Jika ditanya apakah aku
bahagia dengan profesiku sekarang? Ya, aku jawab bahagia. Aku bersyukur punya
pekerjaan, punya penghasilan sendiri. Namun, tak dipungkiri bahwa adakalanya
aku mengeluh. Keletihan bekerja membuatku berpikir, aku masih single seperti ini merasa payah menjadi
wanita bekerja di luar rumah, lalu bagaimana jika kelak aku sudah berumah
tangga?
Jujur-jujur saja, dari dulu
–sma- aku pengennya jadi ibu rumah tangga tulen
alias ibu rumah tangga saja tanpa bekerja di luar rumah. Aku tahu bahwa pilihan
ini mungkin akan berat mengingat aku kuliah, lalu mau diapakan pendidikan
tingginya kalo hanya jadi ibu rumahan saja? Sebenarnya tidak ada rugi-ruginya,
toh ilmu dan pengalaman yang kudapatkan selama jadi anak kuliah tetap akan ada
manfaatnya nanti saat aku menjadi ibu. Contoh, aku bisa jadi guru les buat
anakku sendiri. Ya kan?
Sebenarnya jadi ibu rumahan
saja gak rendah-rendah amat. Justru aku senang-senang aja punya tugas mencuci,
membersihkan rumah, memasak, mengurus anak dan suami, mendidik anak, dan tugas
rumahan lain. Bagiku, tugas ibu yang kelihatannya remeh temeh, berat juga lho alias gak mudah. Jadi, aku bayangin apa
jadinya bila tugas tersebut dibagi waktu, tenaga, dan pikiran dengan tugas
bekerja di luar rumah. Jujur, aku tak begitu multi-tasking, walaupun ada
banyak ibu di luar sana yang mampu membuktikan bahwa mereka bisa melakukannya
dengan baik. Tapi, ini pilihanku di balik pertimbangan-pertimbangan pribadiku.
Sebenarnya maksudku tidak
membela ibu rumahan di atas ibu berkarir di luar rumah. Karena menurutku,
semuanya itu tergantung pilihan masing-masing individu dengan pertimbangannya
masing-masing. Jadi, tidak ada maksud men-judge
siapapun di sini. Yang berhak menentukan kita sendiri mana pilihan yang terbaik
untuk diri kita sendiri. Dan aku cenderung memilih ingin menjadi ibu rumahan.
Lalu, bagaimana dengan profesi
guru sekarang ini? Jujur, aku senang sekali mengajar. Senang. Apalagi bertemu
dan mengenal anak-anak. Aku senang. Satu-satunya alasan terberat untuk melepas
pekerjaan ini nantinya adalah anak-anak. Ya, anak-anak. Aku senang mengenal
mereka, berusaha memahami mereka, mengamati keunikan mereka, bercanda dan
dicandai dengan mereka. Senang.
Aku juga tertantang
mengenalkan, mengajarkan, dan memahamkan anak-anak pada matematika dengan mudah
dan menyenangkan. Karena selama ini, mayoritas anak jika ditanya suka tidaknya,
sulit tidaknya dengan pelajaran matematika, mereka menjawab tidak suka dan
sulit. Ini terkesan sebagai PR buatku sebagai guru matematika.
Banyak hal yang kutemui. Salah
satunya, ada sebenarnya anak itu punya kecerdasan matematika, tetapi terjebak
dalam suasana belajar mengajar yang tidak nyaman. Ada yang memang kecerdasan
matematikanya tidak begitu menonjol, tapi berusaha untuk menyukai. Ada juga
yang bikin terheran-heran sekaligus
senang pada mereka yang suka dan antusias jika pelajaran matematika. Yang semua
itu membutuhkan penyikapan, penanganan, dan pendekatan yang berbeda. Itulah
mengapa, kadang aku juga terbesit sesuatu yang sebenarnya itu juga menjadi
impianku, tetapi tidak masuk prioritas utama. Bahwa aku masih punya keinginan
dan harapan untuk kuliah lagi, untuk belajar lagi di universitas impianku,
yaitu Universitas Gadja Mada (UGM) Yogyakarta dengan jurusan Magister Psikologi
Pendidikan. Aku ingin lebih memahami korelasi ilmu psikologi dengan pendidikan,
khususnya dalam mendukung pembelajaran matematika. Aku benar-benar ingin punya
kesempatan tinggal di Yogyakarta.
Entahlah!
Kata ibuku, jangan terlalu
mikirin ke depannya bagaimana. Sekarang ya sekarang, dijalani saja dulu. Nanti
ya nanti. Benar juga sih. Mungkin aku terlalu gelisah dengan masa depan dan
kurang menikamati esensi masa sekarang. Tetapi, inilah ungkapan dari lubuk
hatiku yang paling dalam.
~Wenny Pangestuti~
Sumber foto : wp.com
1 comment :
asal suami ridho dan memang kita suka sih apapun tergantung kondisi dan pilihannya wen
Post a Comment