February 11, 2014

Peran Strategis Perempuan dalam Keluarga


Tulisan lama, yang pada mulanya akan dikutsertakan pada lomba menulis bertemakan perempuan. Tetapi, apalah daya, hari terakhir bahkan lebih tepatnya menit-menit menjelang batas akhir waktu pengiriman naskah melalui e-mail, WiFi kampus yang kugunakan mengalami ke-error-an di saat yang tidak tepat. Alhasil, gagallah tulisan ini kulayangkan pada penyelenggara lomba. Tak mengapa, masihlah ada waktu untuk berpartisipasi di masa yang lain. Terus berkarya dan janganlah menyerah! ^_^



Bagi sebagian besar perempuan saat ini adalah suatu kebanggaan bisa menempuh pendidikan hingga perguruan tinggi. Betapa tidak? Masih terekam dalam memori ingatan kita tentunya, dulu hanya untuk menempuh pendidikan dasar bagi seorang perempuan tidaklah mudah. Perempuan dulu identik dengan peran yang berada pada lingkup rumah saja, dengan ikon 3M-nya (macak, masak, manak). Hanya mereka yang berasal dari keturunan priyayi  yang memiliki kesempatan mengenyam pendidikan. Maka tak ayal ketika zaman kian berkembang, tingkat pemikiran manusia kian maju seiring dampak globalisasi, menjadi sebuah kabar gembira bagi para perempuan ketika kesempatn menempuh pendidikan setingi-tingginya terbuka lebar. Mereka memiliki kesempatan luas untuk mengeksplorasi potensi yang mereka milki. Ini sinyal yang baik tentunya bagi kaum perempuan. Namun, tak menutup kemungkinan hal ini  juga menjadi ‘alarm’ bahaya bila terjadi lepas kontrol dalam pemanfaatan kesempatan ini. Alarm bahaya bagaimana?

Meskipun di satu sisi kaum perempuan memperoleh hak untuk menepuh pendidikan setinggi-tingginya adalah suatu hal yang baik, di sisi lain status pendidikan tinggi ini berpotensi menyeret kaum perempuan untuk keluar meninggalkan kodratnya. Kodrat yang bagaimana?

Tak bisa dipungkiri setinggi apa pun jenjang pendidikan seorang perempuan, suatu saat ia tetap akan menyandang peran sebagai istri dan ummu wa robbatul bait (ibu dan manajer rumah tangga). Selain peran tersebut sesuatu yang fitrah melekat pada perempuan, peran tersebut juga merupakan suatu kewajibannya dalam keluarga.

Banyak fenomena yang telah terjadi, akibat pendidikan yang tinggi, kaum perempuan terobsesi untuk berkarir seluas-luasnya. Mereka menumpahkan segenap tenaga, pikiran dan waktu untuk kepentingan karirnya. Sampai-sampai mereka mengalihkan tanggung jawabnya di rumah dengan memperkerjakan pembantu atau babysister atau sejenis lainnya.

Kalau sudah begini, bisa ditebak siapa yang menjadi korbannya? Tentu anak-anak mereka. Yang semestinyalah anak-anak ketika di rumah ia mendapat hak pengasuhan dan pendidikan dari ibunya selama sang ayah bekerja mencari nafkah. Tetapi ketika sang ibu lebih memilih karirnya, apa boleh buat  sang anak menjadi kurang perhatian dan kasih sayang, terlebih dalam perkembangan pendidikan mereka. Sungguh ironi!

Tidakkah kaum perempuan mau berpikir bahwa sebenarnya masa-masa pendampingan seorang ibu terhadap anak-anaknya dari bayi hingga mereka mencapai usia remaja bahkan hingga dewasa adalah sebuah masa-masa emas. Kapan lagi seorang ibu bisa melihat lucu-lucunya anak-anak mereka, mendengar celoteh dan tawa mereka, mendidik mereka penuh kasih sayang, mengajari mereka dari yang belum ia ketahui menjadi tahu, membina mereka dengan karakter terbaik, bila ternyata ia lebih memilih untuk menukar masa-masa emas itu di luar rumah, berkutat dengan proyek kerjanya dan lebih memilih bercengkerama dengan relasi kejanya.

Lalu, salahkah jika demikian perempuan berpendidikan tinggi? Tidak. Tidak salah. Justru seorang perempuan dituntut menjadi sosok cerdas. Mengapa? Karena dari ibu cerdaslah, generasi cerdas dan unggul lahir dan tercetak. Ibu adalah pendidik utama bagi anak-anaknya. Akan berbeda cara mendidik seorang ibu yang hanya lulusan sekolah dasar dengan ibu yang lulusan perguruan tinggi. Jadi, tidak ada yang namanya sia-sia untuk mengenjawantahkan hasil pendidikan kita dalam keluarga. Toh, pada akhirnya itu berkontribusi nyata di tengah masyarakat. Masyarakat beradab dan maju karena generasi yang unggul. Generasi unggul, tentu ada ibu cerdas di belakangnya. So..it’s time to fill the gold times for the best future! 


~Wenny Pangestuti~

No comments :