“Minggu depan kita akan mengujungi anak-anak panti asuhan. Di
samping memberi santunan berupa uang dan kebutuhan sandang dan pangan, kita
juga ingin menghibur mereka. Saya punya sebuah ide.”
“Apa?” tanya serentak mereka yang sedari tadi mendengar
penjelasan Bustam. Bustam melirik sesaat ke arahku. Aku tidak mengerti maksud
lirikkan Bustam.
“Aku dan Anjani nanti akan mempersiapkan,” jawab Bustam
mantap diakhiri dengan senyum lebar. Aku yang tak tahu-menahu tentang persiapan
acara ini, berusaha melakukan protes lewat anggota tubuhku. Tapi, Bustam tak
mengacuhkan. Sedangkan anggota keluargaku yang lain percaya saja dengan ucapan
Bustam dan berprasangka baik bahwa kami akan mempersiapkan segala sesuatu untuk
acara bakti sosial minggu depan.
Itulah keluargaku. Selalu menjaga keharmonisan. Tidak hanya
dalam sekup keluarga kecil, tapi melibatkan keluarga besar. Dalam hal ini,
keluarga besar dari ayah yang kumaksud. Pada beberapa kesempatan, misalnya
liburan panjang sekolah biasanya ada saja program bersama. Entah itu arisan
keluarga atau wisata di luar. Kali ini pilihannya adalah bakti sosial ke panti
asuhan. Ini juga sebagai edukasi bagi setiap anggota keluarga untuk memiliki
jiwa peduli terhadap sesama. Kebetulan pada momen ini di keluarga kami
kehadiran Bustam dan dua adiknya, anak kerabat yang masih memiliki hubungan
saudara dari garis keluarga ibu.
Ketika aku masih anak-anak, aku dan adikku sering bermain
bersama dengan Bustam dan adik-adiknya. Kami hanya bisa bertemu satu kali dalam
setahun, yaitu pada momen liburan Idul Fitri di rumah kakek dan nenek dari ibu.
Sekarang kami sudah sama-sama menginjak bangku kuliah. Kami kuliah di
universitas yang sama, tetapi jurusan berbeda. Selain itu, Bustam berada satu
angkatan di atasku. Itulah sebabnya, meskipun dalam satu universitas sekalipun
kami tidak pernah bertemu.
Pada liburan semeter genap ini, ibu mengajak Bustam dan
adik-adiknya ikut berlibur di kampung kakek nenek dari ayah. Bustam memang mudah
bersosialisasi dengan orang lain. Jadi tak sulit bagi dia membangun keakraban
dengan keluarga besarku dari ayah.
“Maksudnya apa ‘Aku dan Anjani nanti akan mempersiapkan’? Aku
gak tahu apa-apa ya, Tam.”
“Oh..itu.Hehehe..sorry
ya kalo gak pake ijin dulu melibatkan kamu dalam proyek ini.”
“Proyek apa?” tanyaku dengan nada tinggi, masih tidak terima
dilibatkan tanpa pemberitahuan.
“Dengar ya, Ni, kita ini satu-satunya dalam keluarga ini anak
yang tertua. Jadi, apa salahnya kita mempersembahkan sesuatu kepada mereka satu
kali ini saja.”
“Iya, mempersembahkan apa?” tanyaku tidak sabar.
Bustam membuka sebuah lipatan kertas lalu menunjukkan padaku.
“Ini, coba lihat!”
Aku mendekatkan diri pada kertas yang ditunjukkan Bustam
untuk melihatnya lebih jelas. Sesaat kemudian aku mengernyitkan dahi. “Ini kan...”
Bustam tersenyum.
Hari yang ditunggu tiba. Semua anak duduk dengan manis di
tikar. Sedangkan keluargaku duduk di barisan belakang mereka. Di hadapan mereka
semua sudah berdirilah aku dan Bustam. Bustam mungkin tampak santai dan percaya
diri dengan senyum yang senantiasa diumbarnya pada orang-orang di depan. Tapi,
aku? Aku berdiri dalam keraguan dan ketidakpercayaan diri. Bustam telah
menjebak aku pada situasi yang membuatku kikuk
dan salah tingkah. Benar-benar menyebalkan!
“Ok, Adek-adek..sudah siap semua? Sudah duduk manis semua kan
ya.” Bustam membuka suara.
“Sudaahhh!!” jawab serentak hadirin di depan kami.
“Ok kalo begitu semuanya dengar apa yang Kak Bustam dan Kak
Anjani persembahkan. Nanti semuanya bisa ikutan” Lalu Bustam menoleh ke arahku,
“Ok Kak Anjani sudah siap?” Aku memandang dengan ragu lalu tersenyum agak
dipaksakan,” He..iya.” Bustam tersenyum.
Bustam mengeluarkan secarik kertas lalu ia membacakan isinya. Sebuah puisi.
Hidup itu adalah sebuah
perjalanan
Perjalanan cerita yang
kita tidak tahu kemana arah ceritanya
Tapi perjalanannya
selalu mengikuti arah kaki kita melangkah
Mimpi yang membawa kita
semua menikmati indahnya hidup
Mimpi itu awal dari
cita-cita
Mimpi terus sampai Tuhan
memeluk mimpi kita
Lalu kami mulai bernyayi.
Bustam: Kamu, aku, dia dan mereka
pasti punya mimpi punya cita-cita
kamu, aku, dia dan mereka
pasti ingin semua mimpi menjadi nyata
pasti punya mimpi punya cita-cita
kamu, aku, dia dan mereka
pasti ingin semua mimpi menjadi nyata
Aku: Dan bisa kita lakukan semua
walau tak mudah tapi kita bisa
pasti ada jalan tuk para pemimpin
menuju ujung cita
walau tak mudah tapi kita bisa
pasti ada jalan tuk para pemimpin
menuju ujung cita
Bustam & aku: Hidup akan berwarna jika kita terus berlari
diantara indahnya warna-warni pelangi
laskar pelangi teruslah melangkah dan bermimpi
Bermimpilah terus hingga Tuhan kan memeluk mimpimu
diantara indahnya warna-warni pelangi
laskar pelangi teruslah melangkah dan bermimpi
Bermimpilah terus hingga Tuhan kan memeluk mimpimu
Aku: Kamu, aku, dia dan mereka (Kamu, aku, dia
dan mereka)
pasti ingin semua mimpi menjadi nyata
pasti ingin semua mimpi menjadi nyata
Bustam: Dan bisa kita lakukan semua
walau tak mudah tapi kita bisa
pasti ada jalan tuk para pemimpin menuju ujung cita (menuju ujung cita)
walau tak mudah tapi kita bisa
pasti ada jalan tuk para pemimpin menuju ujung cita (menuju ujung cita)
Bustam & aku: Hidup akan berwarna jika kita terus berlari
diantara indahnya warna-warni pelangi
laskar pelangi teruslah melangkah dan bermimpi
Bermimpilah terus hingga Tuhan kan memeluk mimpimu
diantara indahnya warna-warni pelangi
laskar pelangi teruslah melangkah dan bermimpi
Bermimpilah terus hingga Tuhan kan memeluk mimpimu
Hidup
akan berwarna jika kita terus berlari
diantara indahnya warna-warni pelangi (warna-warni pelangi)
laskar pelangi teruslah melangkah dan bermimpi (teruslah melangkah dan bermimpi)
Bermimpilah terus hingga Tuhan kan memeluk mimpimu (memeluk mimpimu)
diantara indahnya warna-warni pelangi (warna-warni pelangi)
laskar pelangi teruslah melangkah dan bermimpi (teruslah melangkah dan bermimpi)
Bermimpilah terus hingga Tuhan kan memeluk mimpimu (memeluk mimpimu)
Bustam
mengakhirinya dengan membaca kembali puisi.
Mimpi terus
Sampai Tuhan
Memeluk mimpi kita
~Wenny Pangestuti~
No comments :
Post a Comment