August 11, 2016

Deep Inside of My Heart


Jika ditanya apakah aku bahagia dengan profesiku sekarang? Ya, aku jawab bahagia. Aku bersyukur punya pekerjaan, punya penghasilan sendiri. Namun, tak dipungkiri bahwa adakalanya aku mengeluh. Keletihan bekerja membuatku berpikir, aku masih single seperti ini merasa payah menjadi wanita bekerja di luar rumah, lalu bagaimana jika kelak aku sudah berumah tangga?

Jujur-jujur saja, dari dulu –sma- aku pengennya jadi ibu rumah tangga tulen alias ibu rumah tangga saja tanpa bekerja di luar rumah. Aku tahu bahwa pilihan ini mungkin akan berat mengingat aku kuliah, lalu mau diapakan pendidikan tingginya kalo hanya jadi ibu rumahan saja? Sebenarnya tidak ada rugi-ruginya, toh ilmu dan pengalaman yang kudapatkan selama jadi anak kuliah tetap akan ada manfaatnya nanti saat aku menjadi ibu. Contoh, aku bisa jadi guru les buat anakku sendiri. Ya kan?

Sebenarnya jadi ibu rumahan saja gak rendah-rendah amat. Justru aku senang-senang aja punya tugas mencuci, membersihkan rumah, memasak, mengurus anak dan suami, mendidik anak, dan tugas rumahan lain. Bagiku, tugas ibu yang kelihatannya remeh temeh, berat juga lho alias gak mudah. Jadi, aku bayangin apa jadinya bila tugas tersebut dibagi waktu, tenaga, dan pikiran dengan tugas bekerja di luar rumah. Jujur, aku tak begitu multi-tasking,  walaupun ada banyak ibu di luar sana yang mampu membuktikan bahwa mereka bisa melakukannya dengan baik. Tapi, ini pilihanku di balik pertimbangan-pertimbangan pribadiku.

Sebenarnya maksudku tidak membela ibu rumahan di atas ibu berkarir di luar rumah. Karena menurutku, semuanya itu tergantung pilihan masing-masing individu dengan pertimbangannya masing-masing. Jadi, tidak ada maksud men-judge siapapun di sini. Yang berhak menentukan kita sendiri mana pilihan yang terbaik untuk diri kita sendiri. Dan aku cenderung memilih ingin menjadi ibu rumahan.

Lalu, bagaimana dengan profesi guru sekarang ini? Jujur, aku senang sekali mengajar. Senang. Apalagi bertemu dan mengenal anak-anak. Aku senang. Satu-satunya alasan terberat untuk melepas pekerjaan ini nantinya adalah anak-anak. Ya, anak-anak. Aku senang mengenal mereka, berusaha memahami mereka, mengamati keunikan mereka, bercanda dan dicandai dengan mereka. Senang.

Aku juga tertantang mengenalkan, mengajarkan, dan memahamkan anak-anak pada matematika dengan mudah dan menyenangkan. Karena selama ini, mayoritas anak jika ditanya suka tidaknya, sulit tidaknya dengan pelajaran matematika, mereka menjawab tidak suka dan sulit. Ini terkesan sebagai PR buatku sebagai guru matematika.

Banyak hal yang kutemui. Salah satunya, ada sebenarnya anak itu punya kecerdasan matematika, tetapi terjebak dalam suasana belajar mengajar yang tidak nyaman. Ada yang memang kecerdasan matematikanya tidak begitu menonjol, tapi berusaha untuk menyukai. Ada juga yang bikin terheran-heran sekaligus senang pada mereka yang suka dan antusias jika pelajaran matematika. Yang semua itu membutuhkan penyikapan, penanganan, dan pendekatan yang berbeda. Itulah mengapa, kadang aku juga terbesit sesuatu yang sebenarnya itu juga menjadi impianku, tetapi tidak masuk prioritas utama. Bahwa aku masih punya keinginan dan harapan untuk kuliah lagi, untuk belajar lagi di universitas impianku, yaitu Universitas Gadja Mada (UGM) Yogyakarta dengan jurusan Magister Psikologi Pendidikan. Aku ingin lebih memahami korelasi ilmu psikologi dengan pendidikan, khususnya dalam mendukung pembelajaran matematika. Aku benar-benar ingin punya kesempatan tinggal di Yogyakarta.

Entahlah!

Kata ibuku, jangan terlalu mikirin ke depannya bagaimana. Sekarang ya sekarang, dijalani saja dulu. Nanti ya nanti. Benar juga sih. Mungkin aku terlalu gelisah dengan masa depan dan kurang menikamati esensi masa sekarang. Tetapi, inilah ungkapan dari lubuk hatiku yang paling dalam.


~Wenny Pangestuti~


Sumber foto : wp.com

1 comment :

Ninda said...

asal suami ridho dan memang kita suka sih apapun tergantung kondisi dan pilihannya wen