February 09, 2014

Untuk Kamu, Aku, Dia dan Mereka



“Minggu depan kita akan mengujungi anak-anak panti asuhan. Di samping memberi santunan berupa uang dan kebutuhan sandang dan pangan, kita juga ingin menghibur mereka. Saya punya sebuah ide.” 


“Apa?” tanya serentak mereka yang sedari tadi mendengar penjelasan Bustam. Bustam melirik sesaat ke arahku. Aku tidak mengerti maksud lirikkan Bustam.


“Aku dan Anjani nanti akan mempersiapkan,” jawab Bustam mantap diakhiri dengan senyum lebar. Aku yang tak tahu-menahu tentang persiapan acara ini, berusaha melakukan protes lewat anggota tubuhku. Tapi, Bustam tak mengacuhkan. Sedangkan anggota keluargaku yang lain percaya saja dengan ucapan Bustam dan berprasangka baik bahwa kami akan mempersiapkan segala sesuatu untuk acara bakti sosial minggu depan.


Itulah keluargaku. Selalu menjaga keharmonisan. Tidak hanya dalam sekup keluarga kecil, tapi melibatkan keluarga besar. Dalam hal ini, keluarga besar dari ayah yang kumaksud. Pada beberapa kesempatan, misalnya liburan panjang sekolah biasanya ada saja program bersama. Entah itu arisan keluarga atau wisata di luar. Kali ini pilihannya adalah bakti sosial ke panti asuhan. Ini juga sebagai edukasi bagi setiap anggota keluarga untuk memiliki jiwa peduli terhadap sesama. Kebetulan pada momen ini di keluarga kami kehadiran Bustam dan dua adiknya, anak kerabat yang masih memiliki hubungan saudara dari garis keluarga ibu.


Ketika aku masih anak-anak, aku dan adikku sering bermain bersama dengan Bustam dan adik-adiknya. Kami hanya bisa bertemu satu kali dalam setahun, yaitu pada momen liburan Idul Fitri di rumah kakek dan nenek dari ibu. Sekarang kami sudah sama-sama menginjak bangku kuliah. Kami kuliah di universitas yang sama, tetapi jurusan berbeda. Selain itu, Bustam berada satu angkatan di atasku. Itulah sebabnya, meskipun dalam satu universitas sekalipun kami tidak pernah bertemu.


Pada liburan semeter genap ini, ibu mengajak Bustam dan adik-adiknya ikut berlibur di kampung kakek nenek dari ayah. Bustam memang mudah bersosialisasi dengan orang lain. Jadi tak sulit bagi dia membangun keakraban dengan keluarga besarku dari ayah.


“Maksudnya apa ‘Aku dan Anjani nanti akan mempersiapkan’? Aku gak tahu apa-apa ya, Tam.” 


“Oh..itu.Hehehe..sorry ya kalo gak pake ijin dulu melibatkan kamu dalam proyek ini.”


“Proyek apa?” tanyaku dengan nada tinggi, masih tidak terima dilibatkan tanpa pemberitahuan.


“Dengar ya, Ni, kita ini satu-satunya dalam keluarga ini anak yang tertua. Jadi, apa salahnya kita mempersembahkan sesuatu kepada mereka satu kali ini saja.”


“Iya, mempersembahkan apa?” tanyaku tidak sabar.


Bustam membuka sebuah lipatan kertas lalu menunjukkan padaku. “Ini, coba lihat!”


Aku mendekatkan diri pada kertas yang ditunjukkan Bustam untuk melihatnya lebih jelas. Sesaat kemudian aku mengernyitkan dahi. “Ini kan...” Bustam tersenyum.


Hari yang ditunggu tiba. Semua anak duduk dengan manis di tikar. Sedangkan keluargaku duduk di barisan belakang mereka. Di hadapan mereka semua sudah berdirilah aku dan Bustam. Bustam mungkin tampak santai dan percaya diri dengan senyum yang senantiasa diumbarnya pada orang-orang di depan. Tapi, aku? Aku berdiri dalam keraguan dan ketidakpercayaan diri. Bustam telah menjebak aku pada situasi yang membuatku kikuk dan salah tingkah. Benar-benar menyebalkan!


“Ok, Adek-adek..sudah siap semua? Sudah duduk manis semua kan ya.” Bustam membuka suara.


“Sudaahhh!!” jawab serentak hadirin di depan kami.


“Ok kalo begitu semuanya dengar apa yang Kak Bustam dan Kak Anjani persembahkan. Nanti semuanya bisa ikutan” Lalu Bustam menoleh ke arahku, “Ok Kak Anjani sudah siap?” Aku memandang dengan ragu lalu tersenyum agak dipaksakan,” He..iya.” Bustam tersenyum.


Bustam mengeluarkan secarik kertas lalu ia membacakan isinya. Sebuah puisi.


Hidup itu adalah sebuah perjalanan

Perjalanan cerita yang kita tidak tahu kemana arah ceritanya

Tapi perjalanannya selalu mengikuti arah kaki kita melangkah

Mimpi yang membawa kita semua menikmati indahnya hidup

Mimpi itu awal dari cita-cita

Mimpi terus sampai Tuhan memeluk mimpi kita


Lalu kami mulai bernyayi.


Bustam:            Kamu, aku, dia dan mereka
pasti punya mimpi punya cita-cita
kamu, aku, dia dan mereka
pasti ingin semua mimpi menjadi nyata


Aku:                 Dan bisa kita lakukan semua
walau tak mudah tapi kita bisa
pasti ada jalan tuk para pemimpin
menuju ujung cita


Bustam & aku:  Hidup akan berwarna jika kita terus berlari
diantara indahnya warna-warni pelangi
laskar pelangi teruslah melangkah dan bermimpi
Bermimpilah terus hingga Tuhan kan memeluk mimpimu


Aku:                 Kamu, aku, dia dan mereka (Kamu, aku, dia dan mereka)
pasti ingin semua mimpi menjadi nyata


Bustam:           Dan bisa kita lakukan semua
walau tak mudah tapi kita bisa
pasti ada jalan tuk para pemimpin
menuju ujung cita (menuju ujung cita)


Bustam & aku:  Hidup akan berwarna jika kita terus berlari
diantara indahnya warna-warni pelangi
laskar pelangi teruslah melangkah dan bermimpi
Bermimpilah terus hingga Tuhan kan memeluk mimpimu


                        Hidup akan berwarna jika kita terus berlari
diantara indahnya warna-warni pelangi (warna-warni pelangi)
laskar pelangi teruslah melangkah dan bermimpi (teruslah melangkah dan bermimpi)
Bermimpilah terus hingga Tuhan kan memeluk mimpimu (memeluk mimpimu)


Bustam mengakhirinya dengan membaca kembali puisi.


Mimpi terus

Sampai Tuhan

Memeluk mimpi kita



~Wenny Pangestuti~

No comments :