May 07, 2017

Be Easy to Wear


Saya lahir bukan dari lingkungan pesantren atau pun keturunan kyai, ulama, dan sebagainya. Saya hanyalah ordinary woman. Jadi, bisa dikatakan meskipun saya terlahir sebagai muslim, bekal ilmu agama saya standard. Saya pun tumbuh selayaknya anak pada umumnya, tidak ada yang istimewa.
Semuanya mulai berubah ketika kelas VIII SMP. Dari membaca sebuah cerpen, terbukalah tabir rasa penasaran saya pada agama yang saya anut bahwa kayaknya Islam gak hanya ngatur shalat aja, puasa aja, nyuruh kita gak durhaka saja, dan bla bla bla. Masalah gejolak asmara anak ABG, Islam juga bahas deh. Itu lantaran cerpen yang saya baca mengulas bahwa nggak ada istilah pacaran dalam Islam. Dari bahasan itulah, saya mulai penasaran memahami Islam lebih dalam. Saya menjadi semakin tertarik membaca buku-buku yang bernuansa Islam mulai dari yang fiksi hingga yang non-fiksi, mulai dari yang bahasannya ringan hingga yang konteksnya berat dan dalam. Saya pun lambat laun jadi mengenal beberapa hukum Islam, salah satunya kewajiban menutup aurat bagi wanita yang telah memasuki masa baligh.
Saya pun berproses dalam menutup aurat. Mula-mula, pakai kerudung apa adanya, gak sampai menutup dada, kadang dililitkan ke leher, pakaian masih ketat, bercelana, atau pakai kaos lengan pendek ditambahi pakai deker buat nutup lengan tangan. Lalu, mulai berubah konsisten pakai rok, kerudung dilonggarin, gak lagi pake gaya dililitin di leher. Terus, mulai coba-coba pakai kaos kaki keluar rumah meskipun cuma ke warung sebelah atau ke warnet, kerudung dirangkap-rangkap kalo tipis, baju juga begitu, kalo terawang didobel pake daleman kaos. Finally, semuanya kian berubah ketika saya masuk dunia perkuliahan. Di sana saya memahami lebih jelas makna ayat Qur’an Surah Al-Ahzab ayat 59 bahwa yang dimaksud jilbab itu beda dengan kerudung. Jilbab kalo dikembalikan lagi dalam konteks bahasa Arab adalah baju mantel atau terusan yang menutupi pakaian dalam/rumahan (al-mihna). Dari sanalah saya memulai berhijrah memakai jilbab setiap keluar rumah. Jadi, kemana-mana pakai yang namanya gamis. Alhamdulillah sampai sekarang.
Ada kesulitan nggak berhijrah seperti itu? Otomatis ada. Yang namanya perubahan, pasti ada pro dan kontra. Seperti yang saya alami juga. Pro dan kontra yang paling kerasa itu datangnya dari keluarga, khususnya orang tua. Secara gitu, mereka adalah orang yang paling dekat dengan kita. Jadi wajarlah kalo mungkin mereka ‘heran’ atau bertanya-tanya kenapa anakku jadi berubah kayak gini. Ketakutan terjerumus pada aliran sesat salah satu kekhawatiran orang pada umumnya tatkala melihat wanita berubah dalam berpakaian, termasuk orang tuaku. Tapi, semua itu dikembalikan dari kekuatan komitmen kita masing-masing. Kita berubahnya karena apa dulu, ikut-ikutan saja atau karena kesadaran diri bahwa itu adalah perintah dari Allah. Saya meyakinkan orangtua kalo pilihan saya ini bukan karena ikut-ikutan semata, tapi karena pemahaman saya pada perintah Allah yang ada pada al-Qur’an. Lambat laun mereka pun bisa memahami dan menghargai pilihan saya hingga sekarang. Alhamdulillah.
Tapi itu saja belum cukup ternyata. Tantangan di luar seperti lingkungan masyarakat masih tetap ada. Apalagi kalo kita memasuki dunia kerja, sedikit atau banyak, kecil atau besar, yang namanya gesekan mengenai pilihan berpakaian syar’i pasti ada. Pikiranku, bagaimanapun caranya aku tetap harus pakai jilbab, meskipun ada di lingkungan kerja. Ya Alhamdulillah aku bekerja sebagai guru di sebuah mts swasta, jadi dalam hal berpakaian aku tidak menemukan kendala yang berarti. Awal-awal kerja aku masih pakai gamis batik begitu. Lalu, selanjutkan aku jahitin beberapa kain buat seragam kerja. Aku desain dengan gaya tetap formal buat ngajar, tapi tetap berupa terusan. Jadi, beberapa model pakaian kerjaku kelihatan dari luar seperti potongan, tapi aslinya itu terusan.

Atas : bagian luar, Bawah : bagian dalam
Pernah suatu ketika aku mancing pertanyaan ke siswa. Aku tanya apakah menurut mereka pakaianku ini potongan atau terusan. Mereka mengiranya potongan. Aku jelaskan kalo ini sebenarnya terusan. Lalu aku jelaskan sekilas mengenai prinsipku dalam berpakaian ke mereka.
Soal kerudung, terus terang aku bukan tipe orang yang sering belanja fashion. Jadi koleksi pakaian dan kerudungku tidak begitu banyak dan beragam. Ya itu-itu saja. Paling, kalo belanja sekedar ketika akan lebaran. Beberapa kerudungku ada yang bahannya tipis dan terawang. Karena sayang juga kalo tidak dipakai, jadi kadang masih saya pakai termasuk ketika kerja dengan syarat didobel dengan kerudung lain yang warnanya matching. Beberapa siswa ada yang menyadari hal ini dan iseng-iseng bertanya kerudungnya dirangkap ya Bu. Dari situ, kadang aku jelaskan kenapa dirangkap. Ya secara tidak langsung aku juga mengenalkan prinsipku sembari meluruskan konsep berkerudung yang benar ke anak-anak.
Dari sini sebenarnya aku belajar, ya sebenarnya sejak kuliah juga, aku menyadari ini, bahwa terkadang dakwah tersampaikan tidak hanya melalui lisan kata, tetapi juga dari sikap atau kelakuan sehari-hari kita. Disadari atau tidak, secara langsung atau tidak, ketika kita memilih untuk berpakaian syar’i, hal itu membawa pesan tersendiri terhadap orang-orang di sekitar kita. Ya memang perubahan kembali lagi kepada pilihan masing-masing, tetapi harus kita ingat juga bahwa ada ayat Qur’an yang menjelaskan bahwa tugas kita menyampaikan kebenaran itu sendiri, berubah tidaknya seseorang itu adalah kehendak Allah. Karena Allah berkuasa terhadap segala sesuatu, termasuk masalah membolak-balikan hati manusia.

Katakanlah: "Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada rasul; dan jika kamu berpaling maka sesungguhnya kewajiban rasul itu adalah apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu sekalian adalah semata-mata apa yang dibebankan kepadamu. Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. Dan tidak lain kewajiban rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang."
(TQS. An-Nuur [24]: 54)

Tanpa aku sadari hampir satu tahun aku mengajar di tempatku sekarang kala itu, bertepatan juga dengan hari terakhir ujian semester genap dan menjelang hari ulang tahunku, siswa-siswaku kelas VII-C menghadiahiku suatu bingkisan. Kebetulan waktu itu aku wali kelas VII-C. Setelah aku buka di rumah, tak diduga isinya berupa gamis lengkap dengan kerudung. Mereka paham bahwa aku kesehariannya berpakaian gamis. Tidak menyangkanya lagi, kerudungnya ada dua stel. Satu kerudung tipis dan terawang, jadi mungkin kerudung lainnya bisa dipakai buat dobelan. Mereka paham betul kalo aku biasa mendobel kerudung kalo terawang. Sungguh aku senang menerimanya. Sebenarnya bukan karena hadiahnya, tetapi senang karena mereka bisa mengerti aku. Senang bila dimengerti orang lain sekalipun mereka siswa-siswaku.
Saat itu aku ingin menghubungi mereka yang telah menghadiahiku sebagai rasa terima kasihku pada mereka. Tetapi aku tidak mempunyai nomor mereka satu per satu. Jadi, aku meluapkan rasa bahagiaku hanya lewat status di facebook. Setidaknya aku ingin mengapresiasi inisiatif mereka yang benar-benar tak kusangka. Terima kasih.

Apapun pilihan hidup kita, pasti akan ada yang namanya pro dan kontra. Maka pilihlah pilihan yang baik. Karena walaupun ada kontra dan kendala yang menerjang, tetap ada juga yang namanya pro atau bahagia yang menghibur dan menyemangati kita untuk selalu tetap kuat. Percayalah!

Ini kenangan status di facebook saya kala itu:
Berpakaian syar'i itu adalah kewajiban seorang muslim, khususnya muslimah. Di lingkungan kerja juga tetap wajib berpakaian syar'i. Pedomanku berpakaian syar'i adalah surah An-Nur [24] : 31 dan Al-Ahzab [33] : 59. Sehingga ketika aku keluar rumah, aku memakai jilbab atau yg lebih dikenal akrab di masyarakat dengan gamis (baju terusan). Saat mengajar juga begitu. Aku sampai menjahitkan seragam sendiri ke saudara, supaya seragamku syar'i (terusan) dan tetap terkesan seragam mengajar (formal). Saat berkerudung, bila kainnya tipis dan terawang, aku merangkapnya dengan kain yang warnanya matching. Sehingga tak jarang beberapa siswa bertanya, "Bu, kerudungnya didobel ya? Kenapa, Bu?" Aku menjawab, "Iya, biar gak terawang. Kan syaratnya menutup aurat tidak boleh terawang. Kalau terawang kan auratnya masih tetap keliatan." Dan, dengan semua prinsipku itu, apa yang terjadi hari ini?
"For a gift I get today, I give thank's to my lovely students, VII-C."
Masya Allah, apa yang kalian berikan ke saya hari ini Luar Biasa, Rek! Saya tidak menyangka kalian akan berbuat seperti ini. Saya sangat berterima kasih.
Saya yakin uang yang kalian gunakan untuk membelinya tentu tak sedikit. Lebih dari itu, pemikiran kalian, ide kalian itu sungguh luar biasa.
Sungguh ini bukan sekedar hadiah bagi saya, tapi ini berkah. Apa yang kalian berikan bukan sekedar pakaian, tapi ketaqwaan. Pakaian yang ketika saya gunakan bernilai ibadah untuk menutup aurat dengan syar'i. Yang kalian lakukan bukan sekedar memberi hadiah, tapi juga ibadah.
Semoga semua ini menjadi berkah dan menjadi jalan kemudahan dari Allah untuk menjaga kalian selalu dalam keimanan dan ketaqwaan yang hakiki.
Apa yang tertuang pada kata-kata saya tidaklah seberapa dengan luapan berbagai perasaan dalam hati saya, bangga, terharu, dan semuanya.
Sekali lagi, terima kasih atas perhatian kalian terhadap saya. Saya sangat bahagia dan bangga mengenal kalian. Saya juga masih dan akan terus belajar untuk menjadi pribadi yang lebih baik.
Love u all coz Allah.
I'm proud of my lovely students, VII-C.
~Wenny Pangestuti~

6 comments :

arya.poetra said...

Berproses itu, menyenangan bukan?

Wenny Pangestuti said...

@ry: ya, rahasia kebahagian dr bersabar mnjalani proses menuju perubahan yg lbh baik.

Mirwan Choky said...

Mari kita berjirah walaupun banyak tantangan.

Wenny Pangestuti said...

@mirwan: 👍benar. Setuju!

Diana said...

Pasti bahagia sekali punya murid-murid seperti itu :))

Ninda said...

aku juga pernah jahit baju rok-kemeja look a like gitu wen tapi mungkin krn orgnya blm pernah bikin jd blm gitu enak di badan hahaha akhirnya balik lagi lah aku ke terusan biasa aja.