July 01, 2014

Apa Pun Profesinya, Halal Syaratnya


Kehidupan manusia selalu menampilkan ragam cerita yang mengundang tanya untuk sekadar melihat hingga menghayati. Aku seringkali tertarik dengan fenomena kehidupan yang terjadi di sekitarku. Termasuk dalam kasus ini.

Pertama, dahulu aku pernah tertarik melihati seorang bapak yang berjualan makanan dan minuman dengan membawa gerobak di atas sepedanya. Bapak tersebut sering terlihat di area gedung tempatku kuliah. Aku tertarik melihat gaya berjualannya. Praktis, asyik, dan nyantai.

Seringnya ulahku melihat bapak tersebut, sepertinya bapak tersebut mulai menyadari kalau sering diperhatikan olehku. Akhirnya, aku tidak berani lagi melihatnya terlalu sering.

Sebenarnya ada satu hal yang ingin kulakukan kala itu, yaitu mencoba untuk membeli satu kali saja ke bapak tersebut, tetapi aku tidak punya alasan untuk membeli. Lapar tidak, haus pun juga tidak. Ya sekedar ingin membeli sambil bertanya-tanya berapa penghasilannya dengan berjualan seperti itu.

Kedua, ada seorang bapak berjualan jajanan pasar, seperti onde-onde, dadar gulung dan sejenisnya. Cara bapak tersebut membawa dagangannya dengan menyanggul sebuah tongkat yang di kedua ujungnya tergantung kotak kayu oleh seutas tali. Di dalam kotak tersebut berisi jajanan-jajanan yang beliau jual.

Saya tertarik melihatnya karena bapak tersebut luar biasa. Sesekali saya menjumpai bapak tersebut di kampus Universitas Jember berjalan menjajakan kuenya. Sesekali saya juga pernah mendapati bapak tersebut di Terminal Tawang Alun, Jember. Saya pun bertanya-tanya, apa benar bapak tersebut berjalan dari pusat kota Jember menuju Tawang Alun. Ternyata usut punya usut, bapak tersebut naik lin. Itu saya ketahui tatkala momen daftar ulang mahasiswa baru 2013 di Gedung PKM. Ketika itu saya duduk-duduk di pelataran gedung tersebut. Lalu berhentilah sebuah lin di depan gerbang, menurunkan seorang bapak dengan dua kotak kayu berisi jajanan pasar lengkap dengan sebilah tongkatnya. Bapak itu.

Pada momen tersebutlah saya mendapat kesempatan berbincang-bincang dengan bapak tersebut tanpa harus berdalih dengan membeli, walaupun awalnya strategi itu yang ingin saya gunakan. Namun, bapak tersebut duduk tak jauh dari tempat saya duduk, sehingga saya pun bisa bertanya kepada beliau. Saya bertanya, dari mana asalnya, kuenya membuat sendiri atau tidak, setiap hari apakah kuenya habis terjual, mulai dan sampai pukul berapa bekerjaanya.

Fakta di atas adalah segelintir fakta dari sekian banyak fakta mengenai bapak-bapak dengan berbagai profesinya. Profesi yang tidak berdasi, tak berkantor bahkan jauh dari profil ‘necis’. Fakta di atas juga adalah segelintir fakta dari sejumah fakta yang saya lihat secara langsung di sekitar kehidupan saya mengenai bapak-bapak dengan berbagai profesinya. Masih ada bapak penjual roti goreng yang saya sering temui ketika berangkat ke kampus; bapak penjual kue donat dan sejenisnya yang mengkayuh sepeda; bapak bengkel yang senantiasa tersenyum ramah kepada saya bahkan pernah mendoakan kesuksesan studi dan karir saya; dan masih banyak lagi.

Tadinya saya pikir kasihan. Karena seberapa besar penghasilan mereka dengan berjualan atau berprofesi seperti itu di tengah kehidupan yang serba menghimpit seperti ini. Bisa jadi penghasilan segitu-segitu saja, sedangkan harga kebutuhan hidup sering berubah tak menentu, bahkan seringkali naik drastis.

Tapi saya pernah membaca suatu artikel bahwa bukan jenis pekejaan yang menjadi soal selama pekerjaan itu halal karena rezeki ada dalam kuasa Allah. Rasulullah tidak pernah mencemooh suatu pekerjaan apalagi jika itu halal dan ditujukan untuk mencari nafkah sebagai tanggung jawab pada keluarga. Justru jika itu dilakukan semata meraih ridla Allah karena menjalankan tanggung jawab dalam rumah tangga menuai pahala, apa pun jenis pekerjaannya. Allah Maha Kaya. Allah Maha Kuasa memberikan rejekinya pada siapa yang dikehendakinya. Tak perlu takut miskin karena kita mempunyai Allah yang Maha Kaya. 

Suatu hari Rasulullah SAW berjumpa dengan Sa'ad bin Mu'adz Al-Anshari. Ketika itu Rasul melihat tangan Sa'ad melepuh, kulitnya gosong kehitam-hitaman seperti terpanggang matahari. "Kenapa tanganmu?," tanya Rasul kepada Sa'ad. "Wahai Rasulullah," jawab Sa'ad, "Tanganku seperti ini karena aku mengolah tanah dengan cangkul itu untuk mencari nafkah keluarga yang menjadi tanggunganku". Seketika itu beliau mengambil tangan Sa'ad dan menciumnya seraya berkata, "Inilah tangan yang tidak akan pernah disentuh api neraka". Subhanallah!

Di sisi lain, hal yang saya pikirkan pula ketika melihat bapak-bapak tadi dengan beragam profesinya, adalah ingatan saya pada bapak saya sendiri. Bapak saya memang tidak berprofesi seperti di atas. Sebelumnya bapak saya adalah pekerja kantoran, tapi sekarang bapak sudah pensiun dan sepertinya akan merintis profesi baru sebagai petani sawah. Meskipun dulu bapak saya pekerja kantoran, bukan perkara pekerjaan kantorannya yang menjadi poin di sini. Tapi pengorbanan seorang laki-laki, seorang bapak, seorang suami dalam membanting tulang untuk menafkahi keluarganya; memberi sandang, papan, pangan; menyekolahkan anak-anaknya. Sungguh luar biasa bukan?

Dalam sudut pandang sebagai seorang anak, kita barangkali jarang mengetahui, bahkan mengingat jerih payah seorang bapak bekerja agar anaknya dapat makan, berpakaian, hingga bersekolah setinggi-tingginya. Seringkali fakta yang tampak pada profil generasi sekarang adalah generasi berlomba-lomba dalam eksistensi diri; punya gadget update dan canggih; belanja pakaian trendy dan up-to-date, jalan-jalan, yang semuanya identik menghambur-hamburkan uang. Atau kita bisa lihat bagaimana kualitas mereka sebagai pelajar; belajarnya tidak tekun, kalau ujian nyontek dan sebagainya. Kita mungkin kurang menyadari di balik kondisi kita sekarang ada seorang bapak yang bermandikan peluh, menguras pikiran dan energi mencari nafkah untuk kesejahteraan anak-anaknya. Seandainya para anak melihat bagaimana bapakknya bekerja, mungkin mereka akan berpikir ulang dalam menghabiskan waktu hidupnya.

Dalam sudut pandang sebagai seorang calon istri, laki-laki yang bekerja itu luar biasa, terlepas apa pun itu jenis pekerjaanya asalkan halal tentunya. Saya lebih senang dan bangga pada laki-laki yang bekerja daripada menganggur apalagi bergaya sok keren dengan pegangan gadget masa kini dan penampilan se-keren aktor Korea. Seorang laki-laki yang bekerja menafkahi keluarganya pantaslah mendapat apresiasi dari istrinya, sekalipun pekerjaannya belum mendatangkan hasil yang mencukupi. Sebab nilai tanggung jawab itulah yang amat berharga.

Pelajaran baru untuk dipetik sari hikmahnya. Selamat belajar. Semoga bermanfaat!


~Wenny Pangestuti~