Dahulu
pernah terlitas dalam pikiran saya untuk memilki sahabat pena. Sahabat, yang
bisa rutin kutuliskan dan kukirimkan surat untuknya. Namun, di era saat ini, pesatnya
perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, menulis surat melalui kertas
sudah tidaklah populer. Orang bisa dengan mudah menghubungi orang lain dari
jarak jauh dalam waktu relatif lebih cepat dengan alat komunikasi elektronik,
seperti halnya handphone dengan
layanan telepon dan SMS (Short Messenger
Service)-nya; komputer yang berkolaborasi dengan internet menawarkan
layanan e-mail, chatting, atau jejaring
sosial semacam facebook, twitter, dan sejenisnya.
Sebenarnya
menulis surat lebih terasa berbeda. Bukan sebatas untuk menyambung hubungan,
namun ada nilai tersendiri dengan menulis di atas kertas; membaca karakteristik
tulisan orang lain yang berbeda dengan kita. Lain dari itu, menulis surat, lalu
mengirimkan lewat pos, memunculkan rasa yang unik, yaitu rasa penuh-penuh
penantian dan kerinduan menanti jawaban atas surat kita yang bisa berhari-hari
atau berbulan-bulan kehadirannya. Berbeda sekali bukan dengan berkirim surat
lewat e-mail di era sekarang atau chatting yang bisa dengan sekejap kita
terima balasannya?
Di
satu sisi, kehidupan dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi
yang kian pesat memang membuat kehidupan pribadi setiap orang seperti tiada
tabir yang membatasi. Dengan hanya sekali click,
kita bisa mendapat sejumlah informasi tentang orang yang ingin kita ketahui. Wajar
bila akhirnya muncul penyakit sosial baru yang bernama KEPO (Knowing Everything of the Particular Object).
Secara
pengalaman, surat-menyurat pernah saya lakukan. Surat menyurat tanpa perangko,
bahkan beberapa tanpa amplop. Jadi istilahnya surat-menyurat-an.
Pertama, bersahabat pena – sahabat penaan dengan seseorang yang
setiap enam hari dalam seminggu sebenarnya selalu bertemu di sekolah. Dia
adalah Evi Akbarwati. Kita memang satu SMA, tapi tidak satu kelas. Hal ini
yang acapkali membuat kita menjalin komunikasi lewat surat-menurat untuk
sekadar mencurahkan hati melaui kata-kata.
Kedua,
surat menyurat dengan teman yang asli jaraknya jauh dari tempat tinggal saya.
Dia adalah Siti Rahayu, yang akrab dipanggil Ayu. Ayu adalah teman SMP saya.
Setelah lulus SMP, Ayu melanjutkan studi di Pondok Pesantren Gontor di Ponorogo
kalau tidak salah. Kami hanya surat-menyurat satu kali sebenarnya. Perantara
kami adalah orangtua Ayu yang melakukan kunjungan, menengok keadannya putrinya
tersebut. Setidaknya saya merasakan rasanya menerima surat dari jauh dalam waktu yang tidak terlalu
instan, walaupun tidak mengunakan jasa layanan pos.
Ketiga, saya pernah menulis surat ketika saya tidak mampu
mengungkapkan sesuatu dengan lisan. Seperti pengalaman saya kehilangan jam
tangan favorit saya ketika kelas VIII SMP. Itu adalah jam tangan pertama yang
dibelikan oleh bapak dan ibu. Itu juga pertama kalinya saya memiliki jam
tangan. Jam tersebut cukup berati bagi saya karena saya sering melihat jam
tersebut untuk mengukur batas waktu saya harus menyelesaikan soal-soal ujian;
mengukur batas waktu saya harus bangun jam berapa untuk belajar tengah malam
atau shalat malam atau sahur atau shalat shubuh. Tapi apa hendak dikata,
ternyata jam tangan saya akhirnya hilang ketika naik angkot untuk berangkat
sekolah. Saya baru menyadarinya ketika jam pelajaran dimulai karena biasanya
saya akan melepas jam tangan saya dan menaruhnya di meja di hadapan saya untuk
mengukur batas waktu pergantian jam
pelajaran (sepertinya terlalu scheduler
ya). Betapa galaunya saya waktu itu. Saya bisa membayangkan ekspresi marahnya
ibu saya bila tahu jam tangan saya hilang. Akhirnya, untuk menghindari amarah
ibu saya secara langsung, saya
menyampaikannya melaui tulisan. Inilah adalah cara pertama kali yang saya
lakukan. Setelah menuliskan surat tersebut, saya menaruhnya di tempat ibu saya
biasa menjangkaunya untuk mengambil sesuatu. Saya menaruhnya ketika akan
berangkat sekolah. Pulang sekolah, saya was-was bagaimana respon ibu saya
setelah mengetahui hilangnya jam tangan saya. Betapa tidak menduganya saya
melihat respon ibu saya ketika telah membaca surat itu. Ibu tidak marah seperti
biasanya. Ibu tidak mengoceh seperti biasanya. Ibu saya hanya bertanya dengan
nada yang lunak apa benar jam tangan saya hilang dan mengapa bisa hilang.
Fiuh..saya lega sekali. Saya benar-benar tidak menduga dengan respon tersebut.
Betapa ajaibnya surat saya. Hehehe.
Dari
pengalaman saya menulis surat di atas kertas, ada hal yang menarik. Meskipun
berkali-kali menulis ulang suratnya karena tidak puas dengan isinya atau ada
beberapa editan kata atau kalimat, hal ini cukup menarik karena ada pengorbanan
berupa ketelatenan, kesabaran untuk membuatnya. Sesuatu yang diinginkan, tetapi
harus didahului dengan pengorbanan usaha itu memang indah pada waktunya;
bahagia pada waktunya; puas pada waktunya. :-)
Perkembangan
teknologi informasi dan komunikasi memanglah tak bisa kita elak. Ini adalah
sisi mengembirakan dalam perkembangan peradaban manusia. Sisi yang lain, hal
ini dapat mengefisienkan aktivitas manusia selama pemanfaatannya digunakan sebagaimana
fungsinya, tidak melebihi batas.
Kalau sudah begini saya hanya bisa bertanya, "Adakah yang masih mau menulis surat di atas kertas?" :-)