Kehidupan manusia selalu
menampilkan ragam cerita yang mengundang tanya untuk sekadar melihat hingga
menghayati. Aku seringkali tertarik dengan fenomena kehidupan yang terjadi di
sekitarku. Termasuk dalam kasus ini.
Pertama, dahulu aku pernah tertarik
melihati seorang bapak yang berjualan makanan dan minuman dengan membawa
gerobak di atas sepedanya. Bapak tersebut sering terlihat di area gedung
tempatku kuliah. Aku tertarik melihat gaya berjualannya. Praktis, asyik, dan
nyantai.
Seringnya ulahku melihat bapak
tersebut, sepertinya bapak tersebut mulai menyadari kalau sering diperhatikan
olehku. Akhirnya, aku tidak berani lagi melihatnya terlalu sering.
Sebenarnya ada satu hal yang ingin
kulakukan kala itu, yaitu mencoba untuk membeli satu kali saja ke bapak
tersebut, tetapi aku tidak punya alasan untuk membeli. Lapar tidak, haus pun juga
tidak. Ya sekedar ingin membeli sambil bertanya-tanya berapa penghasilannya
dengan berjualan seperti itu.
Kedua, ada seorang bapak berjualan
jajanan pasar, seperti onde-onde, dadar gulung dan sejenisnya. Cara bapak
tersebut membawa dagangannya dengan menyanggul sebuah tongkat yang di kedua
ujungnya tergantung kotak kayu oleh seutas tali. Di dalam kotak tersebut berisi
jajanan-jajanan yang beliau jual.
Saya tertarik melihatnya karena
bapak tersebut luar biasa. Sesekali saya menjumpai bapak tersebut di kampus
Universitas Jember berjalan menjajakan kuenya. Sesekali saya juga pernah
mendapati bapak tersebut di Terminal Tawang Alun, Jember. Saya pun
bertanya-tanya, apa benar bapak tersebut berjalan dari pusat kota Jember menuju
Tawang Alun. Ternyata usut punya usut, bapak tersebut naik lin. Itu saya
ketahui tatkala momen daftar ulang mahasiswa baru 2013 di Gedung PKM. Ketika
itu saya duduk-duduk di pelataran gedung tersebut. Lalu berhentilah sebuah lin
di depan gerbang, menurunkan seorang bapak dengan dua kotak kayu berisi jajanan
pasar lengkap dengan sebilah tongkatnya. Bapak itu.
Pada momen tersebutlah saya
mendapat kesempatan berbincang-bincang dengan bapak tersebut tanpa harus
berdalih dengan membeli, walaupun awalnya strategi itu yang ingin saya gunakan.
Namun, bapak tersebut duduk tak jauh dari tempat saya duduk, sehingga saya pun
bisa bertanya kepada beliau. Saya bertanya, dari mana asalnya, kuenya membuat
sendiri atau tidak, setiap hari apakah kuenya habis terjual, mulai dan sampai
pukul berapa bekerjaanya.
Fakta di atas adalah segelintir
fakta dari sekian banyak fakta mengenai bapak-bapak dengan berbagai profesinya.
Profesi yang tidak berdasi, tak berkantor bahkan jauh dari profil ‘necis’.
Fakta di atas juga adalah segelintir fakta dari sejumah fakta yang saya lihat
secara langsung di sekitar kehidupan saya mengenai bapak-bapak dengan berbagai
profesinya. Masih ada bapak penjual roti goreng yang saya sering temui ketika
berangkat ke kampus; bapak penjual kue donat dan sejenisnya yang mengkayuh
sepeda; bapak bengkel yang senantiasa tersenyum ramah kepada saya bahkan pernah
mendoakan kesuksesan studi dan karir saya; dan masih banyak lagi.
Tadinya saya pikir kasihan. Karena
seberapa besar penghasilan mereka dengan berjualan atau berprofesi seperti itu
di tengah kehidupan yang serba menghimpit seperti ini. Bisa jadi penghasilan
segitu-segitu saja, sedangkan harga kebutuhan hidup sering berubah tak menentu,
bahkan seringkali naik drastis.
Tapi saya pernah membaca suatu
artikel bahwa bukan jenis pekejaan yang menjadi soal selama pekerjaan itu halal
karena rezeki ada dalam kuasa Allah. Rasulullah tidak pernah mencemooh suatu
pekerjaan apalagi jika itu halal dan ditujukan untuk mencari nafkah sebagai
tanggung jawab pada keluarga. Justru jika itu dilakukan semata meraih ridla
Allah karena menjalankan tanggung jawab dalam rumah tangga menuai pahala, apa
pun jenis pekerjaannya. Allah Maha Kaya. Allah
Maha Kuasa memberikan rejekinya pada siapa yang dikehendakinya. Tak perlu takut
miskin karena kita mempunyai Allah yang Maha Kaya.
Suatu hari Rasulullah SAW berjumpa
dengan Sa'ad bin Mu'adz Al-Anshari. Ketika itu Rasul melihat tangan Sa'ad melepuh,
kulitnya gosong kehitam-hitaman seperti terpanggang matahari. "Kenapa
tanganmu?," tanya Rasul kepada Sa'ad. "Wahai Rasulullah," jawab
Sa'ad, "Tanganku seperti ini karena aku mengolah tanah dengan cangkul itu
untuk mencari nafkah keluarga yang menjadi tanggunganku". Seketika itu
beliau mengambil tangan Sa'ad dan menciumnya seraya berkata, "Inilah
tangan yang tidak akan pernah disentuh api neraka". Subhanallah!
Di
sisi lain, hal yang saya pikirkan pula ketika melihat bapak-bapak tadi dengan beragam
profesinya, adalah ingatan saya pada bapak saya sendiri. Bapak saya memang
tidak berprofesi seperti di atas. Sebelumnya bapak saya adalah pekerja
kantoran, tapi sekarang bapak sudah pensiun dan sepertinya akan merintis
profesi baru sebagai petani sawah. Meskipun dulu bapak saya pekerja kantoran,
bukan perkara pekerjaan kantorannya yang menjadi poin di sini. Tapi pengorbanan
seorang laki-laki, seorang bapak, seorang suami dalam membanting tulang untuk
menafkahi keluarganya; memberi sandang, papan, pangan; menyekolahkan anak-anaknya.
Sungguh luar biasa bukan?
Dalam sudut pandang sebagai seorang
anak, kita barangkali jarang mengetahui, bahkan mengingat jerih payah seorang
bapak bekerja agar anaknya dapat makan, berpakaian, hingga bersekolah
setinggi-tingginya. Seringkali fakta yang tampak pada profil generasi sekarang
adalah generasi berlomba-lomba dalam eksistensi diri; punya gadget update dan canggih; belanja
pakaian trendy dan up-to-date, jalan-jalan, yang semuanya
identik menghambur-hamburkan uang. Atau kita bisa lihat bagaimana kualitas
mereka sebagai pelajar; belajarnya tidak tekun, kalau ujian nyontek dan
sebagainya. Kita mungkin kurang menyadari di balik kondisi kita sekarang ada
seorang bapak yang bermandikan peluh, menguras pikiran dan energi mencari
nafkah untuk kesejahteraan anak-anaknya. Seandainya para anak melihat bagaimana
bapakknya bekerja, mungkin mereka akan berpikir ulang dalam menghabiskan waktu
hidupnya.
Dalam sudut pandang sebagai seorang
calon istri, laki-laki yang bekerja itu luar biasa, terlepas apa pun itu jenis
pekerjaanya asalkan halal tentunya. Saya lebih senang dan bangga pada laki-laki
yang bekerja daripada menganggur apalagi bergaya sok keren dengan pegangan gadget
masa kini dan penampilan se-keren
aktor Korea. Seorang laki-laki yang bekerja menafkahi keluarganya pantaslah
mendapat apresiasi dari istrinya, sekalipun pekerjaannya belum mendatangkan
hasil yang mencukupi. Sebab nilai tanggung jawab itulah yang amat berharga.
Pelajaran baru untuk dipetik sari hikmahnya. Selamat belajar. Semoga bermanfaat!
Pelajaran baru untuk dipetik sari hikmahnya. Selamat belajar. Semoga bermanfaat!
~Wenny Pangestuti~