Jika di dunia fiktif, Dee berhasil menghadirkan
sosok Kugy dengan dunia menulisnya, maka di dunia nyata, Allah telah mengadakan
sosok Wenny juga dengan dunia menulisnya.
Siapa
yang menduga bahwa aktivitas menulis menempati ruang spesial dalam hatiku.
Masih kuingat memori-memori dari kecil hingga beranjak remaja hal-hal yang
semakin lama, semakin menanamkan akar cintaku pada aktivitas menulis.
Dari
penuturan bapak dan ibuku, ketika ‘mudhun lemah’, aku memilih buku dan pulpen.
Ketika balita, aku pernah membuat ulah. Buku pembukuan bapakku, kucorat-coret
semauku. Tentu saja bapak yang bertugas sebagai juru tulis di kantor harus
merekap ulang hasil kerjanya dan aku diberi buku secara khusus untuk
bercorat-coret semauku itu.
Ketika
kelas V SD, aku mendapatkan diary mini pertamaku. Aku rutin menulis di lembar
demi lembar buku itu setiap harinya hingga genap satu tahun. Dari sanalah, aku
menjadi ketagihan untuk terus menulis diary. Mengganti buku demi buku diary
apabila telah terlewat habis halaman kosongnya. Seringkali aku terpesona
melihat pajangan buku-buku diary di etalase toko. Berharap dapat memilikinya
satu.
Sampai
sekarang aktivitas menulis diary tetap berlangsung. Bagiku, menulis diary sama
halnya update status-ku. Aku bisa update status tanpa kamuflase harapan
mendapat like atau comment orang lain.
Ketika
kelas VIII SMP, aku memiliki lima teman dekat yang kami menyebutnya sebagai The Errors. Dengan The Errors-lah, aku mempunya diary bersama. Ada Red Book, Green Book, Blue Book, Brown Book sesuai dengan warna sampul
bukunya. Setiap tiga hari berturut-turut buku diary bersama itu beralih tangan
pada masing-masing dari kami.
Sebelum
aku menyadari aku mencintai ‘menulis’, aku terlebih dulu menyadari mencintai ‘membaca’.
Bapak dan ibuku memang tak pernah rutin membelikan aku dan adikku buku bacaan. Namun,
di mana ada buku bacaan, di situlah aku selalu tertarik. Siapa pun yang mempunyai
buku bacaan, kepadanya-lah aku akan meminjam. Aku bersyukur di SMP-ku, perpustakaan
benar-benar ‘hidup’. Aku kerap kali meminjam buku di sana. Buku yang sering
kupinjam adalah kumpulan novel Sapta Siaga karya Enid Blyton, Harry Potter
karya JK Rowling, kumpulan novel atau cerpen terbitan DAR! Mizan dan kumpulan
novel Putri Huan Zhu.
Bersama
The Errors juga-lah, aku mempunyai kebiasaan unik. Setiap selepas hari terakhir
ujian semester, kami berduyun-duyun ke toko penyewaan komik dan novel.
Masing-masing dari kami menyewa buku-buku favorit kami. Buku-buku yang sering
kami pinjam adalah kumpulan komik Detektif Conan, Detektif Kindhaici, Miiko, kumpulan
novel Lupus, novel-novel karya Agatha Christie dan masih banyak lainnya. Di
antara semua bacaan kami, yang paling favorit dan sering menjadi tema obrolan
kami adalah novel-novel Harry Potter.
Sebagaimana
Kugy yang mempunyai radar untuk menemukan Keenan, aku pun juga mempunyai radar
untuk me-stimulus aktivitas
menulisku. Radar itu adalah kehidupan itu sendiri. Kehidupan yang kubaca,
kulihat, kudengar, dan kurasakan. Kehidupan yang selalu menampilkan beragam
fenomena dari hal besar hingga hal yang sangat sederhana sekalipun. Kehidupan yang
bergerak, berbicara, menjadi sumber inspirasiku untuk menyulam makna yang
terpilin dengan sendirinya dalam ruang pikirku. Yang kadang sulit kubahasakan
dengan lisan, namun terjalin dalam kata-kata tulisan.
Menulis telah menjadi healing bagiku. Dengan menulis
aku merasa menjadi lebih baik di saat menjadi buruk, merasa lebih tenang di
saat merasa takut, resah, dan sedih.
~Wenny
Pangestuti~
Jember, 22
Oktober 2014
06.02 WIB