Perhelatan
akbar yang akan dijalani Indonesia dalam waktu dekat ini adalah Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden 2014 atau sebut saja Pilpres 2014. Ya
Pilpres 2014 akan diselenggarakan tanggal 9 Juli 2014 mendatang ini. Dua
pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres)
pun telah digembar-gemborkan. Ada Prabowo-Hatta dengan nomor urut 1 dan
ada Jokowi-JK dengan nomor urut 2. Tidak hanya kedua calon pasangan yang
rajin berkampanye sana-sini untuk meraih simpati rakyat, beberapa
elemen masyarakat mulai dari kalangan bawah, intelektual hingga
selebriti pun terlibat aktif mempromosikan calon pasangan capres dan
cawapres unggulannya. Bahkan turut andil pula peran media, khususnya
media elektronik seperti televisi ‘mengkompor-kompori’ masyarakat untuk
memilih capres dan cawapres tertentu.
Cukup
mengecewakan ketika kita melihat televisi. Beberapa stasiun televisi
bersikap subjektif dalam melakukan pemberitaan terkait pilpres ini.
Beberapa stasiun televisi yang memang dimiliki secara swasta oleh pelaku
bisnis yang juga bergelut dalam perpolitikan atau yang mempunyai
kepentingan untuk keberlangsungan ekonomi pribadinya tendensius
menonjolkan salah satu figur capres dan cawapres unggulannya.
Mungkin sebagai
pihak yang mendukung capres dan cawapres tertentu adalah sikap yang
wajar bila melakukan pembelaan pada figur yang diunggulkan tersebut.
Namanya pendukung ya mendukung, bukankah seperti itu? Ya benar. Namun,
yang mengecewakan adalah pemberitaan yang dilakukan sudah pada aspek
‘kekanak-kanakan’; cenderung mencari-cari kesalahan lawan bahkan tidak
rasional, seperti yang pernah saya saksikan pada salah satu stasiun
televisi yang pernah memberitakan tentang menilai karakteristik capres
dari bentuk tulisan tangannya sehingga bisa menjadi salah satu acuan
rakyat untuk menentukan capres pilihannya. Saya pikir itu pemberitaan
yang terlalu dipaksakan. Bagaimana bisa menimbang dan menentukan pilihan
dari bentuk tulisan tangannya? Yang dibutuhkan dalam kepemimpinan
adalah pemikirannya yang tercermin dari visi dan misi dalam memimpin
serta aktualisasi jalan yang ditempuh untuk menempati posisi
kepemimpinan tersebut, bukan dari bentuk tulisan tangannya.
Gerah
juga menyaksikan perang media yang terjadi menjelang pilpres ini. Semua
menunjukkan egoisme dan kearoganan masing-masing untuk membela capres
dan cawapres unggulannya. Sebenarnya kalau kita pikir, kenapa
orang-orang hingga sedemikian rupa melakukan pembelaan dan dukungan
terhadap capres dan cawapres unggulannya. Padahal apa yang mereka bela
dan dukung belum tentu memberikan jaminan yang berarti bagi hidup mereka
selanjutnya. Belajar dari pemilu yang sudah-sudah, bukankah sikap para
capres dan cawapres pemilu terdahulu hampir sama seperti sekarang
menebar profil ketenaran, menebar janji-janji. Setelah terpilih,
terlihatlah sudah apa yang terjadi. Janji tinggallah janji. Perubahan
yang berarti tak kunjung terealisasi. Rakyat terkhianati.
Lalu
apakah tidak memilih sama sekali adalah solusi ketika negeri ini
membutuhkan kepastian kepada siapa kepemimpinan negeri ini akan beralih?
Ya benar. Tidak memilih memang bukan solusi. Seolah bersikap pasrah,
dan tidak berbuat apa-apa. Memilih tetap harus dilakukan karena hidup
adalah pilihan. Setiap pilihan memiliki konsekuensi, investasi dan
resiko sendiri. Artinya, setiap pilihan sama-sama menuntut
pertanggungjawaban dari yang memilih, yaitu masing-masing dari kita.
Perlu
kita pahami bersama bahwa keberadaan profil pemimpin yang baik saja
belumlah cukup, tanpa didukung profil sistem yang baik pula. Sistem yang
berlaku di negeri ini saat ini adalah sistem yang berasaskan
sekulerisme-kapitalis, sistem yang memisahkan agama dari kehidupan, yang
menjadikan pemilik modal sebagai motor penggerak dan pengendali roda
kepemimpian. Sebaik apapun kapabilitas
capres dan cawapres, mereka tidak akan serta merta independen dalam
memimpin nantinya, tetapi akan ada tangan-tangan pengendali di balik
kepemimpinan mereka, yakni para pemilik modal, para pengusaha, atau para
cukong. Dengannya, legitimasi undang-undang ataupun kebijakan tidak
lagi dipertimbangkan untuk kesejahteraan rakyat, tetapi diselaraskan dengan kepentingan para cukong tersebut.
Kita
membutuhkan profil pemimpin yang baik sekaligus sistem yang baik.
Sistem yang baik adalah sistem yang memuat aturan yang baik bagi
manusia, bagi alam raya ini. Yang mengetahui apa-apa yang baik bagi
manusia dan alam raya ini tentulah yang telah membuatnya, mengadakannya,
menciptakan keberadaanya, yakni Allah, Tuhan seluruh makhluk-Nya,
seluruh umat manusia. Allah menurunkan aturan-Nya melalui risalah yang
diemban para Nabi dan Rasul. Utusan terakhir yang Allah tugaskan,
menyempurnakan aturan-aturan terdahulu adalah Rasulullah Muhammad, yang
membawa risalahnya berupa agama Islam. Kepada sistem Islamlah selayaknya
dan wajibnya kita beralih. Sistem yang akan menerapkan aturan kehidupan
sesuai aturan Allah tanpa mendiskriminasi suku, ras, agama karena Islam
rahmat bagi semesta alam.
Maka,
kita tetap memilih. Memilih menyuarakan bahwa kita tidak cukup
membutuhkan pergantian pemimpin, tetapi pergantian pula sistem. Menganti
sistem sekulerisme-kapitalis dengan sistem Islam. Karena pilihan kita
adalah pilihan yang sama-sama akan dimintai pertanggungjawaban di
hadapan Allah kelak.
“pada hari (ketika), lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.”
(24:24)
“Jikalau
sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan
melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka
mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan
perbuatannya.”
(7:96)