January 11, 2014

Brian



Aku pernah mempunyai seorang murid. Kristen agamanya. Laki-laki jenis kelaminnya. Saat itu ia kelas VIII SMP. Brian namanya. Brian adalah anak yang menarik bagiku. Bukan karena dia anak yang tampan atau populer di sekolahnya. Sebaliknya, Brian adalah anak yang kecil, hitam manis, kelihatannya kurang aktif di kelas. Semaunya sendiri, mungkin itu pendapat orang yang melihatnya pertama kali. Di kelasku, Brian pernah tidur. Diminta mengerjakan tugas, baik individu maupun kelompok, susahnya minta ampun. Berdalih dengan seribu alasan. Mengucapkan semua alasannya dengan santai. Pernah suatu ketika ulangan harian. Siswa-siswa lain sibuk mencari jawaban, hanya dia yang ‘lempeng-lempeng’ saja. Lunglai. Justru asyik menggunting kertas.


Bel istirahat berbunyi. Brian kupanggil. Kuminta duduk di dekatku. Bertanyalah aku, ada apa, kenapa. “Apa kamu tidak suka matematika? Apa kamu kesulitan memahami matematika? Atau apa penjelasan saya kurang jelas? Kasih tahu saya jika ada yang kurang dalam cara saya mengajar.” Dia menggeleng sambil menunduk.


“Lalu kenapa?” Dia tetap diam menunduk.


“Brian, kamu punya cita-cita?” 


“Ya, punya, Bu.” 


“Apa cita-citamu?”


“Pokoknya ada wes, Bu.” 


“Kamu rajin sembayang ke gereja setiap minggu?”


“Iya, Bu.”


“Kamu ada masalah? Coba ceritakan sama saya. Anggaplah saya ini sahabat yang ingin membantu kesulitan kamu. Kamu ada masalah dengan sekolah?”


“Enggak, Bu. Masalah di rumah.”


“Baiklah Brian. Kalo kamu gak bisa cerita sekarang. Tidak apa-apa. Tapi, ingatlah, Brian, jika kamu ada masalah jangan kamu pendam sendiri. Ceritakan.”


“Kamu tahu buku ini?” Tiba-tiba aku menunjuk buku catatanku yang berwarna oranye dengan motif kupu-kupu. 


“Buku ini selalu saya bawa kemana pun saya pergi. Saya suka menulis. Saya tulis bila ada sesuatu yang ingin saya tulis. Minimal kalo kamu gak mau cerita, kamu tuliskan. Ok, saya tunggu kamu kapanpun selama saya masih mengajar di sini sampe kamu siap mau bercerita ke saya.”


Hari-hari lain Brian masih belum menunjukkan ada perubahan berarti. Tapi, pada suatu hari Brian membuat saya tersenyum. Dia semangat sekali mau maju menjawab soal yang saya tulis di papan. Lucunya, dia sempat berkata, “Bu, ijin ya keluar, saya haus.”
 

“Kenapa gak dari tadi istirahat kamu minum, ini kan sudah masuk, Brian.”


“Ya wes, tapi minum saja ya. Habis minum sudah harus kembali ke kelas. Sudah sana ke belakang.” Dia geleng-geleng kepala. “ Enggak sudah, Bu.”
 

“Katanya haus.” 


“Gak punya uang.” 


Aku menarik napas, sambil geleng—geleng kepala. “Ya wes ini uang sana beli minum. Tapi ingat ya habis minum harus segera kembali.”
 

“Iya, Bu.”


Akhirnya Brian kembali ke kelas. “Bu, ini kembaliannya,” sambil menyerahkan uang Rp500,-. Ingin kutertawa melihat ulahnya.


Suatu hari Brian belum mengumpulkan ulangan harian. Ketika saya tagih, “Brian, mana ulangan harianmu? Punyamu gak ada.” 


“Belum, Bu.” 


“Lho terus gimana?” 


“Saya mengumpulkan Jum’at ya, Bu.” 


“Ok wes, Brian, saya mengiyakan karena saya PERCAYA sama kamu. Ingat, Brian, karena saya PERCYA sama kamu. Jadi, tolong jangan salahgunakan kepercayaan saya ke kamu.” 


“Iya, Bu.”


Ternyata setelah ditunggu-tunggu hari Jum’at lalu berganti Sabtu, Brian tidak mengumpulkan ulangannnya. Pada hari Senin saya mengajar, akhirnya Brian mengumpulkannya. Tapi apa yang terjadi? Ketika saya mengoreksi di kontrakan, ternyata Brian hanya mennjawab dua soal dari empat soal yang ada. Itu pun tidak lengkap hingga akhir penyelesaian. Alhasil, nilai Brian sama dengan 14 dari saya. Saya tuliskan pesan pada kertas ulangannya. Ok, Brian. Saya menghargai usaha dan tanggung jawabmu sudah mau mengumpulkan tugas ini. Ok, sekarang kamu tidak usah melihat angka 14 di atas. Hari ini memang belum berhasil, tapi yakinlah esok pasti berhasil. .....”


Setelah kertas ulangan semua siswa telah dibagikan, di tengah saya membersihkan papan tulis sebelum meninggalkan kelas, Brian langsung menghampiri saya, dan berkata, “Bu, ikum.” Maksudnya, ia hendak meminta tangan saya untuk ikum dengan raut  muka yang saya tidak bisa mendeskripsikan. Tapi, aku merasa Brian memahami maksud saya yang tertulis di kertas ulangannya. Saya bahagia dengan kejadian itu.


Hari-hari berikutnya setiap kali bertemu di sekolah, Brian menjadi sering minta ikum. Tapi tidak selalu saya turuti.


Hari lain ternyata saya belum bisa bahagia seutuhnya karena aktivitas belajar Brian masih begitu-begitu saja. Dalam artian, dia tidak mau mencatat. Masih sering tidak memperhatikan guru. Malah ketika saya baru selesai keliling kelas menenangkan murid yang ramai lalu baru saja saya duduk, Brian menghampiri saya dan berkata, “Bu, permisi. Ngambil kapal.” Maksudnya, mau mengambil kapal-kapalan dari kertas.


”Dimana?” tanya saya sambil mencari-cari di bawah bangku saya.


“Bukan di situ, Bu.”


“Dimana?” 


“Di baju Ibu.” 


Ternyata benar. Kapalnya jatuh di atas pangkuan saya. Duh, saya mau marah tidak bisa. Hanya bisa tersenyum, menarik napas dan menggeleng-geleng kepala. “Brian...Brian.... sudah, tidak boleh main kapal.”


Pernah suatu ketika saya sudah hampir mau menyerah menghadapi anak-anak. Akhirnya, pelajaran matematika hari itu saya ubah menjadi pelajaran motivasi. Mengajak mereka berpikir tentang kehidupan. Hidup mereka itu mau dibawa kemana. Apa yang paling mereka inginkan dari hidup. Apa yang membahagiakan mereka dalam hidup. Apa tujuan mereka hidup. Renungkan, pinta saya. Saya memberi satu per satu siswa kertas lipat warna untuk merika tuliskan jawaban-jawaban dari pertanyaan saya tadi. Ketika saya membaca hasilnya di aula, tempat mahasiswa PPL berkumpul, saya pilu, sedih bercampur apapun rasa yang membuat saya kepikiran terus saat membaca hasil milik Brian.  Apa yang ia inginkan.  Apa yang membahagiakannya. Apa tujuan hidupnya.


Sejak saat itu saya kepikiran hal itu terus. Sebenarnya siapa Brian. Bagaimana latar belakang keluarganya. Inikah yang membuat Brian menampakan perilaku demikian di kelas. Saya yakin bukan hanya satu Brian yang seperti ini di dunia saat ini tapi banyak Brian yang lain. Ini buah kapitalisme. Banyak anak yang  tumbuh tanpa hak cinta dan kasih sayang sempurna dan utuh dalam keluarga yang seharusnya mereka dapatkan bahkan dalam pendidikan. Miskin sosok yang bisa mereka teladani dan miskin pembinaan kepribadian.


Hari terakhir saya mengajar matematika di kelas tersebut. Saya marah-marah karena anak-anak membandel. Inilah pertama kali saya benar-benar marah. Sebelum-sebelumnya saya dikenal sebagai Bu ‘Sabar’. Saya katakan pada anak-anak, “Kalo kalian mengumpulkan tugas cuma mau nilai ke saya, saya gak sudi. Saya di sini bukan mau ngasih kalian nilai, tapi ngasih ilmu. BUKAN MAU NGASIH NILAI, TAPI NGASIH ILMU. Saya gak akan mengejar-ngejar kalian yang belum mengumpulkan tugas  hanya untuk setoran nilai ke guru. Jangan harap! Terserah kalian!” Lalu saya keluar sebelum jam berakhir.


Sejak saat itu saya yang biasanya tersenyum ramah menyapa anak-anak, sedikit mencueki mereka. Tapi apa yang dilakukan Brian. Di luar dugaan saya. Dia bilang, ”Bu, rumah Bu Guru dimana? Saya mau belajar ke Bu Guru.”
 

“Bu, ayo ke rumah. Saya mau belajar sama Bu Guru. Ya Bu?”


“Saya gak tahu. Saya gak janji”,jawab saya. 


Sungguh kata-kata Brian itu sangat membekas di dalam memori saya. Dari lubuk hati saya, sejak tahu apa yang menjadi keinginan Brian itu, saya ingin tahu ibu Brian. Dan ketika Brian menawari saya ke rumah dia, saya sebenarnya ingin. Karena saya ingin bertemu ibu Brian. Saya ingin tahu seperti apa ibu yang sangat dicintai anaknya ini.


Saya akui saya jadi menyayangi Brian. Jika Brian anak saya, saya ingin memeluknya. Orang mungkin melihat Brian bisa tertawa di hadapan orang, loncat-loncat bermain dengan teman-temannya. Tapi di balik itu, dia menyimpan sesuatu yang kelam dan pahit. Dan saya bersimpati dengan itu. Saya ingin membantu mengubah sudut pandangnya dalam memandang kehidupan. Membimbing dia meraih bintang dalam hidupnya.




~Wenny Pangestuti~

No comments :