Angin
berlalu dengan lembutnya, tanpa mengusik ketenangan sejumlah mahasiswa yang asyik
berselancar di dunia maya dengan memanfaatkan layanan WiFi kampus. Di sudut
belakang gedung Perpustakaan Pusat tak ketinggalan Rona memainkan jarinya di
atas keyboard laptopnya. Sesekali terdiam sambil menopang dagu atau
menenggelamkan wajahnya dalam lengannya. Pusing. Atau juga bingung.
Perpustakaan
menjadi tempat favoritnya dalam enam bulan terakhir ini, di ujung perjalanan
kuliah, menyelesaikan tugas akhirnya. Beragam aktivitas mewarnai kehidupannya
di tempat itu, mulai dari sekedar meminjam-mengembalikan buku di ruang
sirkulasi, di lantai dua; mencari, membaca, atau mengutip tinjauan pustaka laporan penelitian mahasiswa-mahasiswa
yang telah terdahulu, di ruang koleksi laporan tugas akhir, di lantai tiga;
membaca novel saat kejenuhan menerjang di tengah mengerjakan tugas akhirnya di
ruang tandon, di lantai tiga; atau mencari referensi via internet di Hot Spot
Corner, di lantai satu.
Sekilas
tidak jauh berbeda dengan mahasiswa pada umumnya yang tengah mengerjakan tugas
akhir. Namun, siapa sangka Rona tidak mengagap dunia semonoton itu atau lebih
tepatnya tidak membiarkan dunianya biasa-biasa saja. Aktivitas boleh sama, tapi
rasa dan memaknainya yang berbeda. Begitulah semboyan yang tepat.
Rona
tidak pernah mengabaikan dengan siapa ia berinteraksi ketika melakukan prosedur
dalam perpustakaan, baik dengan bapak satpam yamg menyapa pertama kali di pintu
gerbang, petugas registrasi , petugas kunci loker, petugas pengembalian,
petugas penanggung jawab denda buku, petugas peminjaman buku, maupun penjaga
ruang laporan tugas akhir. Sekalipun tidak ada percakapan istimewa di antara
meraka, selain “Masih mau masuk ke dalam atau nggak?” atau”Taruh saja sana..!”
Ia telah mengenal betul orang-orang di perpustakaan itu, wataknya, gaya
penampilannya, hingga cara berinterkasi yang baik dengan masing-masing
personal, hanya demi mengurangi ‘konflik’ di antaranya.
Berbicara
konflik, mungkin terdengar terlalu berlebihan. Konflik di sini bukanlah
pertikaan fisik atau pertengkaran mulut. Sama sekali tak ada kaitannya dengan
itu dan tidak pantas untuk keadaan perpustakaan yang tenang. Konflik di sini
hanya istilah konotasi Rona yang seringkali senewen
dengan salah seorang petugas perputakaan. Sebut saja dia Si Dingin Menarik. Si
Dingin Menarik. Dingin karena acapkali ia bersikap dengan dingin, judes, tanpa
senyum bahkan tak jarang ia berbicara dengan nada tinggi. Menarik karena dari
sekian sikap negatif, dingin dan judes adalah karakter yang menarik perhatian
Rona. Ia senang dan terkadang penasaran dengan orang yang memperlakukannya
dengan dingin dan judes, sama sekali tak bermanis muka. Itu berarti ia tak
istimewa di mata orang tersebut. Ia bersikap apa adanya pada siapa pun,
termasuk dia. Begitulah Si Dingin Menarik. Ia bersikap demikian pada siapa pun
mahasiswa. Itulah mengapa, untuk berinteraksi dengan Si Dingin Menarik, Rona
mempersingkat waktu, dan berbicara singkat, tanpa memasang wajah lugu, yang hanya
akan mengundang terkaman nada tingginya. Tak perlu menunggu satu menit, Rona
mengakhiri interakasi dengan Si Dingin Menarik secepat mungkin. Kebetulan Si
Dingin Menarik acapkali melayani di meja peminjaman buku atau meja pengembalian
buku.
Pernah
suatu ketika perpustakaan menyediakan kotak saran untuk meningkatkan kualitas
pelayanan. Setiap pengunjung perpustakaan di harapkan mengisi kuesioner yang
telah tersedia lalu memasukkan ke kotak saran tersebut. Rona mengisinya tidak
lebih hanya ingin melampiaskan kritik kepada hanya satu orang, yaitu Si Dingin
Menarik.
Dalam
kesempatan yang lain, ketika lama bagi Rona tidak mengunjungi perpustakaan, ia
dibuat tidak percaya dengan perubahan Si Dingin Menarik. Ketika ia hendak
memperpanjang peminjaman buku, yang seharusnya menuju meja pengembalian untuk
konfirmasi, ia tak sengaja langsung masuk ruang sirkulasi. Setelah melewati
pintu masuk ruang sirkulasi, barulah ia menyadari ada yang salah. Ia seharusnya
ke meja pengembalian untuk memperpanjang peminjaman buku. Ia berbalik menuju
meja pengembalian. Si Dingin Menarik yang bertugas. Rona pikir ia akan mendapat
respon dingin dengan teguran yang menyakitkan hati, tetapi tanpa menoleh, Si
Dingin Menarik tersenyum geli dan berkata, “Kenapa? Lupa ya?” Hah!?! Rona
membalas dengan senyum meringis mengiyakan, dengan pikiran tak menduga akan
mendapat respon seperti ini. Si Dingin Menarik melanjutkan, “Masih mau masuk ke
dalam atau nggak?” Kali ini dengan nada yang ramah. Hah, benarkah ini? Apa aku
sedang beruntung hari ini? Begitulah pertanyaan dalam hatinya. Sejenak ia
mengabaikanya. Mungkin benar ia sedang beruntung saja hari ini. Si Dingin
Menarik sedang good mood, mungkin.
Hari
lain, ia kembali hendak memperpanjang peminjaman buku. Lagi-lagi Si Dingin
Menarik yang bertugas. Ada perkembangan dalam kalimatnya. “Ada apa, Dek?” Dek?
Sejak kapan panggilan itu? batin Rona.
“Memperpanjang
,” jawab Rona singkat.
“Masih mau
masuk atau gak, Dek?”
“Masih mau
masuk.”
Semua
pertanyaan ia lontarkan dengan intonasi yang manis, disempurnakan dengan embel-embel ‘Dek’. Ketika Rona sudah
membalikkan badan, melangkah masuk ke ruang sirkulasi, Rona hanya bisa bertanya
pada dirinya sendiri dengan keheran-heranan berulang-ulang kali. Sejak kapan? Sejak kapan? Dan, Sejak kapan?
~Wenny Pangestuti~
No comments :
Post a Comment