February 11, 2014

Negeri Hutan Rimba

Tulisan ini sebenarnya telah lama ditulis. Saat itu sedang hangat-hangatnya aksi pemerintah menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dan ragam respon rakyat yang mewarnai. Saat itu pulalah, saya sebagai mahasiswa dilema mengawali tahun ajaran baru kuliah. Artinya, tibalah masa kembali membayar SPP. Nah, di saat duduk menanti giliran membayar SPP di sebuah bank, pikiran 'liar' saya mengelana pada fenomena kenaikan BBM tersebut hingga tercetuslah tulisan ini. Jadi, sambil menyelam, minum air; sambil menunggu, menulis dulu.


Suatu negeri yang tidak menerapkan aturan Allah secara kaffah sebagai hukum dalam negaranya ibarat hutan rimba. Siapa yang kuat, maka ialah yang berkuasa. Seperti itulah yang terjadi di negeri tempatku tinggal. Negeri bagaikan hutan rimba. Penguasanya adalah orang-orang kuat yang menebarkan ketakutan dan kesengsaraan pada rakyatnya.

Naiknya BBM ibarat perangkap yang dipasang penguasa untuk semakin melumpuhkan rakyatnya. Rakyat semakin tak berdaya. BBM naik, semua barang juga ikut naik.

Sebagai anak kos-kos-an saya turut merasakan imbasnya. Pulang kampung lalu kembali lagi ke tempat kuliah semula ongkos bis Rp5.000,- naik menjadi Rp6.000,-. Ongkos lin semula Rp3.000,- naik menjadi Rp4.000,-. Jadi, kalau ditotal untuk satu kali perjalanan satu arah saja harus merogoh kocek Rp10.000,-. Sampe saya nyeletuk kepada teman-teman satu kos, “BBM naik, kita harus mengurangi intensitas pulang kampung. Karena bisa tekor di jalan."

Tidak cukup di sana penderitaan yang saya rasakan, juga teman-teman satu kos. Semula anggaran belanja buat piket masak Rp18.000,- naik menjadi Rp20.000. Beli kacang panjang yang biasanya Rp1.500,- bisa dapat seikat. Sekarang jadi Rp2.500,-. Belum lagi bahan-bahan yang lain.

Pernah ngobrol santai sama teman-teman satu kos. “Tahu gak? BBM naik, tulisan harga di banner Soto Sukri berubah dari Rp10.000,- jadi Rp11.500,-.”

“Iya tah?” tanyaku sedikit terkejut. “Apalagi nasi pecelnya. Kayaknya juga ikutan naik. Astaghfirullah!”

Ya bukannya apa. Mungkin kalau kita masih bisa makan dan beli kebutuhan meskipun BBM naik. Tapi pernah gak terlintas dengan saudara-saudara kita di luar sana. Yang penghasilannya gak seberapa. Yang hidupnya luntang-lantung. Itu saja masih urusan makan, belum biaya-biaya lainnya, seperti pendidikan, kesehatan dan bla bla bla.

BBM naik rasanya beban derita rakyat kian bertambah.

Pernah suatu ketika saya juga berceletuk, “Gimana ya perasaan pak SBY dan bapak-bapak pemerintah pas mereka lagi makan. Pas tepat mau melahap makanan. Kebayang gak dalam pikirannya ‘Gimana dengan nasib rakyatku ya. Harga barang naik. Mereka bisa makan enak kayak aku gak ya.’ Kerasa gak sih mereka sampe gitu."

“Entahlah,” timpal temanku.

Masihkan bapak-bapak pemimpin kami bisa tidur dengan nyeyak di atas derita rakyat yang bisa jadi mereka sulit tidur menahan lapar.

Teman saya yang lain pun mengingatkan pada kisah seorang sahabat Rasulullah saw. yang pernah menjadi khalifah, Umar bin Khatab. Umar ketika menjadi pemimpin, beliau tidak mau tidur sebelum memastikan rakyatnya tidak ada yang kelaparan. Kalau pemimpin kita saat ini adakah yang seperti itu. Astaghfirullahal’adzim!

Ini masih aspek makan, belum aspek-aspek yang lain, sekolah, berobat, pekerjaan. Masya Allah! Derita rakyat amat terasa.

Benar, kan? Hidup tanpa syariah ibarat hidup di dalam hutan rimba. Negeri yang tak menerapkan syariah secara kaffah bagaikan negeri hutan rimba, siap-siap diterkam oleh sang penguasa ‘predator’.


Lalu bagaimana gambaran negeri yang pakai syariah secara kaffah mengatur masalah BBM? Simak selanjutnya tulisan saya tentangnya! Tetap stay tune in my writing.


~Wenny Pangestuti~

No comments :