Tulisan lama, yang pada mulanya
akan dikutsertakan pada lomba menulis bertemakan perempuan. Tetapi, apalah
daya, hari terakhir bahkan lebih tepatnya menit-menit menjelang batas akhir
waktu pengiriman naskah melalui e-mail, WiFi kampus yang kugunakan mengalami
ke-error-an di saat yang tidak tepat. Alhasil, gagallah tulisan ini kulayangkan
pada penyelenggara lomba. Tak mengapa, masihlah ada waktu untuk berpartisipasi
di masa yang lain. Terus berkarya dan janganlah menyerah! ^_^
Bagi
sebagian besar perempuan saat ini adalah suatu kebanggaan bisa menempuh
pendidikan hingga perguruan tinggi. Betapa tidak? Masih terekam dalam memori
ingatan kita tentunya, dulu hanya untuk menempuh pendidikan dasar bagi seorang
perempuan tidaklah mudah. Perempuan dulu identik dengan peran yang berada pada
lingkup rumah saja, dengan ikon 3M-nya (macak,
masak, manak). Hanya mereka yang berasal dari keturunan priyayi yang memiliki kesempatan mengenyam
pendidikan. Maka tak ayal ketika zaman kian berkembang, tingkat pemikiran
manusia kian maju seiring dampak globalisasi, menjadi sebuah kabar gembira bagi
para perempuan ketika kesempatn menempuh pendidikan setingi-tingginya terbuka
lebar. Mereka memiliki kesempatan luas untuk mengeksplorasi potensi yang mereka
milki. Ini sinyal yang baik tentunya bagi kaum perempuan. Namun, tak menutup
kemungkinan hal ini juga menjadi ‘alarm’
bahaya bila terjadi lepas kontrol dalam pemanfaatan kesempatan ini. Alarm
bahaya bagaimana?
Meskipun
di satu sisi kaum perempuan memperoleh hak untuk menepuh pendidikan
setinggi-tingginya adalah suatu hal yang baik, di sisi lain status pendidikan
tinggi ini berpotensi menyeret kaum perempuan untuk keluar meninggalkan
kodratnya. Kodrat yang bagaimana?
Tak bisa
dipungkiri setinggi apa pun jenjang pendidikan seorang perempuan, suatu saat ia
tetap akan menyandang peran sebagai istri dan ummu wa robbatul bait (ibu dan manajer rumah tangga). Selain peran
tersebut sesuatu yang fitrah melekat pada perempuan, peran tersebut juga merupakan
suatu kewajibannya dalam keluarga.
Banyak
fenomena yang telah terjadi, akibat pendidikan yang tinggi, kaum perempuan
terobsesi untuk berkarir seluas-luasnya. Mereka menumpahkan segenap tenaga,
pikiran dan waktu untuk kepentingan karirnya. Sampai-sampai mereka mengalihkan
tanggung jawabnya di rumah dengan memperkerjakan pembantu atau babysister atau sejenis lainnya.
Kalau
sudah begini, bisa ditebak siapa yang menjadi korbannya? Tentu anak-anak
mereka. Yang semestinyalah anak-anak ketika di rumah ia mendapat hak pengasuhan
dan pendidikan dari ibunya selama sang ayah bekerja mencari nafkah. Tetapi
ketika sang ibu lebih memilih karirnya, apa boleh buat sang anak menjadi kurang perhatian dan kasih
sayang, terlebih dalam perkembangan pendidikan mereka. Sungguh ironi!
Tidakkah
kaum perempuan mau berpikir bahwa sebenarnya masa-masa pendampingan seorang ibu
terhadap anak-anaknya dari bayi hingga mereka mencapai usia remaja bahkan
hingga dewasa adalah sebuah masa-masa emas. Kapan lagi seorang ibu bisa melihat
lucu-lucunya anak-anak mereka, mendengar celoteh dan tawa mereka, mendidik
mereka penuh kasih sayang, mengajari mereka dari yang belum ia ketahui menjadi
tahu, membina mereka dengan karakter terbaik, bila ternyata ia lebih memilih
untuk menukar masa-masa emas itu di luar rumah, berkutat dengan proyek kerjanya
dan lebih memilih bercengkerama dengan relasi kejanya.
Lalu,
salahkah jika demikian perempuan berpendidikan tinggi? Tidak. Tidak salah.
Justru seorang perempuan dituntut menjadi sosok cerdas. Mengapa? Karena dari
ibu cerdaslah, generasi cerdas dan unggul lahir dan tercetak. Ibu adalah
pendidik utama bagi anak-anaknya. Akan berbeda cara mendidik seorang ibu yang
hanya lulusan sekolah dasar dengan ibu yang lulusan perguruan tinggi. Jadi,
tidak ada yang namanya sia-sia untuk mengenjawantahkan hasil pendidikan kita
dalam keluarga. Toh, pada akhirnya itu berkontribusi nyata di tengah
masyarakat. Masyarakat beradab dan maju karena generasi yang unggul. Generasi
unggul, tentu ada ibu cerdas di belakangnya. So..it’s time to fill the gold times for the best future!
~Wenny
Pangestuti~
No comments :
Post a Comment