July 06, 2014

Tidak Cukup Prabowo, Tidak Cukup Pula Jokowi


Perhelatan akbar yang akan dijalani Indonesia dalam waktu dekat ini adalah Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2014 atau sebut saja Pilpres 2014. Ya Pilpres 2014 akan diselenggarakan tanggal 9 Juli 2014 mendatang ini. Dua pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) pun telah digembar-gemborkan. Ada Prabowo-Hatta dengan nomor urut 1 dan ada Jokowi-JK dengan nomor urut 2. Tidak hanya kedua calon pasangan yang rajin berkampanye sana-sini untuk meraih simpati rakyat, beberapa elemen masyarakat mulai dari kalangan bawah, intelektual hingga selebriti pun terlibat aktif mempromosikan calon pasangan capres dan cawapres unggulannya. Bahkan turut andil pula peran media, khususnya media elektronik seperti televisi ‘mengkompor-kompori’ masyarakat untuk memilih capres dan cawapres tertentu.

Cukup mengecewakan ketika kita melihat televisi. Beberapa stasiun televisi bersikap subjektif dalam melakukan pemberitaan terkait pilpres ini. Beberapa stasiun televisi yang memang dimiliki secara swasta oleh pelaku bisnis yang juga bergelut dalam perpolitikan atau yang mempunyai kepentingan untuk keberlangsungan ekonomi pribadinya tendensius menonjolkan salah satu figur capres dan cawapres unggulannya. 

Mungkin sebagai pihak yang mendukung capres dan cawapres tertentu adalah sikap yang wajar bila melakukan pembelaan pada figur yang diunggulkan tersebut. Namanya pendukung ya mendukung, bukankah seperti itu? Ya benar. Namun, yang mengecewakan adalah pemberitaan yang dilakukan sudah pada aspek ‘kekanak-kanakan’; cenderung mencari-cari kesalahan lawan bahkan tidak rasional, seperti yang pernah saya saksikan pada salah satu stasiun televisi yang pernah memberitakan tentang menilai karakteristik capres dari bentuk tulisan tangannya sehingga bisa menjadi salah satu acuan rakyat untuk menentukan capres pilihannya. Saya pikir itu pemberitaan yang terlalu dipaksakan. Bagaimana bisa menimbang dan menentukan pilihan dari bentuk tulisan tangannya? Yang dibutuhkan dalam kepemimpinan adalah pemikirannya yang tercermin dari visi dan misi dalam memimpin serta aktualisasi jalan yang ditempuh untuk menempati posisi kepemimpinan tersebut, bukan dari bentuk tulisan tangannya.

Gerah juga menyaksikan perang media yang terjadi menjelang pilpres ini. Semua menunjukkan egoisme dan kearoganan masing-masing untuk membela capres dan cawapres unggulannya. Sebenarnya kalau kita pikir, kenapa orang-orang hingga sedemikian rupa melakukan pembelaan dan dukungan terhadap capres dan cawapres unggulannya. Padahal apa yang mereka bela dan dukung belum tentu memberikan jaminan yang berarti bagi hidup mereka selanjutnya. Belajar dari pemilu yang sudah-sudah, bukankah sikap para capres dan cawapres pemilu terdahulu hampir sama seperti sekarang menebar profil ketenaran, menebar janji-janji. Setelah terpilih, terlihatlah sudah apa yang terjadi. Janji tinggallah janji. Perubahan yang berarti tak kunjung terealisasi. Rakyat terkhianati.

Lalu apakah tidak memilih sama sekali adalah solusi ketika negeri ini membutuhkan kepastian kepada siapa kepemimpinan negeri ini akan beralih? Ya benar. Tidak memilih memang bukan solusi. Seolah bersikap pasrah, dan tidak berbuat apa-apa. Memilih tetap harus dilakukan karena hidup adalah pilihan. Setiap pilihan memiliki konsekuensi, investasi dan resiko sendiri. Artinya, setiap pilihan sama-sama menuntut pertanggungjawaban dari yang memilih, yaitu masing-masing dari kita.

Perlu kita pahami bersama bahwa keberadaan profil pemimpin yang baik saja belumlah cukup, tanpa didukung profil sistem yang baik pula. Sistem yang berlaku di negeri ini saat ini adalah sistem yang berasaskan sekulerisme-kapitalis, sistem yang memisahkan agama dari kehidupan, yang menjadikan pemilik modal sebagai motor penggerak dan pengendali roda kepemimpian. Sebaik apapun kapabilitas capres dan cawapres, mereka tidak akan serta merta independen dalam memimpin nantinya, tetapi akan ada tangan-tangan pengendali di balik kepemimpinan mereka, yakni para pemilik modal, para pengusaha, atau para cukong. Dengannya, legitimasi undang-undang ataupun kebijakan tidak lagi dipertimbangkan untuk kesejahteraan rakyat, tetapi diselaraskan dengan kepentingan para cukong tersebut. 

Kita membutuhkan profil pemimpin yang baik sekaligus sistem yang baik. Sistem yang baik adalah sistem yang memuat aturan yang baik bagi manusia, bagi alam raya ini. Yang mengetahui apa-apa yang baik bagi manusia dan alam raya ini tentulah yang telah membuatnya, mengadakannya, menciptakan keberadaanya, yakni Allah, Tuhan seluruh makhluk-Nya, seluruh umat manusia. Allah menurunkan aturan-Nya melalui risalah yang diemban para Nabi dan Rasul. Utusan terakhir yang Allah tugaskan, menyempurnakan aturan-aturan terdahulu adalah Rasulullah Muhammad, yang membawa risalahnya berupa agama Islam. Kepada sistem Islamlah selayaknya dan wajibnya kita beralih. Sistem yang akan menerapkan aturan kehidupan sesuai aturan Allah tanpa mendiskriminasi suku, ras, agama karena Islam rahmat bagi semesta alam.

Maka, kita tetap memilih. Memilih menyuarakan bahwa kita tidak cukup membutuhkan pergantian pemimpin, tetapi pergantian pula sistem. Menganti sistem sekulerisme-kapitalis dengan sistem Islam. Karena pilihan kita adalah pilihan yang sama-sama akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah kelak. 

“pada hari (ketika), lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.”
(24:24)

Jikalau sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.”
(7:96)


~Wenny Pangestuti~