Tulisan ini sebenarnya telah lama ditulis. Saat itu
sedang hangat-hangatnya aksi pemerintah menaikkan harga Bahan Bakar Minyak
(BBM) dan ragam respon rakyat yang mewarnai. Saat itu pulalah, saya sebagai
mahasiswa dilema mengawali tahun ajaran baru kuliah. Artinya, tibalah masa
kembali membayar SPP. Nah, di saat duduk menanti giliran membayar SPP di sebuah
bank, pikiran 'liar' saya mengelana pada fenomena kenaikan BBM tersebut hingga
tercetuslah tulisan ini. Jadi, sambil menyelam, minum air; sambil menunggu,
menulis dulu.
Suatu negeri yang tidak menerapkan aturan Allah secara kaffah
sebagai hukum dalam negaranya ibarat hutan rimba. Siapa yang kuat, maka ialah
yang berkuasa. Seperti itulah yang terjadi di negeri tempatku tinggal. Negeri
bagaikan hutan rimba. Penguasanya adalah orang-orang kuat yang menebarkan
ketakutan dan kesengsaraan pada rakyatnya.
Naiknya BBM ibarat perangkap yang dipasang penguasa untuk
semakin melumpuhkan rakyatnya. Rakyat semakin tak berdaya. BBM naik, semua
barang juga ikut naik.
Sebagai anak kos-kos-an saya turut merasakan imbasnya. Pulang
kampung lalu kembali lagi ke tempat kuliah semula ongkos bis Rp5.000,- naik
menjadi Rp6.000,-. Ongkos lin semula Rp3.000,- naik menjadi Rp4.000,-. Jadi,
kalau ditotal untuk satu kali perjalanan satu arah saja harus merogoh kocek
Rp10.000,-. Sampe saya nyeletuk kepada teman-teman satu kos, “BBM naik, kita
harus mengurangi intensitas pulang kampung. Karena bisa tekor di jalan."
Tidak cukup di sana penderitaan yang saya rasakan, juga teman-teman
satu kos. Semula anggaran belanja buat piket masak Rp18.000,- naik menjadi
Rp20.000. Beli kacang panjang yang biasanya Rp1.500,- bisa dapat seikat.
Sekarang jadi Rp2.500,-. Belum lagi bahan-bahan yang lain.
Pernah ngobrol santai sama teman-teman satu kos. “Tahu gak?
BBM naik, tulisan harga di banner Soto Sukri berubah dari Rp10.000,- jadi
Rp11.500,-.”
“Iya tah?” tanyaku sedikit terkejut. “Apalagi nasi pecelnya.
Kayaknya juga ikutan naik. Astaghfirullah!”
Ya bukannya apa. Mungkin kalau kita masih bisa makan dan beli
kebutuhan meskipun BBM naik. Tapi pernah gak terlintas dengan saudara-saudara
kita di luar sana. Yang penghasilannya gak seberapa. Yang hidupnya
luntang-lantung. Itu saja masih urusan makan, belum biaya-biaya lainnya,
seperti pendidikan, kesehatan dan bla bla bla.
BBM naik rasanya beban derita rakyat kian bertambah.
Pernah suatu ketika saya juga berceletuk, “Gimana ya perasaan
pak SBY dan bapak-bapak pemerintah pas mereka lagi makan. Pas tepat mau melahap
makanan. Kebayang gak dalam pikirannya ‘Gimana dengan nasib rakyatku ya. Harga
barang naik. Mereka bisa makan enak kayak aku gak ya.’ Kerasa gak sih mereka
sampe gitu."
“Entahlah,” timpal temanku.
Masihkan bapak-bapak pemimpin kami bisa tidur dengan nyeyak
di atas derita rakyat yang bisa jadi mereka sulit tidur menahan lapar.
Teman saya yang lain pun mengingatkan pada kisah seorang
sahabat Rasulullah saw. yang pernah menjadi khalifah, Umar bin Khatab. Umar
ketika menjadi pemimpin, beliau tidak mau tidur sebelum memastikan rakyatnya
tidak ada yang kelaparan. Kalau pemimpin kita saat ini adakah yang seperti itu.
Astaghfirullahal’adzim!
Ini masih aspek makan, belum aspek-aspek yang lain, sekolah,
berobat, pekerjaan. Masya Allah! Derita rakyat amat terasa.
Benar, kan? Hidup tanpa syariah ibarat hidup di dalam hutan
rimba. Negeri yang tak menerapkan syariah secara kaffah bagaikan negeri hutan
rimba, siap-siap diterkam oleh sang penguasa ‘predator’.
Lalu bagaimana gambaran negeri yang pakai syariah secara
kaffah mengatur masalah BBM? Simak selanjutnya tulisan saya tentangnya! Tetap stay tune in my writing.
~Wenny
Pangestuti~
No comments :
Post a Comment