July 04, 2014

Surat yang Ditinggal Zaman


Dahulu pernah terlitas dalam pikiran saya untuk memilki sahabat pena. Sahabat, yang bisa rutin kutuliskan dan kukirimkan surat untuknya. Namun, di era saat ini, pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, menulis surat melalui kertas sudah tidaklah populer. Orang bisa dengan mudah menghubungi orang lain dari jarak jauh dalam waktu relatif lebih cepat dengan alat komunikasi elektronik, seperti halnya handphone dengan layanan telepon dan SMS (Short Messenger Service)-nya; komputer yang berkolaborasi dengan internet menawarkan layanan e-mail, chatting, atau jejaring sosial semacam facebook, twitter, dan sejenisnya.

Sebenarnya menulis surat lebih terasa berbeda. Bukan sebatas untuk menyambung hubungan, namun ada nilai tersendiri dengan menulis di atas kertas; membaca karakteristik tulisan orang lain yang berbeda dengan kita. Lain dari itu, menulis surat, lalu mengirimkan lewat pos, memunculkan rasa yang unik, yaitu rasa penuh-penuh penantian dan kerinduan menanti jawaban atas surat kita yang bisa berhari-hari atau berbulan-bulan kehadirannya. Berbeda sekali bukan dengan berkirim surat lewat e-mail di era sekarang atau chatting yang bisa dengan sekejap kita terima balasannya?

Di satu sisi, kehidupan dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang kian pesat memang membuat kehidupan pribadi setiap orang seperti tiada tabir yang membatasi. Dengan hanya sekali click, kita bisa mendapat sejumlah informasi tentang orang yang ingin kita ketahui. Wajar bila akhirnya muncul penyakit sosial baru yang bernama KEPO (Knowing Everything  of the Particular Object).

Secara pengalaman, surat-menyurat pernah saya lakukan. Surat menyurat tanpa perangko, bahkan beberapa tanpa amplop. Jadi istilahnya surat-menyurat-an

Pertama, bersahabat pena – sahabat penaan dengan seseorang yang setiap enam hari dalam seminggu sebenarnya selalu bertemu di sekolah. Dia adalah Evi Akbarwati. Kita memang satu SMA, tapi tidak satu kelas. Hal ini yang acapkali membuat kita menjalin komunikasi lewat surat-menurat untuk sekadar mencurahkan hati melaui kata-kata. 

Kedua, surat menyurat dengan teman yang asli jaraknya jauh dari tempat tinggal saya. Dia adalah Siti Rahayu, yang akrab dipanggil Ayu. Ayu adalah teman SMP saya. Setelah lulus SMP, Ayu melanjutkan studi di Pondok Pesantren Gontor di Ponorogo kalau tidak salah. Kami hanya surat-menyurat satu kali sebenarnya. Perantara kami adalah orangtua Ayu yang melakukan kunjungan, menengok keadannya putrinya tersebut. Setidaknya saya merasakan rasanya menerima surat  dari jauh dalam waktu yang tidak terlalu instan, walaupun tidak mengunakan jasa layanan pos.

Ketiga, saya pernah menulis surat ketika saya tidak mampu mengungkapkan sesuatu dengan lisan. Seperti pengalaman saya kehilangan jam tangan favorit saya ketika kelas VIII SMP. Itu adalah jam tangan pertama yang dibelikan oleh bapak dan ibu. Itu juga pertama kalinya saya memiliki jam tangan. Jam tersebut cukup berati bagi saya karena saya sering melihat jam tersebut untuk mengukur batas waktu saya harus menyelesaikan soal-soal ujian; mengukur batas waktu saya harus bangun jam berapa untuk belajar tengah malam atau shalat malam atau sahur atau shalat shubuh. Tapi apa hendak dikata, ternyata jam tangan saya akhirnya hilang ketika naik angkot untuk berangkat sekolah. Saya baru menyadarinya ketika jam pelajaran dimulai karena biasanya saya akan melepas jam tangan saya dan menaruhnya di meja di hadapan saya untuk mengukur  batas waktu pergantian jam pelajaran (sepertinya terlalu scheduler ya). Betapa galaunya saya waktu itu. Saya bisa membayangkan ekspresi marahnya ibu saya bila tahu jam tangan saya hilang. Akhirnya, untuk menghindari amarah ibu saya secara langsung, saya menyampaikannya melaui tulisan. Inilah adalah cara pertama kali yang saya lakukan. Setelah menuliskan surat tersebut, saya menaruhnya di tempat ibu saya biasa menjangkaunya untuk mengambil sesuatu. Saya menaruhnya ketika akan berangkat sekolah. Pulang sekolah, saya was-was bagaimana respon ibu saya setelah mengetahui hilangnya jam tangan saya. Betapa tidak menduganya saya melihat respon ibu saya ketika telah membaca surat itu. Ibu tidak marah seperti biasanya. Ibu tidak mengoceh seperti biasanya. Ibu saya hanya bertanya dengan nada yang lunak apa benar jam tangan saya hilang dan mengapa bisa hilang. Fiuh..saya lega sekali. Saya benar-benar tidak menduga dengan respon tersebut. Betapa ajaibnya surat saya. Hehehe.

Dari pengalaman saya menulis surat di atas kertas, ada hal yang menarik. Meskipun berkali-kali menulis ulang suratnya karena tidak puas dengan isinya atau ada beberapa editan kata atau kalimat, hal ini cukup menarik karena ada pengorbanan berupa ketelatenan, kesabaran untuk membuatnya. Sesuatu yang diinginkan, tetapi harus didahului dengan pengorbanan usaha itu memang indah pada waktunya; bahagia pada waktunya; puas pada waktunya. :-)

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi memanglah tak bisa kita elak. Ini adalah sisi mengembirakan dalam perkembangan peradaban manusia. Sisi yang lain, hal ini dapat mengefisienkan aktivitas manusia selama pemanfaatannya digunakan sebagaimana fungsinya, tidak melebihi batas.

Kalau sudah begini saya hanya bisa bertanya, "Adakah yang masih mau menulis surat di atas kertas?" :-)



~Wenny Pangestuti~

http://artoftheletter.blogspot.co.id/