Aku pernah mempunyai seorang murid. Kristen agamanya.
Laki-laki jenis kelaminnya. Saat itu ia kelas VIII SMP. Brian namanya. Brian
adalah anak yang menarik bagiku. Bukan karena dia anak yang tampan atau populer
di sekolahnya. Sebaliknya, Brian adalah anak yang kecil, hitam manis,
kelihatannya kurang aktif di kelas. Semaunya sendiri, mungkin itu pendapat
orang yang melihatnya pertama kali. Di kelasku, Brian pernah tidur. Diminta mengerjakan
tugas, baik individu maupun kelompok, susahnya minta ampun. Berdalih dengan
seribu alasan. Mengucapkan semua alasannya dengan santai. Pernah suatu ketika
ulangan harian. Siswa-siswa lain sibuk mencari jawaban, hanya dia yang ‘lempeng-lempeng’
saja. Lunglai. Justru asyik menggunting kertas.
Bel istirahat berbunyi. Brian kupanggil. Kuminta duduk
di dekatku. Bertanyalah aku, ada apa, kenapa. “Apa kamu tidak
suka matematika? Apa kamu kesulitan memahami matematika? Atau apa penjelasan
saya kurang jelas? Kasih tahu saya jika ada yang kurang dalam cara saya
mengajar.” Dia menggeleng sambil menunduk.
“Lalu kenapa?” Dia tetap diam menunduk.
“Brian, kamu punya cita-cita?”
“Ya, punya, Bu.”
“Apa cita-citamu?”
“Pokoknya ada wes, Bu.”
“Kamu rajin sembayang ke gereja setiap minggu?”
“Iya, Bu.”
“Kamu ada masalah? Coba ceritakan sama saya. Anggaplah
saya ini sahabat yang ingin membantu kesulitan kamu. Kamu ada masalah dengan
sekolah?”
“Enggak, Bu. Masalah di rumah.”
“Baiklah Brian. Kalo kamu gak bisa cerita sekarang. Tidak
apa-apa. Tapi, ingatlah, Brian, jika kamu ada masalah jangan kamu pendam
sendiri. Ceritakan.”
“Kamu tahu buku ini?” Tiba-tiba aku menunjuk buku
catatanku yang berwarna oranye dengan motif kupu-kupu.
“Buku ini selalu saya bawa kemana pun saya pergi. Saya
suka menulis. Saya tulis bila ada sesuatu yang ingin saya tulis. Minimal kalo
kamu gak mau cerita, kamu tuliskan. Ok, saya tunggu kamu kapanpun selama saya
masih mengajar di sini sampe kamu siap mau bercerita ke saya.”
Hari-hari lain Brian masih belum menunjukkan ada
perubahan berarti. Tapi, pada suatu hari Brian membuat saya tersenyum. Dia semangat
sekali mau maju menjawab soal yang saya tulis di papan. Lucunya, dia sempat
berkata, “Bu, ijin ya keluar, saya haus.”
“Kenapa gak dari tadi istirahat kamu minum, ini kan sudah masuk, Brian.”
“Ya wes, tapi minum saja ya. Habis minum sudah harus
kembali ke kelas. Sudah sana ke belakang.” Dia geleng-geleng kepala. “
Enggak sudah, Bu.”
“Katanya haus.”
“Gak punya uang.”
Aku menarik napas, sambil geleng—geleng kepala. “Ya wes
ini uang sana beli minum. Tapi ingat ya habis minum harus segera kembali.”
“Iya, Bu.”
Akhirnya Brian kembali ke kelas. “Bu, ini kembaliannya,”
sambil menyerahkan uang Rp500,-. Ingin kutertawa melihat ulahnya.
Suatu hari Brian belum mengumpulkan ulangan harian. Ketika
saya tagih, “Brian, mana ulangan harianmu? Punyamu gak ada.”
“Belum, Bu.”
“Lho terus gimana?”
“Saya mengumpulkan Jum’at ya, Bu.”
“Ok wes, Brian, saya mengiyakan karena saya PERCAYA
sama kamu. Ingat, Brian, karena saya PERCYA sama kamu. Jadi, tolong jangan salahgunakan
kepercayaan saya ke kamu.”
“Iya, Bu.”
Ternyata setelah ditunggu-tunggu hari Jum’at lalu
berganti Sabtu, Brian tidak mengumpulkan ulangannnya. Pada hari Senin saya
mengajar, akhirnya Brian mengumpulkannya. Tapi apa yang terjadi? Ketika saya mengoreksi
di kontrakan, ternyata Brian hanya mennjawab dua soal dari empat soal yang ada.
Itu pun tidak lengkap hingga akhir penyelesaian. Alhasil, nilai Brian sama
dengan 14 dari saya. Saya tuliskan pesan pada kertas ulangannya. Ok, Brian.
Saya menghargai usaha dan tanggung jawabmu sudah mau mengumpulkan tugas ini.
Ok, sekarang kamu tidak usah melihat angka 14 di atas. Hari ini memang belum
berhasil, tapi yakinlah esok pasti berhasil. .....”
Setelah kertas ulangan semua siswa telah dibagikan, di
tengah saya membersihkan papan tulis sebelum meninggalkan kelas, Brian langsung
menghampiri saya, dan berkata, “Bu, ikum.” Maksudnya, ia hendak meminta
tangan saya untuk ikum dengan raut
muka yang saya tidak bisa mendeskripsikan. Tapi, aku merasa Brian
memahami maksud saya yang tertulis di kertas ulangannya. Saya bahagia
dengan kejadian itu.
Hari-hari berikutnya setiap kali bertemu di sekolah,
Brian menjadi sering minta ikum. Tapi tidak selalu saya turuti.
Hari lain ternyata saya belum bisa bahagia seutuhnya
karena aktivitas belajar Brian masih begitu-begitu saja. Dalam artian, dia
tidak mau mencatat. Masih sering tidak memperhatikan guru. Malah ketika saya
baru selesai keliling kelas menenangkan murid yang ramai lalu baru saja saya
duduk, Brian menghampiri saya dan berkata, “Bu, permisi. Ngambil kapal.”
Maksudnya, mau mengambil kapal-kapalan dari kertas.
”Dimana?” tanya saya sambil mencari-cari di bawah bangku saya.
“Bukan di situ, Bu.”
“Dimana?”
“Di baju Ibu.”
Ternyata benar. Kapalnya jatuh di atas pangkuan saya.
Duh, saya mau marah tidak bisa. Hanya bisa tersenyum, menarik napas dan menggeleng-geleng
kepala. “Brian...Brian.... sudah, tidak boleh main kapal.”
Pernah suatu ketika saya sudah hampir mau menyerah menghadapi
anak-anak. Akhirnya, pelajaran matematika hari itu saya ubah menjadi pelajaran
motivasi. Mengajak mereka berpikir tentang kehidupan. Hidup mereka itu mau dibawa
kemana. Apa yang paling mereka inginkan dari hidup. Apa yang membahagiakan
mereka dalam hidup. Apa tujuan mereka hidup. Renungkan, pinta saya. Saya memberi
satu per satu siswa kertas lipat warna untuk merika tuliskan jawaban-jawaban
dari pertanyaan saya tadi. Ketika saya membaca hasilnya di aula, tempat mahasiswa
PPL berkumpul, saya pilu, sedih bercampur apapun rasa yang membuat saya
kepikiran terus saat membaca hasil milik Brian. Apa yang ia inginkan. Apa yang membahagiakannya. Apa tujuan
hidupnya.
Sejak saat itu saya kepikiran hal itu terus. Sebenarnya
siapa Brian. Bagaimana latar belakang keluarganya. Inikah yang membuat Brian
menampakan perilaku demikian di kelas. Saya yakin bukan hanya satu Brian yang
seperti ini di dunia saat ini tapi banyak Brian yang lain. Ini buah
kapitalisme. Banyak anak yang tumbuh
tanpa hak cinta dan kasih sayang sempurna dan utuh dalam keluarga yang seharusnya
mereka dapatkan bahkan dalam pendidikan. Miskin sosok yang bisa mereka teladani
dan miskin pembinaan kepribadian.
Hari terakhir saya mengajar matematika di kelas
tersebut. Saya marah-marah karena anak-anak membandel. Inilah pertama kali saya
benar-benar marah. Sebelum-sebelumnya saya dikenal sebagai Bu ‘Sabar’. Saya katakan
pada anak-anak, “Kalo kalian mengumpulkan tugas cuma mau nilai ke saya, saya gak
sudi. Saya di sini bukan mau ngasih kalian nilai, tapi ngasih ilmu. BUKAN MAU
NGASIH NILAI, TAPI NGASIH ILMU. Saya gak akan mengejar-ngejar kalian yang belum
mengumpulkan tugas hanya untuk setoran
nilai ke guru. Jangan harap! Terserah kalian!” Lalu saya keluar sebelum jam
berakhir.
Sejak saat itu saya yang biasanya tersenyum ramah
menyapa anak-anak, sedikit mencueki mereka. Tapi apa yang dilakukan Brian. Di
luar dugaan saya. Dia bilang, ”Bu, rumah Bu Guru dimana? Saya mau belajar ke
Bu Guru.”
“Bu, ayo ke rumah. Saya mau belajar sama Bu Guru. Ya
Bu?”
“Saya gak tahu. Saya gak janji”,jawab saya.
Sungguh kata-kata Brian itu sangat membekas di dalam
memori saya. Dari lubuk hati saya, sejak tahu apa yang menjadi keinginan Brian
itu, saya ingin tahu ibu Brian. Dan ketika Brian menawari saya ke rumah dia, saya
sebenarnya ingin. Karena saya ingin bertemu ibu Brian. Saya ingin tahu seperti
apa ibu yang sangat dicintai anaknya ini.
Saya akui saya jadi menyayangi Brian. Jika Brian anak
saya, saya ingin memeluknya. Orang mungkin melihat Brian bisa tertawa di hadapan
orang, loncat-loncat bermain dengan teman-temannya. Tapi di balik itu, dia menyimpan
sesuatu yang kelam dan pahit. Dan saya bersimpati dengan itu. Saya ingin membantu
mengubah sudut pandangnya dalam memandang kehidupan. Membimbing dia meraih
bintang dalam hidupnya.
~Wenny Pangestuti~
No comments :
Post a Comment