Pria
itu mengucapkan kata-kata yang mengalihkan pandanganku kepadanya, yang
sebelumnya aku tak mengacuhkannnya.
Tak
terasa air mata menggenang di pelupuk mata, hendak mengalir keluar, namun
sedapat mungkin aku menahannya. Agar tak ada yang menyadari perubahan dalam
mimik wajahku oleh mereka, yang juga ada di situ, keluarga besarku. Ayah, ibu,
bibi, sepupu-sepupuku dan saudara-saudara ibu lainnya.
Menyadari
ada yang aneh, pria itu menoleh heran terhadapku, menghentikan seketika apa
yang sedari tadi ia ucapkan. Membuat yang lain pun juga menyadari akan
perubahan mimikku.
“Wenny?”
“Ada apa?”
Aku
membuang pandangan darinya, menatap lurus agak ke bawah pandangan di hadapanku
tanpa fokus.
Semua
orang yang telah hidup lama denganku tahu bahwa aku yang pendiam, tak biasa
mengungkapkan apa yang ada dalam pikiranku atau yang kurasa. Mereka memilih
diam, tak juga bertanya seperti pria itu. Mereka tahu bahwa pasti ada yang
sedang kupikirkan dan aku tak bisa menyampaikannya pada mereka. Mereka telah
cukup mengenalku walau aku tak mengenalkan seperti apa aku dengan detail pada
mereka lewat lisanku. Mereka telah banyak dan sering membaca sikapku yang
cenderung pendiam, tersenyum sewajarnya, dalam diam seperti ada yang
dipikirkan. Mereka tahu aku berbeda. Aku pemikir. Dibanding dengan anggota
keluarga lain, aku lebih pemikir, berani memilih apa yang kuyakini walau
berbeda dengan kebanyakan orang.
Sudah
beberapa hari di rumah kami kedatangan pria itu. Ia menginap, bercengkerama
dengan keluargaku tanpa kaku yang menjembataninya. Ia memang pria yang
menyenangkan bagi orang lain. Ia identik dengan kemeja berlengan panjang dan
celana kain. Rapi, itulah dia. Ia membaur dengan siapa pun. Dari muda hingga
tua. Itulah mengapa banyak yang menyukainya. Pun dengan semua keluargaku. Tak
ada satu pun yang tak menyukainya. Hanya aku yang bersikap biasa saja
dengannya. Bersikap sewajarnya.
Kini,
saatnyalah ia pamit pulang. Semua menghantar detik-etik kepergiannya dengan
rasa kehilangan setelah sekian hari ia mengisi hari-hari mereka dengan suasana
baru yang menyenangkan.
Lalu,
bagaimana dengan aku? Aku, tanpa kumengerti, aku pun seperti merasa kehilangan.
Ku akui itu. Saat itu terasa semua tiba-tiba menjadi jelas. Setelah sebelumnya
aku biasa-biasa saja dan tak yakin. Bahwa aku akan kehilangan dia dan aku
takut. Ia telah menuang kehangatan, rasa, dan warna di hatiku. Lagi, air mata
menggenang di pelupuk mataku. Namun, sedapat mungkin ku tahan ia keluar dari
ujung mataku.
Detik-detik
ia mulai membalikkan punggungnya, membelakangi kami, melangkah demi langkah
semakin menjauhi kami, saat itu aku seperti sudah hilang kendali. Aku menyeruak
dari kerumunan keluarga, dan menghambur berlari menujunya. Sekejap itulah aku
merangkul lingkar perutnya dari belakang dengan membungkukkan badan,
menempelkan pipi kananku di punggungnya. Aku menangis, terisak-isak, sesekali
menjerit pelan. Aku telah menghentikan langkahnya dengan ia terpaku sejenak tak
menduga apa yang baru terjadi ini.
Begitu
pula keluargaku, terpaku pada pemandangan yang terjadi di hadapan mereka saat
itu. Apalagi dengan isak tangisku yang pilu tanpa kata-kata yang keluar sedikit
pun dari bibirku.
Hari
itu terjadi momen yang langka bagi keluargaku. Karena untuk pertama kalinya
mereka melihat aku bersikap penuh harap pada seorang pria. Untuk pertama
kalinya mereka melihat cinta dariku untuk seorang pria setelah sekian lama
mereka tak pernah tahu menahu aku berurusan dengan laki-laki atau sekadar suka
pada laki-laki. Untuk pertama kalinya mereka melihat.... aku telah jatuh
cinta.
“Putri
kami telah jatuh cinta.”
~Wenny Pangestuti~