Hujan dengan awetnya tak kunjung reda. Hujan yang akan
berlalu cukup lama. Memaksa menerobosnya hanya akan membuat diri kita basah
kuyup dilengkapi dingin yang menggigil. Karena tak sekadar hujan. Melainkan
hujan di malam hari.
Mula-mula aku terperangkap di beranda perpustakaan
kampus. Duduk menyandar dengan memeluk tas punggungku. Di depanku tengah duduk
seorang perempuan berkerudung hitam. Cukup asyik di depan laptopnya yang
menyala. Samar-samar terdengar alunan lagu berbahasa asing dari laptopnya.
Jika harus menunggu hujan reda, bisa-bisa aku
ketinggalan waktu Shalat Maghrib, pikirku saat itu. Pandanganku melihat-lihat
ke segala penjuru. Berharap ada ide tempat untuk menjalankan Shalat Maghrib.
Ahaa!! Aku mendapat ide. Teringat bahwa di lantai dua perpustakaan terdapat
mushala kecil khusus akhwat. Sejenak sebelum meninggalkan tempat dudukku, aku
sedikit ragu untuk mengajak perempuan di depanku. Ia masih asyik di depan
laptopnya. Lalu aku beranjak dari dudukku, meninggalkan perempuan tersebut, menyusuri
lorong-lorong perpustakaan, menaiki tangga. Kutemukan mushala khusus akhwat
tersebut. Alhamdulillah. Alhamdulillah juga karena aku masih punya wudhu dan
pakaianku mulai dari khimar, jilbab, mihna dan kaos kaki bersih dan suci insya
Allah.
Shalat Maghrib pun usai kutunaiakan. Namun, hujan
tak kunjung reda. Kunanti kembali redanya di tempat duduk semula. Perempuan itu
masih tak beranjak dari tempatnya. Perlahan suara air hujan sedikit memelan.
Pertanda hujan mulai mereda. Kucoba menegur sapa perempuan tersebut. “Mbak gak
shalat?”
“Shalat mbak. Ini mau pulang, shalat di kos saja.
Mbaknya sudah?”
“Sudah. Tadi di atas.”
“Wah, kenapa gak ngajak-ngajak mbak?” Aku tertegun seketika,
sekaligus menyesal. Benar sekali, kenapa aku ragu untuk mengajaknya. Perempuan
itu melanjutkan, “Saya pernah coba ke mushala di perpustakaan ini. Tapi seperti
lama tidak terpakai gitu. Jadi mau shalat gimana gitu. Mbak tadi shalat ada
orang juga gak di sana?”
“Ada kok.”
“Lewat mana mbak tadi?”
“Ini muter, terus naik tangga itu. Sampai lantai
dua, belok kiri. Notok, itu disana mushalanya,” jelasku sambil memberi gestur
tangan.
“Oh, di lantai dua. Saya pikir lantai tiga.”
“Oh iya kalo di lantai tiga memang sepi dan kayaknya
jarang dipakai.”
Setelah beberapa saat berbicara dan saling menanyakan
jurusan kuliah dan angkatan
masing-masing, kami berpisah. Perpisahan tanpa meninggalkan jejak nama
masing-masing antara kami. Ia berlalu. Melewati rintik-rintik hujan. Kutatap
kepergiannya melitasi pelataran perpustakaan. Ternyata dia hanya berjalan kaki.
Rasa sesal semakin bertambah. Kupikir ia bersepeda motor. Jika bersepeda motor,
tentu akan lebih cepat ia segera sampai di tempat kosnya dan menjalankan Shalat
Maghrib.
Sesaat kemudian, giliranku meninggalkan
perpustakaan. Kuterobos saja rintik-rintik hujan. Kalau harus menunggu hingga
reda betul, nampaknya akan sampai larut malam aku mendekam di perpustakaan. Atau
lebih tepatnya didepak karena jam tutup perpustakaan pukul 20.00 WIB. Namun,
apa hendak dikata. Ternyata belum lama meninggalkan gerbang perpustakaan, hujan
mulai kian menjadi. Pikiran yang segera terlintas adalah ‘mencari tempat
berteduh’. Akhirnya, tempat berteduhku yang kedua adalah masjid kampus.
Perut mulai lapar, pertanda meminta diisi. Kebetulan
ada seorang nenek yang menjual gorengan di beranda masjid. Nenek tersebut
memang seringkali terlihat di sana menjelang hingga berlalunya waktu maghrib.
Kubeli dua dadar jagung dan sebungkus ‘cilok’. Saat itu juga, ada tiga
perempuan yang mengitari nenek tersebut. Salah satunya mengajak nenek tersebut berdialog. Dua lainnya mendengarkan. Dia, yang mengajak bicara sang nenek,
berkerudung merah hati dan berjaket kuning. Kelihatannya memang supel.
Sembari menunggu hujan reda, kusantap satu per satu
gorengan yang kubeli tadi. Lumayan, mengganjal perut.
Gorengan telah habis kulahap. Lalu tinggallah diam
yang menemaniku. Untung saja, aku selalu membawa alat tulis dan buku
‘gado-gado’-ku. Jadilah, aku menulis dilatari musik semesta, yaitu
rintik-rintik hujan. Di tengah-tengah waktu menulis, tiba-tiba seseorang
menegurku. Ternyata, perempuan yang tadi berbicara dengan sang nenek.
“Permisi! Mau ini?” Ia menyodorkan sebungkus
‘cilok’. “Tadi dikasih mbah, tapi saya sudah kenyang.” Kulihat nenek tadi sudah
tidak ada.
Aku tersenyum, “Boleh. Terima kasih.” Kusambut
‘cilok’ pemberiannya lalu kutaruh di dalam tas. Kulanjutkan kembali menulisku.
Perempuan tadi duduk beberapa centi di sampingku.
Setelah selesai menulis, perempuan itu menyapaku
kembali.
“Nunggu hujan reda?”
“Iya. Mbaknya juga?”
“Iya bisa dibilang begitu.”
Kami mengobrol sepanjang penantian, menuggu redanya
hujan. Perempuan tadi bernama Nita. Ia sedang menunggu suaminya selesai kerja.
Suaminya bekerja di gedung rektorat. Mbak Nita, kupanggil demikian, merupakan
mahasiswa S2 Jurusan Psikologi di Universitas Muhammadiyah Malang. Banyak hal
yang kami bicarakan dari masalah pakaian syar’i muslimah, skripsiku yang aku
katakan ada hubungannya dengan ilmu psikologi, hingga ilmu fikih mengenai sah
tidaknya shalat dengan pakaian yang basah terkena hujan.
Pembicaraan kami berjeda sejenak ketika suara iqamah
terdengar. Pertanda Shalat Isya’ akan segera dimulai. Kami masuk ke dalam
masjid dan turut shalat berjamaah. Di dalam sudah ada tiga muslimah lainnya
yang juga menunggu redanya hujan.
Usai shalat, hujan benar-benar telah reda. Namun, ku
tak beranjak meninggalkan masjid segera. Aku dan mbak Nita melanjutkan
pembicaraan. Kali ini aku mengawali dengan bertanya tentang perasaannya setelah
menikah. Mbak Nita menjelaskan bagaimana perbedaan peran yang ia lalui tentunya setelah
menikah. Harus sering menyatukan dua pikiran yang berbeda, saling memahami.
Tiba-tiba giliran mbak Nita yang bertanya,”Sudah mau menikah ta?”
Ditanya seperti itu aku cengengesan, “Hehehe belum,
Mbak. Masih menyiapkan diri.”
“Menyiapkan apa memangnya?”
“Ilmunya hehehe,” masih cengengesan.
Tak terasa akhirnya suami mbak Nita tiba. Mbak Nita
pun berpamitan. Tak lupa kali ini aku meminta nomor handphone-nya. Berharap ada waktu untuk bertemu kembali. Hujan pun
masih tetap reda. Ku pergi juga, meninggalkan masjid dengan mengayuh sepeda
setiaku.
Malam itu, ku pulang membawa seulas senyum
sederhana. Sederhana saja. Antara dua rasa; rasa sesal dan rasa syukur. Rasa
sesal karena sempat ragu mengajak shalat bersama, perempuan yang kutemui di
perpustakaan. Rasa syukur karena mempunyai teman baru, perempuan yang kukenal
di masjid.
~Wenny Pangestuti~
No comments :
Post a Comment