalan. Jangan ditiru ya!

Berbaris dengan rapi. Hati-hati di pinggir jalan!

Dari kiri: Aril dan Dani

Aril ganggu Irma aja yang lagi berpose.

Duwi mana senyumnya?

Dari kiri: Yopi dan Bela berpelukan. Kayak teletubbies aja ya.

Seperti halnya di dalam foto mereka berpose di bawah bunga matahari, maka harapanku adalah sinar-sinar harapan selalu menyertai mereka, menyemangati mereka 'ntuk meraih mimpi. Aku pun berdoa semoga apa yang mereka cita-citakan menjadi nyata: Aril menjadi ahli ekonomi Islam; Dani menjadi tentara pembela kebenaran; Irma menjadi juru masak makanan yang halal dan higienis; Bela dan Yopi menjadi guru yang inspiratif; serta Duwi menjadi komunikator Islam. Aamiin!

Di sini ada satu kisah
cerita tentang anak manusia
menantang hidup bersama
mencoba menggali makna cinta


Tetes air mata mengalir di sela derai tawa
selamanya kita tak akan berhenti mengejar

matahari

Tajamnya pisau tak kan sanggup
goyahkan cinta antara kita
menembus ruang dan waktu
menyatu di dalam jiwaku


Tetes air mata mengalir di sela derai tawa
selamanya kita tak akan berhenti mengejar

terus mengejar
matahari

[Dikutip dari lagu 'Mengejar Matahari', dinyayikan oleh Ari Lasso]


~Wenny Pangestuti~

No comments :