October 17, 2014

Beyond Issue of ISIS


Sejak bulan Juli 2014 lalu Indonesia dihangatkan oleh pemberitaan mengenai Islamic State of Iraq dan Syam (ISIS). Dalam pemberitaan yang ada, ISIS disebut-sebut telah memproklamirkan berdirinya Khilafah Islamiyah di sebagian wilayah Iraq dan Suriah. Tidak hanya itu, beredar video yang berisi ajakan kepada kaum Muslim di Indonesia –yang notabene mayoritas Muslim- untuk berbaiat kepada Abu Bakar al-Baghdadi, pemimpin ISIS tersebut.
Tentu saja pemberitaan ini memicu reaksi yang beragam dari berbagai kalangan. Ada yang kontra dan ada pula yang pro. Sejauh ini dalam pemberitaan yang ada, banyak pihak yang kontra dan memberi alarm waspada kepada Muslim Indonesia untuk berhati-hati terhadap fenomena ISIS ini. Salah satunya, sikap yang dikeluarkan oleh pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam surat edaran Menteri Dalam Negeri tanggal 7 Agustus 2014, yang isinya meminta kepada seluruh kepala daerah agar mencegah merebaknya pengaruh ISIS di Indonesia.
Nah, lebih lanjut dalam pembahasan ini, saya tidak bermaksud akan mengulas ISIS lebih jauh mengenai siapa, apa, dan bagaimana sejarah ISIS tersebut. Namun, ada potret penting yang saya tarik di balik merebaknya isu ISIS ini, yaitu mengenai respon sebagian kalangan umat Islam mengenai isu ISIS ini, khususnya para ulama, tokoh Islam, organisasi Islam dan para aktivis dakwahnya.
Di tengah resahnya masyarakat Indonesia tentang beredarnya isu ISIS ini, bagaimana mereka harus merespon dan menyikapinya. Pasalnya, poin tentang khilafah adalah ada dalam khazanah Islam, seperti dalam sirah Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam. Sejarah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hijrahnya bersama kaum Muslim dari Mekkah ke Madinah adalah bagian dari perjuangan beliau mendirikan tonggak pertama Daulah Islam (baca: Negara Islam). Beliau berperan tidak hanya sebagai nabi yang meluruskan aqidah umat manusia dengan Islam, namun juga sebagai kepala negara (khalifah) yang melayani urusan umat dalam segala aspek kehidupan dengan syariat Islam. Yang dalam kelanjutannya pasca Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam wafat, kekhalifahan ini dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin (Khalifah Abu Bakar as-Shiddiq, Khalifah Umar bin al-Khatab, Khalifah ‘Utsman bin Afan, dan Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib) lalu dinasti kekhalifahan (Umayyah, Abassiyah, Utsmaniyah). Bila dihitung masa usianya, kekhilafahan saat itu mampu bertahan kokoh menjadi mercusuar peradaban selama sekitar 13 abad atau 1300 tahun lamanya. Selain itu, kabar tentang khilafah ini juga tertuang dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan Ahmad sebagai berikut.

“Di tengah kalian berlangsung masa kenabian. Masa itu ada selama Allah menghendaki. Lalu, Allah mencabutnya, jika Ia telah berkehendak mencabutnya. Kemudian akan ada masa khilafah ‘ala minhajin nubuwwah. Masa itu ada selama Allah menghendaki. Lalu, Allah mencabutnya, jika Allah telah berkehendak mencabutnya. Kemudian akan ada masa kekuasaan yang menggigit/ zhalim. Masa itu ada selama Allah menghendaki. Lalu, Allah mencabut masa itu jika Ia telah berkehendak untuk mencabutnya. Kemudian akan ada masa kekuasaan pemaksa/ diktator. Masa itu ada selama Allah menghendaki. Lalu, Allah mencabut masa itu jika Ia telah berkehendak mencabutnya. Kemudian akan ada masa khilafah ‘ala minhajin nubuwwah, lalu beliau shallallahu ‘alaihi wasallam diam.”
HR. Ahmad dalam musnadnya

Jadi, sebenarnya dari konteks ide kekhilafahannya tidak bertentangan dengan khazanah Islam. Yang menjadi masalahnya adalah keberadaan ISIS yang memproklamirkannya, yang keadaannya sering diwarnai dengan jalan kekerasan, pemaksaan kehendak, bahkan pembunuhan secara sadis. Lebih dari itu, keberadaan khilafah yang diproklamirkan ISIS terjadi di saat perang berlangsung dan wilayah yang tidak menjamin keamanan rakyatnya. Bahkan sikap ISIS atas agresi Israel terhadap penduduk Gaza juga menyisakan tanda tanya, tidak terlihat komitmen ISIS membela Palestina, yang tidak korelatif dengan eksistensi dan kapasitas ISIS sebagai Negara Islam.
Hangatnya perbincangan soal ISIS di Indonesia membuat sejumlah ormas Islam dan sejumlah ulama berkumpul, bertemu, dan mendiskusikan fenomena ini untuk bisa menelurkan pernyataan sikap bersama supaya langkah yang akan diambil satu padu. Salah satunya, pada 8 Agustus 2014 lalu Majelis Ulama Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) menggelar pertemuan di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, yang dihadiri sejumlah utusan dari ormas-ormas Islam, tokoh masyarakat, juga putra Abu Bakar Ba’asyir, Abdurochim Ba’asyir, serta Abu Rusyan, ideolog dan pemerhati gerakan jihad. Tidak hanya itu, Bachtiar Nasir, Sekretaris Jenderal MIUMI dan sejumlah ulama muda MIUMI bertandang ke Malaysia serta berkumpul dengan ulama-ulama lain se-Asia Tenggara pada awal Agustus lalu guna membicarakan tentang ISIS ini.
Dari sini, saya bersyukur dengan keberadaan para ulama, tokoh Islam, ormas Islam dan para aktivis dakwahnya yang peduli terhadap kondisi kaum Muslim. Bukan hanya saya seharusnya, tetapi kita semua umat Islam seharusnya bersyukur dan termotivasi dengan masih adanya ulama-ulama yang peduli pada nasib umat Islam, pada kemurnian penerapan syariat Islam.Mengapa bersyukur dan termotivasi?
Ya, bersyukur karena di tengah carut marut problematika sekarang ini, masih ada orang-orang yang tidak diam saja, tetapi kritis bergerak membela, menyuarakan kebenaran tanpa lelah, putus asa dan pamrih. Ulama. Aktivis dakwah Islam. Bayangkan saja bila Bumi ini dehidrasi dari keberadaan sosok demikian, maka mungkin peradaban manusia tetap ada dan mungkin tetap dan bisa semakin menjulang, namun rendah nilai harkat dan martabat manusianya karena mungkin tak lagi mengenal batasan-batasan antara hak dan batil, halal dan haram. Maka, alhamdulillah masih adanya ulama-ulama dan aktivis dakwah Islam yang istiqomah membasahi Bumi ini dengan kalimatul haq, Lailahaillallah Muhammadurrasulullah.
Termotivasi artinya, meskipun kita bersyukur karena masih adanya ulama-ulama dan aktivis dakwah Islam, tidak berarti kita cukup aman-aman saja, atau berdiam diri, memasrahkan diri, menyandarkan diri terhadap keberadaan mereka semata. Justru ini seharusnya dapat memotivasi kita betapa pentingnya mencari, mempelajari, memahami dan memelihara tsaqafah Islam demi keberlangsungan peradaban manusia yang tidak hanya maju teknologi, tetapi mulia dan beradab. Tentu cukup memprihatinkan bila dalam mengetahui syari’at Islam, umat Islam cukup mengandalkan pada bertanya kepada ustadz, ulama, atau kyai. “Apa hukumnya ini?” “Apa hukumnya itu?” Namun, tidak terlihat upaya sadar untuk memahami lebih dalam dengan rutin mengkaji tsaqafah Islam sebagai wujud tanggung jawab diri untuk senantiasa terikat pada syari’at Allah, baik itu melalui buku, menghadiri kajian-kajian keislaman, atau berguru secara intensif pada ustadz, ustadzah, atau ulama.
Terkait isu ISIS ini, agar kita tidak ikut arus ‘perpecahan’, hendaknya kita, umat Islam tidak latah bagitu saja dengan mendukung atau membenci secara membabi buta apalagi menjadi mudah phobia atau mudah melabelisasi negatif para aktivis dakwah islam penegak syariat dimana pun berada. “Membiasakan dirilah bersikap mengenal, memahami, baru menilai”. Semoga ini dapat menjadi inspirasi kita untuk sekiranya mengisi hidup dengan rasa syukur dan senantiasa termotivasi dalam spirit kebaikan dan kebenaran.
                                                                                                           

~Wenny Pangestuti~

Jember, 17 Oktober 2014
05:50 WIB

Sumber: 
  1. Majalah Suara Hidayatullah Edisi 5 | XXVII | September 2014 |Dzulqa’idah 1435 
  2. Majalah Wanita Ummi No. 9 | XXVI | September 2014 | 1435H
* Baca juga di sini: @Kompasiana of Wenny Pangestuti

No comments :